Hutan Mati yang Menghidupkan (Kembali) Pesona Papandayan

Bersama Krucil, berfoto di antara Pohon-pohon mati Gunung Papandayan (foto by abahraka.com)

Tertambat Hutan Mati Gunung Papandayan

Setiap kali muncul visual Hutan Mati di beranda media sosial, justeru pesona papandayan bertambah daya hidupnya. Semakin menarik, semakin eksotis. Apalagi dengan visualisasi silhuet hitam putih. Hutan Papandayan kembali memancarkan pesonanya setelah letusan tahun 2001.

Jika dahulu, hanya menikmati sisa-sisa letusan saat lewat menuju area perkemahan di Pondok Saladah, kini ada beberapa spot yang bisa menuntaskan dahaga reflektif. Salah satunya adalah Hutan Mati.

Pagi itu, pukul 08.00, rombongan keluarga kecil kami, beserta beberapa ponakan dan adik sudah tiba di parkiran Gunung Papandayan. Kunjungan kali ini kami bertekad untuk mencapai hutan mati, yang tahun sebelumnya gagal untuk mencapainya karena kelelahan dan hanya sampai di pos warung terakhir Gunung Papandayan.

Apalagi tahun lalu, dua anak masih harus digendong, dan dua anak lainnya masih kecil untuk bisa naik gunung. Tahun ini, tekad itu semakin kuat. Mencapai Hutan Mati harus bisa tertuntaskan.

Libur Lebaran Naik Gunung Papandayan

Tepatnya pada libur lebaran tahun 2024 tahun lalu, setelah rumah mulai sepi dari kunjungan sanak saudara kamipun beringsut dan mempersiapkan kebutuhan untuk naik gunung.

Menikmati Pemandangan Gunung Papandayan di Hutan Mati 

Hutan mati berada di atas Gunung Papandayan. Gunung Papandayan sendiri merupakan salah satu Taman Wisata Alam popular di Garut Jawa barat. Ketinggiannya mencapai 2665 mdpl.

Berlokasi di Kecamatan Cisurupan Garut, Gunung Papandayan dapat dicapai dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Jika menggunakan kendaraan pribadi bisa langsung mencapai Lokasi parkir area  TWA Papandayan.

Cara Mencapai Gunung Papandayan beserta Tarif

Jika menggunakan kendaraan umum, pengunjung bisa langsung menuju ke Terimanal Guntur Garut menggunakan angkutan umum jurusan Cikajang dan turun di Pasar Cisurupan. Ongkosnya kurang lebih Rp.20.000,- dari Cisurupan jika sendiri bisa menggunakan ojek dengan ongkos kurang lebih 25.000, menurut saya cukup murah. Tapi bisa jadi berubah tahun ini.

Sedangkan jika rame-rame bisa mencari pickup yang ngetem di daerah tersebut, sekitar depan lapang bola Cisurupan. Tapi jika berdua atau bertiga, hitungannya lebih murah menggunakan ojek pangkalan.

Setelah sampai di gerbang masuk Papandayan, pengunjung diwajibkan membeli tiket. Untuk wisatawan lokal jika hanya berkunjung per orang retribusinya sejumlah Rp.35000, tapi jika menginap Rp. 65.000,- Jika bawa kendaraan sendiri, untuk motor bayar parkir Rp.5000 sedangkan roda empat Rp.10000,-.

Hitungan sendiri, memang tidak terasa mahal, tapi jika hitungannya rombongan satu mobil misalnya 7 atau 8 orang, tinggal kalikan saja. Lumayan lah ya untuk kaum mendang mending seperti saya, tapi akan terbayar dengan pemandangannya yang memesona, eksotis, sekaligus seksi.

Pengunjung juga bisa menggunakan jasa ojek untuk mencapai ke Lokasi pos terakhir, untuk membawa barang-barang. Bahkan, jika berniat untuk berkemah di Pondok Saladah, pengunjung bisa menggunakan jasa angkut barang hingga ke Lokasi. Lumayan untuk meminalisir energi untuk menikmati larva sisa letusan sepanjang jalur Gunung Papandayan.

Saya sendiri lebih memilih Hutan Mati! 

Salah satu spot Hutan Mati Gunung Papandayan, belakang pagar ada tebing curam.

Perjuangan Menuju Hutan Mati Gunung Papandayan

Sudah saya niatkan sejak tahun sebelumnya, tapi karena datang terlalu siang, cuaca bertambah panas, dan badang cepat lelah, akhirnya hanya sampai pada pos terakhir sebelum mencapai Hutan Mati. Setelah beristirahat dan ngemil-ngemil di warung saya dan anak-anak pun kembali ke terminal. Sayang sekali padahal sudah setengah perjalanan.

Saat ini, saya harus sampai hutan mati! Itulah tekad. Dan anak-anak cukup semangat untuk menyelasaikan misi ini. Walaupun saya sudah ngos-ngosan.

Hutan mati sendiri, merupakan spot baru di Gunung Papandayan setelah meletus tahun 2002. Selain spot kunjungan bertambah, sisa-sisa letusan yang bertambah luas, juga muncul Hutan Mati dan Kolam di atas gunung. Sehingga menambah eksotisme dan pesona Papandayan. 

Kehadiran Hutan Mati seolah menghidupkan kembali popularitas Gunung Papandayan.

Tepat pukul 10, setelah satu jam beristirahat. Saya dan krucil, anak-anak dan ponakan, akhirnya memutuskan untuk menyudahi waktu istirahatnya, dan bringsut untuk naik ke Hutan Mati. Tenaga sudah terkumpul, terisi bala-bala haneut yang berisi sayuran segar langsung dari kebun sekitar Gunung Papandayan.

Saya mengira sudah dekat dan tidak ada ujian berarti. Namun, ujian sesungguhnya di depan mata. Kami harus menaiki tebing bertangga, walaupun bertangga tapi sangat curam. Selain curam juga sempit karena dihimpit oleh pohon-pohon pendek. Beruntung, pohon-pohon tersebut justeru melindungi kami dari teriknya matahari.

Tau sendiri kan? Walaupun udara pegunungan dingin, tapi panas matahari sangat terik karena sudah mendekat ke langit hehe...

Agar bisa sampai ke Hutan Mati dengan selamat, kami pun mengatur ritme. Sesekali berhenti, sesekali bergantian menggendok anak kami yang masih balita.

Sesekali juga kami menyeka keringat. Cucurannya tak bisa berhenti. Padahal pohon-pohonnya melindungi kami dari panas matahari. Namun curamnya medan menuju Hutan Mati membakar kalori tubuh kami dengan hebatnya.

Sesekali kamipun berhenti untuk sekadar minum. Sesekali memegang akar-akar untuk tetap bisa naik tanjakan bertangga ini. Sesekali mengatur nafas senin-kamis kami yang kepayahan.

Setelah kurang lebih 45 menit hingga satu jam akhirnya sampailah kami ke Hutan Mati. 45 menit untuk anak-anak yang masih belum berdosa karena relatif cukup mudah menggapainya.

Satu jam untuk saya yang sudah berlumuran dosa hingga kepayahan untuk mencapai hutan mati. Banyak berhenti, istirahat, gentian gendong balita, berhenti untuk minum, hingga mengatur nafas senin kamis kami. Wajar ya, bagi kepala empat yang jarang berolah raga, untuk naik Hutan Mati saja begitu payahnya.

Namun, kepayahan saya akhirnya terbayar, tepat satu belokan tajam dalam tangga, tiba-tiba terpampang pagar, 4-5 tangga saya daki, terpampanglah area lapangan yang di belakangnya terdapat pohon-pohon dengan menyisakan dahan dan ranting berwarna hitam, masih berdiri tegak. Dan inilah hutan mati.

Setelah menapakan kaki pada tangga terakhir, saya pun berhenti. Mengatur nafas terlebih dahulu. Menyapu  bersih sekelilingnya.

Di Belakang hutan mati terdapat hamparan puncak Gunung Papandayan. Subhanallah. Inilah lukisan Tuhan yang tidak bisa tergantikan dengan lukisan manapun. Hijau dan lebat.

Emak-emak Millenial & GenZ bergaya di Hutan Mati Gunung Papandayan

Spot Foto Hutan Mati Gunung Papandayan

Saya pun kembali tersadar, menatap pohon-pohon kekeringan sisa-sisa terbakar oleh letusan. Pohon-pohon mati. Makanya disebut Hutan Mati. Karena area ini hanya berisi pohon-pohon yang telah mati.

Areanya cukup luas, anak-anak bisa bermain di sini. Berlarian ke sana kemari. Tentu saja harus dengan pengawasan. Karena di sebelah kiri saat saya sampai terdapat jurang yang dalam. Walaupun dipagari tetap tidak membiarkan anak-anak sendiri, kecuali sudah dewasa.

Area jurang yang dibatasi dengan pagar tersebut menjadi spot foto yang eksotis, karena hamparan tebingnya dilatari oleh bukit yang sangat kokoh.

Saya pun kembali menikmati pohon-pohon mati, menyerupai silhuet hitam putih. Persis seperti seni fotografi. Tapi ini nyata.

Anak-anak sudah menyebar terlebih dahulu. Sementara tenaga saya baru terkumpul. Sebelum akhirnya kami panggil untuk berkumpul.

Kami pun memilih beberapa spot pohon mati. Para pengunjung lain pun tampak menikmati area Hutan Mati tersebut.

Salah satu pengunjung kesulitan untuk berfoto bersama karena salah satu dari mereka harus mengambil fotonya. Saya pun menawarkan diri. Dan akhirnya gantian.

Kami pun beberapa saat menikmati pemandangan. Menyampu sekeliling 360 derajat. Menikmati puncak Gunung Papandayan. Juga menyapu Gunung-gunung di sekitarnya yang hijau dan berwarna-warni lain.

Anak-anak senang Orang Tua Bahagia

Anak-anak dengan senangnya berlairan ke sana kemari. Saling berkejaran. Alhamdulillah mereka tampak senang naik Gunung. Walaupun akan terakhir dan pangais bungsu harus digendong karena kecapean. Tapi mereka tetap riang setelah berada di Hutan Mati.

Kesenangan kamipun berakhir setelah menikmati area sekitar. Dan Memutuskan untuk kembali. Sambil mengumpulkan kembali tenaga untuk turun, saya pun mencoba menikmati kembali alam sekitarnya.

Seru juga, bersama para bocil merealisasikan keinginan untuk bisa mencapai hutan Mati Gunung Papandayan Garut Jawa Barat.  Krucilpun semua turun tanpa ada yang digendong. Hanya tetap hati-hati dengan memegang tangannya dengan erat. Cag.***[]

1 komentar untuk "Hutan Mati yang Menghidupkan (Kembali) Pesona Papandayan"

  1. Artikel ini menggambarkan perjalanan menarik ke Hutan Mati Gunung Papandayan, yang memadukan perjuangan fisik dengan pesona alam yang eksotis dan reflektif.

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...