Pentingnya Menyadari Kekuatan Menerima

Pentingnya Menyadari Kekuatan Menerima (Kekurangan), sumber: entrepreneurcom

Sebulan terakhir, mentalku memang tidak baik-baik. Sebagaimana yang saya ceritakan dalam dua tulisan Menulis untuk Bersenang-senang dan Terapi & Terimalalu Jalani. Dua tulisan ini merupakan reaksi mentalku yang belakangan merasa terasing dengan keramaian. Merasa kesepian di tengah-tengah tongkrongan. Merasa sendiri saat bercengkerama dengan keluarga. Faktornya apa? Sudah saya ceritakan dalam dua tulisan tersebut.

Tulisan ini, merupakan lanjutan dari kedua tulisan tersebut. Dan saya yakin, akan sangat berguna bagi para pembaca yang mengalami hal serupa. Apalagi pada usia-usia yang telah matang, ketika sirkel (circle) pertemanan semakin sedikit dan ketika teman-teman curhat dulu entah kemana. Yang ada hanyalah teman kerja yang masing-masing punya masalah dan kesibukannya sendiri. Namun ada benteng yang tidak bisa diruntuhkan, yaitu eksistensi keluarga; anak dan isteri.

Setelah menulis dua tulisan tersebut, sedikit banyak merasakan bagaimana beban pikiran mulai ringan dan beratnya hati mulai terobati. Walaupun tulisan tersebut tidak ada yang membaca, tapi catatan tersebut ibarat kotoran yang keluar saat lambung sedang kepenuhan makanan. Badan merasa enteng, pikiran merasa cerah, hati merasa ringan. Semua termuntahkan melalui tulisan.

Namun ada satu hal yang saya sadari setelah menulis dua catatan harian tersebut yaitu, tentang KEKUATAN MENERIMA. Saya cari di Google, ternyata ada satu buku tentang Kekuatan Menerima ini. Sayang, sepertinya sudah terlewatkan beberapa masa, jadi males juga carinya di Tokped. Jadinya, saya hanya ingin menuliskan apa yang saya rasakan tanpa referensi.

Saya menggarisbawai bahwa kekuatan menerima itu tidak muncul tiba-tiba, tapi ada faktor lainnya yang menjadi salah satu menguatkan KEMENERIMAAN DIRI, yaitu:

1. Pertama, Bercerita. Bercerita menjadi salah satu elemen dalam kekuatan menerima. Bercerita membantu mengosongkan beban dalam pikiran dan hati kita. Ibarat bak yang penuh dengan air, agar air yang ada di atasnya dapat mengalir ke bawah, maka kerannya harus dibuka. Bercerita ibarat kita membuka keran beban kita sehingga dari dalam diri kita mengalir ke luar badan. 

Ada dua jenis bercerita, yaitu bercerita secara tulisan dan bercerita secara lisan. Bercerita secara lisan, sudah saya lakukan sebagaimana dalam tulisan Menulis untuk Bersenang-senang dan Terapi, sedangkan jenis kedua adalah bercerita secara lisan. Saya bercerita kepada orang terdekat saya, yaitu isteri. Support orang terdekat sangat diperlukan agar Rasa Menerima kita betul-betul mengalirkan energi positif ke dalam tubuh kita baik secara fisik ataupun psikis.

2. Kedua, Penyaluran Emosi. Ini sangat penting agar MENERIMA betul-betul kondusif dan menjadi support system dalam diri kita. Cara penyaluran emosi akan berdampak bagaimana energi yang muncul dalam tubuh kita. Saya sendiri, selama 4 hari ini, setelah menulis dan bercerita, baru menemukan cara efektif menyalurkan emosi. Karena saya tidak suka olahraga, jadi yang bisa dikerjakan di rumah, yaitu beres-beres rumah. 

Ternyata  penyaluran emosi dengan beres-beres rumah berkhasiat berkali-kali lipat meringankan tubuh saya. Salah satu faktornya adalah pertama saat rumah dalam keadaan beres itu sekaligus bagian daru support system ke dalam psikis kita.

Biasanya, ketika saya emosi, saya inginnya banting gelas atau melempar kursi. Nah, sekarang saat emosi itu saya salurkan ke beres-beres rumah walaupun gak semua ruangan, cukup teras, gosrok kamar mandi, cuci baju sekaligus jemurnya, juga cuci piring. Ternyata membuat badan saya menjadi enteng. 

Bahkan saya mau kembali berolahraga walaupun hanya jogging di rumah. Dan yang sudah lama saya lakukan sejak pandemic, saya juga kembali lagi merapikan tanaman sayuran di atap rumah. Selain untuk penyaluran emosi, sayuran lumayan bisa dimasak; cabai, cengek, terong, caosin, leunca, saledry, pandan, cecenet, tomat, kacang Panjang, ada juga nanas.

3. Ketiga, menepikan kegiatan yang tidak produktif dan kurang relevan. Saya mulai undur diri dari beberapa kegiatan yang sebetulnya ada nilai produktifivitasnya, tapi kontribusi untuk pribadi relatif kurang dan tidak produktif untuk sendiri, tapi produktif untuk orang lain. Ya beberapa saya izin unduru diri dulu. Termasuk juga mengarsipkan grup-grup WhatsApp yang kurang relevan, ya bagaimana lagi, kadang tiap obrolan di grup WhatsApp Cuma sebagai ajang cari muka antara Yunior sama seniornya pejabat, atau menjadi tempat narsis pengguna. 

Keduanya tidak relevan, karena saya bukan tipe penjilat lebih suka hidup realistis, tidak suka terlalu narsis karena narsis itu bagi saya menyakitkan. Selain mengarsipkan, baiknya keluar dari grup WhatsApp jika sudah membebani. Nah terakhir itu, karena sering muncul notif yang tidak support emosi, saya logout media sosial Instagram dan facebook, walaupun sekali-kali butuh juga, khususnya saat tulisan dimuat di media mainstream.

4. Keempat, membuat nyaman ruangan kerja di rumah. Ini penting agar setiap ruangan yang  kita lewati kondusif dan menjadi bagian dari support system. Apalagi Sebagian besar waktu, dihabiskan di ruang kerja. Sedikit saya baca-baca cara tata ruangan ala fengsui, salah satunya adalah penerangan, latak dan posisi meja. Beberapa ada yang tetap posisinya, ada juga yang saya ubah dan geser posisinya. Apalagi ada dua pekerjaan berat yang sedang running; buku dan tugas akhir. Maka harus betul-betul kondusif. Sekarang lumayan cukup support, enak dilihat nyaman juga ditinggali, support untuk kerja. 

Alhamdulillah sudah berjalan hari ke-5, mudah-mudahan konsisten karena bener-bener support terhadap mental.

Dua hal tersebut, BERCERITA dan PENYALURAN EMOSI, menjadi bagian tidak terpisahkan cara saya menerima keadaan hari ini. Bahasa generasi Z itu adalah; ya udaaaah, boleeeh.

Lalu bagaimana cara saya menerima?

Pertama, saya mendikotomikan dengan TIDAK MENERIMA. Saat kita merasa berat untuk menerima tugas dan ingin menolaknya, maka bekerja pun menjadi berat. Terpaksa menerima berat apalagi jika kita sebetulnya menolak tugas tersebut tapi harus tetap dikerjakan karena sudah penugasan dan jadi tanggung jawab. ITU TAMBAH BERAT. 

Maka satu-satunya cara agar pekerjaan tersebut menjadi ringan adalah dengan menerimanya. Perasaan saat menolak dan menerima itu sangat terasa oleh mental kita. Saat terpaksa menerima psikis kita merasa berat, jalan hidup menjadi sempit, tapi saat menerima ternyata terasa sangat lega, bahkan masa depan juga semakin di depan hehehe….

Kedua, tidak membanding-bandingkan. Jika hidup kita tidak membanding-bandingkan yakinlah hidup ini akan enteng. Membandingkan apapun dan siapapun. Walaupun ya ada kalanya kita akan dinilai tidak peduli. Tapi faktanya, tidak membandingkan itu jadi support system untuk hidup lebih mengalir. Membandingkan Pendidikan kita dengan orang lain, membandingkan fisik kita dengan orang lain, membandingkan isteri kita dengan orang lain, membandingkan penghasilan kita dengan orang lain, membandingkan, rutinitas kita dengan orang lain, membandingkan kendaraan kita dengan orang lain, membandingkan pencapaian kita dengan orang lain, membandingkan anak kita dengan orang lain, membandingkan apapun. 

Coba sedikit tidak peduli dengan apa yang sudah dicapai orang lain apa yang sudah didapat oleh orang lain apa yang sudah dilakukan oleh orang lain. Yakinlah itu akan membuat hidup kita jadi enteng. Itu yang saya rasakan dalam seminggu ini, setelah melewati tiga minggu merasa kesepin dan sendirian, terasing baraya! Membanding-bandingkan juga termasuk mental kaum mendang mending, kaum yang tidak bersyukur. Kan agama juga melarang, tidak boleh kufur nikmat. Jadi STOP membanding-bandingkan apapun.

Ketiga, melihat potensi diri. Punya passion, punya skill, punya keterampilan, punya hobi? Jadikan itu kelebihan yang tidak pernah dimiliki oleh orang lain. Dan jadikan umpan untuk meningkatkan kemampaun diri kita. Ini yang saya gali sekarang, dengan berkarya. Salah satunya nulis lagi, nulis di media mainstream, nulis buku, nulis blog lagi. Walaupun ada satu yang belum tercapai, yaitu ngonten hehehe…ya karena ngonten hanya dengan menulis, belum mengeksplore kemampuan diri. Jadi saat kita merasa punya potensi itu, pakailah potensi itu dengan mengeluarkannya menjadi karya.

Keempat, merasakan energi positif dari menerima. Terakhir ini yang paling terasa. Saat kita pada posisi, yaa sudaaah, boleeeh, dan kita menerima apa yang kita punya, apa yang menjadi tugas kita, apa yang harus kita kerjakan, lebih kurangnya kita terima apapun itu. Hidup merasa lebih enteng. Konsepnya sama dengan merasa cukup, Qonaah, kita bertawakal apa yang menjadi keputusan Allah, kita terima takdir kita setelah kita berikhtiar. Dan ini apa yang disebut oleh Nurkholis Madjid atau Caknur sebagai Keharusan Universal. 

Jika kita sadar bahwa apa yang kita dapatkan sebagai keharusan universal, mau ditolak, mau dikritisi, juga tetap seperti itu, jadi alangkah entengnya saat kita menerima saja apa yang sudah menjadi ketentuan, setelah kita usaha.

Lalu apa dampaknya saat kita MENERIMA?

Pertama, hidup menjadi lebih ringan. Ya, kita bisa menjalankan hidup dengan lebih ringan tanpa beban apapun. Bahkan saat dompet kosong sekalipun. Aslinya? Ya karena gajiku hanya sekadar lewat, bayar KPR, bayar sekolah anak, sekolah sendiri, kebutuhan rumah tangga, dan lainnya hanya lewat saja. Paling nunggu jika ada bonus.

Kedua, lebih produktif. Memang saat ini sedang ada revisi editan draft buku yang akan terbit. Tanpa terpaksa karena buku tersebut lama akan terbitnya, kita mengerjakannya dengan enteng. Bahkan sebulan ini, saya sudah 4 artikel nulis, salah satunya artikel ini. Ya memang bukan artikel opini, tapi saya yakin ini juga bermanfaat setidaknya untuk diri saya sendiri.

Ketiga, bisa membantu pekerjaan rumah tangga. Selama 5 hari ini sepertinya isteri tidak lagi cuci piring, pel teras rumah, cuci baju, menanak nasi. Kecual untuk ruangan tengah dan setrika kali ya. Jadi dengan menerima itu karena saya harus mengkondisikan diri sendiri, dampak positifnya adalah bisa membantu pekerjaan rumah tangga.  

Keempat, maju ke depan. Melihat kaca spion memang sekali-kali perlu, tapi kadang saat melihat keca spion kita melihat siapa yang ada di sisi kiri kanan kita, dan jika terlena, ya akhirnya jadi membandingkan. Nah, saat kita menerima kita fokus lurus ke depan, karena pekerjaan harus tetap dilakukan.

Kelima, tidak menunda-nunda pekerjaan. Ada gelas satu langsung cuci, ada pakaian langsung cuci. Eh bukan itu, contohnya adalah pekerajaan editan saya tidak saya tunda-tunda, harus saya selesaikan, karena semakin ditunda semakin menumpuk.

Keenam, kita bisa menemukan potensi diri kita yang lebih besar, karena selalu mencoba berdasarkan kekurangan-kekurangan yang kita sadari. 

Kekurangan itu akan jadi seni jika berada di tangan orang kreatif dan akan menjadi potensi luar biasa jika dikelola dengan tepat. by abahraka

Itulah 5 hal untuk memiliki mental menerima dan 5 dampak kekuatan menerima. Semoga, apa yang saya kerjakan, rasakan, lakukan sekarang bukan karena sedang masa libur kuliah, karena kerja itu tidak ada libur, kadang minggu juga tetap bekerja, bekerja apapun, kerja kali dengan jalan, kerja tangan dengan menyiram tanaman. Karena dasarnya tubuh harus bergerak. Bahkan ketika sakit kita tetap bekerja untuk Tuhan, tidak bisa meninggalkan 5 waktu kewajiban. Cag!***[]

15 comments for "Pentingnya Menyadari Kekuatan Menerima"

  1. Memang benar kak, penerimaan ini membuat kita lebih enteng melanjutkan dan menjalani hidup. Konsep menerima diri itu sebenarnya tidak saya dapat dari buku sih, saya jarang sekali baca buku, huhu
    Saya justru memahaminya dari film "Insurgent" ketika Tris atau Beatrice Prior melalui tes divergent dengan alat (yang diciptakan faksi Erudite) dia bisa lulus justru ketika di akhir, dia menerima dirinya dan segala kesalahannya sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenarnya dalam Islam konsep menerima itu sudah paten, yaitu tawakal. Menerima keputusan terhadap takdir.

      Delete
  2. Ini sih yang aku butuhkan, selama ini sulit banget menerima posisi sekarang, padahal kondisi kepepet, jadi mau tidak mau, terpaksa mau. Masih mencari arti legowo sejauh ini..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dalam Islam sudah mengajarkan menerima ini dengan konsep tawakal. Manusia boleh merencanakan, wajib berusaha, jika hasilnya tidak sesuai kita serahkan pada yang Punya Takdir.

      Delete
  3. Paingan tidak terlihat wara wiri seperti biasanya. Mungkin pas saat log out dari sosmed itu ya?
    Baru sadar dari beberapa wah juga udah ga barengan lagi...

    Saya juga memilih bercerita sebagai healing dalam tahap menyembuhkan diri Kang
    Ya, semampunya sih, karena ternyata ada hal yg tidak bisa kita prediksi

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehe iya teh, sedikit mengurangi wara-wiri yang tidak berkontribusi terhadap diri, terlalu iya iya aja juga gak baik ya,,,,

      Delete
  4. Tahun 2024 ini saya juga mengalami hal-hal seperti ini. Seperti ada di dunia lain, semuanya terasa asing. Mental down berkali-kali, kayak udah pengen nyerah aja.

    Cara terbaik memang menyalurkan dg tulisan, biar unek-unek terlupakan. Karena cerita ke orang juga belum tentu mereka menanggapinya.

    Ya, jalan terbaik memang harus menerimanya. Apap pun itu, sepahit apa pun, terima saja dulu. Pastikan membaik meski tak instan.

    ReplyDelete
  5. Daku juga pernah dengar cerita dari artis siapa gitu, lupa, dia kalo lagi kesel dan gabut, lalu bebersih rumah yang ada jadi lebih plong. Mungkin pas melihat keadaan bersih, dan proses membersihkan yang jadinya bikin ketenangan dalam jiwa ya

    ReplyDelete
  6. Saya sering merasa ingin nyerah saja apalagi banyak asupan negatif dari sekitar yang bikin makin down, tapi sekarang bisa menepis itu semua dengan kepercayaan diri dan legowo menerima semuanya, plus bantuan Allah yang maha baik.

    ReplyDelete
  7. Ah iya,memang harus begitu ya
    Tulisan ini sangat inspiratif
    Bisa menajadi pengingat saat mengalami banyak masalah

    ReplyDelete
  8. Saya pun sedang belajar menerima nih Bah. Menerima apapun takdir yang sedang dijalani saat ini. Tapi bukan berarti berhenti berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Hanya berusaha mengurangi mengeluh dan kufur nikmat. Terlalu sering melihat ke atas dan lupa melihat ke bawah, akhirnya tidak pernah puas. Padahal apa yang sudah dimiliki saat ini sudah lebih dari cukup.

    ReplyDelete
  9. Ah, suka banget tulisannya Abah Raka ini. Menerima lalu dapat berkahnya. Setelah menerima lalu banyak hal-hal baik datang setelah fase ini. Saya pun belajar nggak membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Apa sih yang dicari saat ini? Hanya ingin hidup tenang aja, banyak bersyukur dan memang circle pertemanan semakin menyempit ini pun saya rasakan juga seiring berjalannya usia.

    ReplyDelete
  10. Proses "menerima" ini tentunya gak mudah yaa..
    Dan butuh sebuah perjalanan hingga akhirnya memahami akar masalah dan jalan keluar yang dibutuhkan jiwa.

    Aku pun perlahan sudah merelakan ((atau bisa disebut mengesampingkan)) hal-hal yang gak terlalu penting. Karena menurutku ada yang lebih penting dan utama.
    Dan skala prioritas setiap orang tentu gak sama.
    Jadi, aku maklum banget kalo circle ku uda mulai makin mengecil. Hehehe~

    ReplyDelete
  11. Bener banget Abah Raka, semakin dewasa pertemanan mengecil yang ada hanya teman kerja, menulis jadi tempat bercerita tempat healing dan pelampiasan emosi..
    Apalagi yang segala-gala dilakukan sendiri rasanya tempat terbaik adalah mama dan dorongan utama adalah kebahagiaan anak-anak.
    Tapi betul, menerima semua kondisi dan dinikmati itu paling disyukuri c gak lagi melihat orang lain cukup fokus ke diri sendiri hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ngeliat fotonya aku juga teringat kinsutgi Abah Raka, cara jepang memperbaiki barang yang rusak dengan cara mengelem menggunakan emas. itu membuat aku berpegangan dalam hidup hal buruk gak perlu disembunyikan cukup diperbaiki hehehe

      Delete

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...