Terima, lalu Jalani!

Terima, lalu Jalani. sumber: rilivdotco

Setelah satu minggu berlalu dari catatan harian Menulisuntuk Bersenang-senang dan Terapi salah satu hikmah dari menulis catatan tersebut adalah kekuatan menerima.

Entahlah, lupa lagi, apa saya pernah membaca buku tentang kekuatan menerima. Saat catatan ini ditulis, belum searching apakah ada buku tentang kekuatan menerima. Namun, buku lain pernah saya baca judulnya, yaitu kekuatan memaafkan.

Ya, pada akhirnya saya harus menerima bagaimana kondisi selama setahun belakangan ini. Pekerjaan sudah lumayan menetap, walaupun masih belum percaya diri untuk mengatakan mapan. Namun ada kondisi-kondisi psikologis yang pada akhirnya saya merasa tertekan, kesepian, dan pada akhirnya teralienasi. Mungkin ini juga yang dimaksud konsep alieanasi Karl Marks pada masyarakat borjuis pada abada 20-an lalu.

Kesepian, terasing, teralienasi menjadi penyakit masyarakat modern. Sebagai pembaca postmodernisme, saya sangat sadar bahwa sihir modernitas memang sangat membahayakan. Hedonism dan gaya hidup, mendorong setiap orang memiliki target-target meraih duniawi. Ingin merasa setara dengan yang lain, padahal jika kita merasa nyaman berada di bawah pun, apa peduli mereka, yang penting kita menikmati. Astagfirullah, bahaya sekali.

Tapi hidup tidak sesederhana menerima dan menjalani. Lingkungan turut serta membentuk pola pikir kita yang mengarah pada pencapaian-pencapaian tertentu. Harus diakui memang awal tahun punya target, riset harus selesai, buku juga harus terbit. Pekerjaan harus tetap dijalani karena itu yang menjadi bahan bakar untuk tetap dapat menjalankan hidup sebagaimana orang lain.

Frasa ini juga yang menjadi bagian dari pola pikir yang turut berkontribusi terhadap rasa kesepian, keterasingan, dan teralienasi selama beberapa minggu ini. Rasanya tidak menerima jika apa yang sedang saya jalani hari ini, tidak berjalan sesuai dengan seharusnya. Ini harus selesai, ini harus selesai, dan ini harus selesai.

Berani memulai harus berani menyelesaikan. Setidaknya yang sudah saya mulai. Pola pikir yang betul-betul menjebak.  Pola pikir yang sangat besar berkontribusi terhadap alienasi diri. PARAH. Semua tentang duniawi! Padahal hidup jika ini menjadi tidak sangat bermakna jika hanya persoalan duniawi.

Daaan….jika memperhatikan semua yang dibagikan dalam media sosial, khususnya Instagram dan WA group semua tentang persoalan-persoalan duniawi. Makanya, sejak tahu bahwa hal itu jadi sumber masalah, saya arsipkan semua group yang terlalu pamer soal duniawi, karena sangat berdampak terhadap keterasingan.

Ini mungkin jadi salah satu problem dari manusia dengan usia 40+, saat hidup belum selesai, sementara orang selalu memamerkan duniawi, usiaku seharusnya bicara tentang pengabdian tanpa pamrih, mewakafkan diri, bukan lagi duniawi. Hidup ini bukan hanya soal target dan pencapaian, tapi soal bagaimana hidup kita bisa bermanfaat untuk lingkungan sekitar. Buat orang lain.

Harus diakui, sebagai pembaca postmo, gemerlap modernitas memang menawarkan kesenangan duniawi yang memabukkan.  Ia membius, memengaruhi alam bawah sadar kita dan menuntun untuk masuk lebih dalam ke dalam jurang kesenangan-kesenangan. Tapi HAMDALAH, cepat tersadar. Bahwa ini tidak boleh berlarut. Salah satunya adalah, merelakan jika apa yang sudah diperjuangkan selama beberapa tahun terakhir ini tidak bisa saya dapatkan. Namun tetap dengan menjalaninya, bukan meninggalkan.

Menerima, sebetulnya sudah ada dalam konsep Islam, salah satunya adalah konsep Qonaah, kita merasa cukup dengan apa yang kita miliki hari ini. Kita bersyukur dengan kehidupan kita yang sekarang. Namun, konsep yang lebih hakikinya, TERIMA Lalu JALANI ini sebetulnya adalah konsep tawakal. Kita menerima keputusan apa yang diambil atau yang sudah menjadi takdir atau yang akan menjadi Nasib, tapi dengan tetap berjuang tanpa henti. Terus bekerja disertai doa-doa, lalu kita serahkan hasilnya kepada yang Maha menentukan. Manusia berencana, Allah yang menentukan. Karena takdir dan seluruh waktu tempat terjadinya takdir adalah DIA.

Tawakal adalah konsep ikhtiar yang paling ideal, agar saat hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi, kita dapat menerimanya dengan tetap bersyukur. Dampaknya adalah terhadap kesehatan mental kita, kita tidak akan merasa tertekan, stress, apalagi sampai merasa selalu sendiri, kesepian, ataupun terasing.

Salah satu cara atau syariat menemukan mental menerima itu adalah dengan mengubah pola pikir yang kita punya. Untuk menguatkan pola pikir itu dengan menuliskannya agar antara titik-titik tubuh kita saling terhubung satu sama lain. Hati dan Pikiran yang menjadi alat berpikir padu padan dalam menjalaninya. Tubuh kita menjadi rileks dan tidak akan memuncak menjadi panas ke dalam kepala. Dan ini yang selalu ingin saya hindari.

Clear ya? Oke clear!

Terima, lalu jalani. Tetap tawakal; ikthiar, terima, dan serahkan hasilnya, tetap bersyukur! 

Post a Comment for "Terima, lalu Jalani!"