Menulis untuk Bersenang-senang dan Terapi

Sumber gambar: bbpmp jatim

[www.abahraka.com] Pasca semesteran, jiwa ini merasa sangat sepi. Sepi di rumah, sepi di dalam berkomunitas, sepi di tempat kerja. Entah karena banyak wishlist yang belum terwujud atau karena pekerjaan yang tidak pernah berkurang. Tapi rasanya, ramainya grup-grup komunitas pada WAG malah terasa diri ini semakin terasing. Teknologi malah membuat jiwa ini menjadi sunyi dan sepi.

Namun, jika ditelaah sedikit lebih dalam, bisa ada beberapa kemungkinan mengapa pada liburan semester ini (sebenernya gak ada libur), merasa sangat tertekan. Setertekan saat menjadi tim akreditasi namun saat akan bekerja tidak tahu bagaimana mengerjakannya, karena tidak ada petunjuk dan contoh sebelumnya. Mencari jalan keluar sendiripun tidak berguna sama sekali, karena borang akreditasi harus sesuai dengan ketentuan. Akan dinilai pada akhirnya.

Kemungkinan pertama, ada wishlist yang tidak atau belum terwujud. Kedua, riset kuliah yang tidak mencapai target. Semester sekarang seharusnya sudah beres data lapangan, malah tersendat karena kesulitan membagi waktu dengan penugasan lain. Ketiga, saat libur semesteran, dihadapkan pada penyuntingan buku yang akan terbit pada semester depannya. Tepatnya pada awal semester ganjil ini. Keempat, pekerjaan-pekerjaan yang tidak selesai pada waktunya pada akhirnya turut menjadi snowball yang bisa kapan saja hancur dan meledak. Dan tentu saja ini tidak boleh dibiarkan! Apakah diri ini rela membiarkan struk? padahal relatif masih muda, tidak kan?

Lalu bagaimana keluar dari merasa sepi dan terasing di tengah keramaian ini?

Kebiasaan konvensional pada jaman kuliah tetap dilakukan, namun saat target-target pekerjaan mendekati masa deadline, ternyata kebiasaan kecil yang dapat mengubah cara berpikir dan bertindak tersebut sedikit terabaikan, MEMBACA. Membaca bisa membantu memperbaiki cara berpikir dan berkeinginan. Untuk menguatkan cara berpikir dan berkeinginan tersebut, menulis menjadi cara halus agar sepi dan terasing ini berubah menjadi satu kesenangan tersendiri. Buktinya, hari ini, jemari ini dengan auto bisa menumpahkan segala kesah dan gulana yang sejak beberapa minggu ini menggelayuti pikiran. Sampai dada kadang-kadang merasa sesak.

Ya, MEMBACA DIBARENGI DENGAN MENULIS. Terapi ini sudah sejak lama dilakukan, yaitu menulis untuk bersenang-senang. Tapi tentu tidak dengan menulis buku. Karena menulis buku yang di dalamnya memiliki kewajiban dari pekerjaan walaupun pada saat menulis menjadi bagian dari kesenangan, tapi saat masuk penerbit justeru jadi memusingkan. Karena, buku yang kita tulis harus layak dibaca untuk orang lain. Ini juga sekaligus menjadi ambisi, setidaknya seumur hidup, memiliki satu buku yang dikarang utuh, bukan buku chapter, antologi, ataupun menulis kroyokan. 

Tapi menulis buku sendiri, ibarat kata jika kita menulis satu buku sendiri, dari nol hingga terbit, kita memiliki album sendiri. Jadi tentu saja tidak boleh dilewatkan, dan sebagai penulis harus bisa bekerja sama dengan penerbit dan tim yang ada di dalamnya, salah satunya adalah editor. Karena melalui editor, kita juga belajar langsung dan introspeksi bahwa ternyata tulisan yang menurut kita sudah dapat dibaca, setelah dibaca ulang hasil koreksi dari editor ternyata kalimatnya sulit dipahami, bahkan oleh penulisnya sendiri. Kaan pusiiing jadinya! Akan tetapi, dratf harus tetap diperbaiki. Itulah kenapa para penulis selalu berterima kasih kepada editornya. Bisa dibayangkan, jika oleh penulisnya sendiri kalimat tersebut sulit dipahami, bagaimana dengan pembacanya kelak?

Oleh karena itu, di tengah target-target duniawi tersebut, jiwa menjadi sepi dan terasing. Karena harusnya jiwa diberi makanannya sendiri, bukan ambisi-ambisi duniawi.

Maka karena sudah hampir seminggu tidak membaca buku, hari ini, saya baca kembali. Dan yang penting, saya juga menulis kembali melalui catatan ini. Sudah lama saya tidak menulis sejak bulan maret tulisan terakhir dimuat di DetikCom tentang Menyalakan Kebenaran di Ruang Digital. Hari ini saya lebih memilih menulis pada blog, agar semua unek dan gelisah hati serta pikiran bisa ditumpahruahkan dalam blog yang sudah lama tidak bersua dengan kehadiran tuannya.

Menulis adalah menuangkan jalan pikiran. Menulis adalah tumpah ruah keluh kesah. Menulis adalah bersenang-senang dengan kata-kata. Menulis adalah cara seseorang mengamukkan dan memuntahkan apa yang tidak bisa diimplementasikan dalam lisan dan verbal. Menulis adalah obat bagi jiwa. Menulis adalah terapi hati sekaligus pikiran. Ia menyembuhkan rasa gulana hati dan beban berat pikiran. Maka tidak heran Sokrates pada masanya sebelum Masehi memuntahkannya ke jalan-jalan. Bertanya ke orang-orang pasar, bertanya ke orang-orang yang sedang nongkrong. Sampai lahirlah kaum Stoik yang mencari jalan penyembuhan melalui filsafat. Tak lain bagaimana filsafat melalui kata-katanya dapat menyembuhkan dan mengurangi beban kehidupan.

Ini menjadi cara-ku. Entah akan bisa sembuh atau tidak, tapi setidaknya, aku menumpahkan beban pikiran dan gelisah hati di sini agar sedikit beban ini hilang. Agar cara berpikir-ku kembali mengalir karena dibantu oleh derasnya muntahan kata dalam catatan ini. Maka tidak heran hanya dalam satu jam saja keluar ratusan kata karena inilah bentuk senang-senang dari menulis. Tidak harus berpikir keras, cukup tumpahkan, tumpahkan, dan tumpahkan. Karena aku sedang mengobati diri, aku sedang menerapi hati, aku sedang menyembuhkan pikiran agar aku bisa kembali bekerja.  

Jika menulis sebagai bagian dari kegiatan olah pikiran dan hati, sedangkan pikiran dan hati ada di dalam jiwa, maka tepatlah apa yang ditulis oleh James W. Pennebaker jika berbicara dan menulis adalah terapi. Ia tulis tesisnya tersebut dalam sebuah buku yang sangat membantu saya ketika dalam keadaan gundah, Ketika Diam Bukan Emas.

Melalui buku Diam Bukan Emas, saya juga ingin meneliti bagaimana orang-orang yang merasa tertekan dalam hidupnya mencari jalan hidup melalui menulis agar ia sembuh dari trauma-trauma hidup. Sebagaimana yang dilakukan oleh mantan pramugari yang telah mengalami kecelakaan pesawat dua kali dan yang terakhir membuatnya cacat. Ia melakukan salah satu terapinya melalui menulis.

Masalah-ku meman tidak seberat pramugari tersebut, hanya saja dengan beberapa pekerjaan yang tidak selesai-selesai, sekolah yang tertunda, karya yang tertunda, sementara kerjaan di depan juga menunggu, mendorong saya ke dalam jurang keterasingan. Maka maaf jika WA Grup yang tidak langsung menuntut saya terlibat jarang saya komentari. Jarang saya silaturahmiin. Begitu juga melalui media sosial, saya jarang unggah kecuali sesekali melalui Twitter, karena di sana bisa lebih ekspressif dibanding media lain.

Pada akhirnya, tulisan ini adalah untuk bersenang-senang atau refreshing agar kejenuhan itu bisa hilang dan mengembalikan moodku untuk bekerja. Selamat siang netizen Indonesia!***[]

 

Post a Comment for "Menulis untuk Bersenang-senang dan Terapi"