Kebutuhan Asupan Ruhani

sumber ilustrasi: merdekacom

Jika ada pernyataan bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan, maka menemukan relasinya ketika masyarakat hari ini, yang juga dipelopori oleh Sebagian masyarakat Barat, telah menemukan kehidupan yang mapan secara materi, namun hidupnya penuh dengan kecemasan.

Saya teringat dengan sebuah ceramah dari ajengan popular di tanah Sunda, Al-Ghazali, yang pada masa kecil saya, kaset ceramahnya sering diputar Bapak. Beliau menceritakan, bertemu seorang bule di pesawat, dan perjalanan yang dilakukan bule Amerika tersebut ingin mencari sebuah pil yang namanya sholat. Sudah berapa puluh dokter, psikolog, sekaligus psikiater mengobati kecemasannya. Namun, kecemasannya tak kunjung sembuh. Hingga akhirnya, ia mendengar kabar bahwa di Indonesia ada pengobatan yang bisa menyembuhkan penyakit mental yang diberi nama salat. Ia mengira bahwa salat atau sholat itu adalah pil berwujud materi.

Jika membaca atau mendengar cerita dari Kyai AlGhazali tersebut, tampaknya semua persoalan dari masyarakat dianggap berasal dari materi dan harus diselesaikan secara materi. Padahal, persoalan-persoalan yang muncul dalam hidup kita, seringkali berasal dari suatu yang abstrak. Seperti dalam lirik lagu Iwan Fals, ‘keinginan adalah sumber penderitaan’.

Belahan dunia yang dihidupkan oleh tradisi dan paradigma materialism menganggap persoalan yang dihadapi selalu berasal dari materi dan harus diselesaikan secara material. Sebagai salah satu contoh, seorang penulis yang juga psikolog Danah Zohar dan Ian Marshal, penulis buku Spiritual Quotion atau kecerdasan spiritual, walaupun basisnya spiritual, tapi spiritualitas yang dimaksud adalah berbasis pada tubuh manusia. Ia menganggap bahwa spiritualitas itu berasal dari otak. Ia menamakan pusat spiritual tersebut sebagai G-Spot atau God Spot-Titik Tuhan.

Titik Tuhan merupakan pusat spiritualitas manusia yang bertumpu pada otak. Jika titik tuhan tersebut disentuh atau dirangsang maka ketenangan akan segera didapat. Spiritualitas yang dimaksud dalam konteks Danah Zohar berbasis pada tubuh fisik. Paradigma yang digunakan masih berbasis materialism.

Dalam bukunya tersebut, untuk mencapai spiritualitas orang-orang hanya perlu merangsang God Spot tersebut dengan aliran listrik. Kabel-kabel yang telah direkayasa sedemikian rupa ditempelkan pada kepala manusia lalu dialiri dengan voltase tertentu, maka ketenangan, kenyamanan, ekstase, spiritualitas akan didapatkan.

Walaupun berbeda pola, namun teringat dengan pelatihan-pelatihan ESQ yang menekankan pada audio yang berasal dari sejumlah speaker berkualitas tinggi yang ditempatkan di sudut-sudut ruangan. Musik dan audio tersebut merangsang otak peserta, Ketika instruktur berkata-kata yang membawa pengalaman peserta pada masa lalunya, misalnya siapa yang melahirkannya, bagaimana kesulitan ibu melahirkan dan membesarkan, lalu apa yang sudah dilakukan. Peserta akan terbius, terbawa suasana retorika instruktur dan kesesuain musik. Lalu menangis, ingat dosa, ingat belum bisa balas budi, hanya menyusahkan orang tua. Lalu apa yang dilakukan setelah selesai pelatihan ESQ?  

Bisa jadi seperti pelatihan motivasi, saat pelatihan menggebu-gebu setelah selesai pelatihan, keinginan kuat itu melempem lagi. Motivasi atau pelatihan ESQ itu sama seperti camilan, tapi bukan makanan utama. Tidak ada yang salah dengan pelatihan motivasi atau pelatihan ESQ, karena untuk membantu memotivasi diri untuk hidup lebih baik.

Namun, spiritualitas sendiri adalah suatu kebutuhan yang konsisten karena melaluinya ruh bisa ‘dihidupkan’. Spiritualitas memiliki irisan yang kuat dengan kehidupan ruhani.  Spiritualis merupakan jalan untuk memberikan makan pada ruhani kita. Oleh karena itu, memberi makan ruh tidak bisa dengan camilan seperti pelatihan ESQ yang instan dan hanya untuk saat itu saja. Tapi harus rutin dan istiqomah. Maka, sebagaimana halnya sarapan setiap pagi, memberi makan ruhani juga perlu konsistensi, rutinitas, dan kontinuitas. Maka, kenallah kita dengan ritual. Karena sifat ritual itu berkelanjutan.

Maka, perlu asupan utama dalam memberi makan ruhani tersebut melalui jalan spiritualitas. Bagi muslin, sholat 5 waktu yang sudah terprogram, jadwalnya pasti. Ibarat makan 3 kali. Jika satu hari tidak makan apa yang terjadi? Badan kita lemas. Sama juga, jika kita tidak melakukan ritual untuk memenuhi kebutuhan spiritual, maka iman kita akan lemah. Pada saat lemah iman inilah, segala kemungkinan melakukan dosa akan terjadi.

Maka orang tua kita, guru-guru kita, senantiasa menasihati anaknya yang sudah dewasa ini. “Jangan berani-berani meninggalkan sholat 5 waktu! Alasannnya bisa jadi, dengan meninggalkan sholat tersebut, kendali superego akan melemah dan akhirnya kita jatuh pada perbuatan dosa. Jika sudah jatuh pada perbuatan dosa, maka iman semakin lemah. Jika iman semakin lemah makan kemungkinan-kemungkinan menambah dan melakukan dosa akan terjadi lagi. Apalagi saat mental dan fisik kita lemah. Maka tidak sedikit yang melakukan pelarian-pelarian terhadap perbuatan-perbuatan yang justeru mencoreng personal dan community ethic. Itu yang akan terjadi!

Maka spiritualitas ini harus selalu terjaga dengan terlibat dalam aktivitas ritual yang menjadi jembatan menuju spiritualitas. Tidak meninggalkan kewajiban, menambah ibadah sunnah, serta makanan ruhani lainnya walaupun camilan tapi Ketika konsisten makan iman kita akan terjaga dan kuat; membaca Al-Quran, buku, bersedekah, bangun tengah malam dan melakukan meditasi Islam atau yang lebih dikenal dengan tahajud. Tidak lupa selalu merasa diri lemah sehingga kita selalu berpegang dan meminta perlindungan Allah, melalui sholat Hajat misalnya.

Mudah-mudahan tidak sombong. Tapi selama hidup ini, selalu merasa ada keajaiban-keajaiban bagi diri sendiri. Walaupun bagi orang lain biasa. Bisa jadi berasal perbuatan-perbuatan yang bersifat spiritual tersebut. Ruhani kita dijaga, walaupun sering lalai, tapi kita kembali lagi kepada yang empunya kita. Tuhan. Dan itulah sebenar-benarnya asupan ruhani kita. Kita membutuhkan asupan ruhani sebagaimana makan 3 kali. Jangan pernah meninggalkannya!

Note: tulisan ini hanya untuk mengingatkan diri sendiri yang sering lalai!*** (abahraka)

Post a Comment for "Kebutuhan Asupan Ruhani"