Tentang Membaca - Lectio Ergo Sum

abahraka.com - Lectio Ergo Sum, sumber yoursaysuaradotcom

[www.abahraka.com] Literasi paling dasar mengajak kita untuk bisa mengeja dan membaca huruf demi huruf hingga bersambung menjadi kalimat. Dari kalimat menjadi paragraph dan akhirnya menjadi wacara. Kalimat, paragraph, dan wacana tersebut lalu memunculkan makna yang harus bisa kita tangkap, beri arti, dan menjadi sesuatu yang berarti dalam kehidupan.

MEMBACA bukan hanya aktivitas praktis memindahkan dan menginternalisasikan pengetahuan yang ada dalam buku atau perangkat ke dalam system penyimpanan perangkat lunak dalam otak kita. Membaca adalah sebuah cara untuk menghidupkan sensitivitas pikiran dan perasaan. Membaca bukan hanya sekadar literasi, membaca juga bersifat menggerakkan. Terlepas Gerakan tersebut bersifat lunak, lambat, atau hanya sekadar Gerakan internal di dalam jiwa saja. Membaca bisa mendorong Gerakan-gerakan radikal dan perubahan yang revolusioner.

Pada literasi lanjutan, membaca bukan hanya soal kecakapan mengeja dan memaknai huruf demi huruf, kalimat demi kalimat, atau paragraph demi paragraph. Membaca pada tingkat lanjut mampu menghidupkan pembacanya. Oleh karena itu, karena membaca itu bersifat menghidupkan, para penulis sering disebut sebagai penyambung lidah peradaban. Karena dari membaca lahir anak pinak peradaban; kearifan, ilmu pengetahuan, serta yang paling teknis sekaligus memiliki filosofinya sendiri, yaitu teknologi yang kini menjadi pondasi dinamis bagi peradaban digital. 

Karena bersifat menghidupkan juga, mengkristal menjadi menggerakkan, baik secara individua tau massal. Oleh karena itu, tidak sedikit buku-buku yang dilarang beredar karena buku tersebut bisa menggerakan secara massif. Buku-buku kiri yang provokatif menggerakan revolusi terhadap penguasa dan mengancam eksistensi pemerintah sah menjadi salah satu buku yang sepanjang sejarah selalu punya catatan pelarangan edar. Buku-buku provokatif lain seperti buku-buku radikal/ terorisme juga sama karena mengancam keutuhan dan stabilitas suatu negara.

Terlepas membaca itu memiliki sifat menggerakkan dari yang lembut, lunak, provokatif, sampai revolusioner, yang paling penting dalam tahap awal-awal pembentukan identitas diri adalah untuk membangun pertahanan diri dari serangan-serangan mental yang diarahkan kepada kita. Tanpa sadar isi bacaan akan disimpan dalam memory kita dan secara otomatis akan terpanggil saat serangan mental tiba-tiba datang ke arah kita.

Membaca tidak sekadar membangun kepercayaan diri, juga menjadi isu utama yang mengcounter perlawan-perlawan dari luar yang bisa meruntuhkan mental kita. Katakan saja, era sekarang adalah eranya post-truth, dimana kebenaran menjadi sangat kabur dan kebohongan bisa berubah menjadi kebenaran. Banyaknya masukan pengetahuan dan wawasan yang disimpan di dalam memory kita bisa menjadi vaksin dan mendorong kita untuk lebih jauh mempertanyaan apakah informasi tersebut valid atau tidak.

Pada kondisi yang sedang stabil, membaca juga dapat mendorong seseorang untuk membongkar tanda-tanda yang disematkan di dalam suatu symbol budaya. Misalnya dengan gelar, kepangkatan, ataupun penghormatan yang disymbolkan dengan artefak budaya seperti peci, kokok, dasi, atau apapun yang mengkonvensikan tentang kewibaaan, penghormatan, dan penghargaan terhadap seseorang. Melalui membaca post-truth yang disematkan dalam artefak budaya tersebut dapat dibongkar dan dipreteli.

Oleh karena itu, membaca menjadi senjata. Senjata untuk membongkar kepalsuan, karena pikiran dan perasaan kita sangat sensitive melalui memory alam bawah sadar yang telah dipenuhi oleh sejumlah vaksin yang ditanam di dalamnya.

Membacalah sebelum membaca itu dilarang. Membacalah selagi ada kesempatan. Membacalah selagi mampu. Membacalah untuk membangun kepekaan. Membacalah untuk mengcounter serangan mental ke dalam system pertahanan diri kita. Membacalah membacalah. Maka membaca akan meninggikan derajat seseorang. Karena dengan membaca orang tersebut menjadi berilmu. Dan orang-orang berilmu akan ditinggikan derajatnya. Sebagaimana ilmuwan dan bapak/ ibu guru kita. Sebagaimana orang tua kita. Seberapa sukses anak dan wali muridnya, tetap mereka menghormati orang tua dan gurunya sebagai pengganti orang tua di sekolah.

Maka membacalah. Aku membaca maka aku ada. Lectio ergo sum. [***]

Post a Comment for "Tentang Membaca - Lectio Ergo Sum"