Menapak Jejak Peninggalan Bosscha

Menapak Jejak Peninggalan Bosscha. sumber foto: Bambang Diskominfo Kabupaten Bandung 

Meneer Belanda, K.A.R. Bosscha, administratur perkebunan teh yang memiliki banyak kontribusi untuk kemajuan masyarakat Priangan. Bukan hanya Observatorium Bosscha Lembang, juga PLTA, Sekolah Teknik ITB, dan inovasi perumahan untuk pekerja perkebunan.
Janari gede, mataku telah terbuka, bersiap bebersih badan dan hidup normatif sebagai manusia beragama. Namun, bukan hanya soal itu. Karena pukul 5.00 pagi hari, telah ditunggu oleh sekawan, memburu janji untuk meluncur ke Neglawangi. Karena itu, pukul 04.00 setelah sameang, kuda besi tuaku telah menapaki jalan kecil desa, membelah jalanan kota.

Bersama tim Sarebu Kampung, Adhie Nur Indra, Asep Soehendar, Bambang, Anton, Kamal, dan Hendar, kami bergegas menuju ketinggian 2000-an mdpl, melalui jalur Pangalengan. Menuju tapal batas kabupaten Bandung. Blok Sedep - Neglawangi.

Neglawangi, salah satu desa di Kecamatan Kertasari, satu jam perjalanan dari kota kecamatan Pangalengan atau sekitar 30 km jaraknya. Kurang lebih tiga jam perjalanan dari Soreang, Kota Kabupaten Bandung atau sekitar 55 km arah Selatan Bandung. Dengan jarak tempuh dan waktu yang tidak sepadan, jangan bayangkan jika jalannya datar dan lurus seperti kota. Walaupun secara infrastruktur sudah cukup baik. Kelokan-kelokan yang bisa membuat pusing dan muntah, menjadi salah satu alasan kenapa waktu tempuh dan jarak seakan tidak berompromi.

Akan tetapi, saat menginjakkan kaki, tepat di depan Desa Neglawangi, terbayar sudah pusing dan mual karena kelokan. Mentari tersenyum, menjadi ciri bahwa pagi telah terlewati. Namun, kami masih betah berjaket. Aparat pun menikmati mengenakan kupluk. Udara dingin terasa meliuk-liuk mengitari badan yang masih berlum terbiasa dengan suhu 170 c atau berada pada ketinggian 1764 MDPL. Petugas desa bilang, jika sedang dingin-dinginnya, udara bisa sampai 50 c.

Perkenalan kecil dengan sejumlah aparat desa, penggerak KIM Neglawangi, dan penggerak informasi & pariwisata; Ibu Sekdes, Iwan Hadiana, Yusep Zamaludin, dan Reva Gumelar menjadi penghangat suasana, sebelum melakukan perjalanan dan liputan. Cerita-cerita kecil lalu berubah menjadi gelak tawa, bersama punggawa. Sebelum akhirnya, saya tersadar bahwa lokasi kantor desa yang menjadi tempat kami bercengkrama, adalah jalan kawah Papandayan.

Nama jalan tersebut, seakan menghantarkan saya untuk pulang ke kampung halaman. Tak pelak, karena jalannya dinamai dengan jalan Kawah Papandayan, tempat masa muda mengadu andrenalin dengan dingin dan gelapnya Pondok Saladah, di tempat kelahiran. Ya, jalan ini menghubungkan Kabupaten Bandung dan Garut melalui jalur Gunung Papandayan.

Terbersit mimpi masa remaja yang tak pernah terlaksana, untuk menapaki Tegal Arun dan Tegal Panjang yang menjadi penghubung Kabupaten Bandung dan Garut. Sebagai pencapaian gengsi para pendaki pemula di gunung Papandayan.

Bukan Tanam Paksa

Menapak Jejak Peninggalan Bosscha. Sumber foto: Bambang Diskominfo Bandung

Setelah personil lengkap; aparatur desa, kelompok informasi masyarakat, serta kelompok penggerak pariwisata desa Neglawangi. Kami pun, menuju tempat ‘perjamuan’ pertama, yaitu Villa Belanda, yang dibangun tahun 1926. Villa ini awalnya merupakan rumah dinas kepala bagian perkebunan blok Neglawangi, yang masih menggunakan bahasa Belanda, Sinder Apdeling. Beberapa kali alih fungsi, akhirnya eks rumah dinas pejabat perkebunan ini berubah fungsi menjadi villa.

Tidak seperti perkebunan teh di wilayah Garut dan Purwakarta, Perkebunan teh Neglawangi, walaupun memiliki sejarah yang kuat dengan tanam paksa, namun pembukaan lahannya didasarkan pada investasi para pemodal, sehingga bukan bagian dari politik balas budi Belanda atau istilah yang lebih populer saat itu, cultuurstelsel.

Sebagian besar perkebunan-perkebunan teh besar di Indonesia, merupakan peninggalan dari program tanam paksa bangsa Belanda. Bibit tehnya sendiri dibawa oleh mereka untuk keperluan bisnis. Sebagaimana halnya diceritakan dengan baik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi Pulau Buru, yang salah satunya telah diangkat menjadi film Bumi Manusia.

Perkebunan teh, merupakan bagian dari jejak tanam paksa. Hanya saja, ceritanya sedikit berbeda, karena perkebunan teh tersebut dikelola oleh generasi ke-2 dari investor Belanda. Generasi ini merupakan kelompok pemodal yang datang setelah dihilangkannya politik tanam paksa.

Generasi pertama teh di tatar priangan, yang bermula tahun 1827 memokuskan area penanaman di daerah Garut dan Purwakarta. Setelah muncul UU Agraria tahun 1870, tanam paksa berakhir. Dan pengusaha teh berdatangan sebagai investor yang menyewa tanah-tanah rakyat. Lalu pada tahun 1896 Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang sepupu pengusaha teh di priangan datang sebagai pekerja perkebunan teh Malabar Pangalengan.

Wajar, jika perlakuan dari meneer Belanda, pada periode kedatangan generasi kedua ini berbeda dengan generasi pertama di perkebunan teh Garut dan Purwakarta. Meneer-meneer Belanda bersikap dan memperlakukan masyarakat dengan sangat baik, bahkan disediakan perumahan khusus untuk pekerja pribumi. Mereka pun dikenang masyarakat.

Jejak Bosscha; dari Pembangkit Listrik, Sekolah Teknik hingga Gunung Nini

Saat menapaki jalan menuju Gunung Nini Bandaasri Pangalengan, sebuah penunjuk jalan bertuliskan Makam Bosscha terpampang di sebelah kiri jalan. Apa hubungannya dengan Observatorium Bosscha yang populer di Lembang?

Ya, saya baru menyadari, lebih tepatnya mengetahui setelah berbincang dengan pengelola tempat Wisata Gunung Nini. Bahwa hamparan perkebunan teh yang luas di Pangalengan merupakan peninggalan Bosscha. Bukan hanya pangalengan, namun tersebar ke sejumlah tempat termasuk Neglawangi dan Lembang.

K.A.R. Bosscha merupakan Meneer Belanda yang memiliki kepedulian sosial dan pendidikan yang  tinggi. Tidak hanya membangun pusat observasi Bosscha yang terkenal di lembang, juga mendirikan sekolah teknik pertama di Indonesia, atau sekarang yang dikenal dengan Institut Teknologi Bandung.

Awalnya, Bosscha bekerja sebagai administratur pada perkebunan milik sepupunya yang menjadi pioneer perkebunan teh di Jawa Barat, khususnya wilayah Garut, Bandung, dan Purwakarta, keluarga KF Holle dan Kerkhoven.

Bosscha sendiri masih berkerabat dengan Kerkhoven. Namun, selama bekerja Bosscha banyak melakukan inovasi. Ia mendirikan perumahan untuk pekerja perkebunan. Ia juga mendirikan pabrik teh Malabar. Selama menjadi administratur, ia berinovasi membuat pembangkit listrik tenaga air yang menjadi sumber energi bagi pabrik teh.

Pembangkit listrik tersebut, berada di perbatasan Kabupaten Bandung dan Garut, masih berfungsi dengan baik. Dibangun tahun 1924. Hingga kini masih memiliki fungsi menjadi sumber listrik bagi pabrik teh yang berada Neglawangi.

Generasi kedua meneer Belanda ini, tidak hanya menjadi pengusaha teh, mereka juga sangat cinta dengan kebudayaan dan masyarakatnya. Wajar jika mereka juga sangat menyatu dengan masyarakat. Hingga akhirnya dicintai oleh masyarakat. Bosscha sendiri ingin dimakamkan di tengah-tengah perkebunan, tepatnya pada perkebunan teh Malabar, tepat di area menuju Gunung Nini.

Gunung Nini, merupakan sebuah bukit tinggi di tengah pegununang setinggi 1760-an mdpl yang bisa melihat hamparan pohon teh 360 derajat. Menurut pengelolanya, Gunung Nini merupakan tempat favorit K.A.R. Bosscha untuk memantau keadaan perkebunan yang menjadi tanggung jawabnya. Setiap harinya, ia selalu melakukan pemantauan.

Salah satu cerita yang disampaikan oleh Bosscha saat memantau, setiap menjelang siang selalu datang seorang nenek-nenek yang membawakannya makan. Sampai akhirnya tempat tersebut dinamai gunung Nini. Kini, gunung Nini, dikelola oleh Karang Taruna Bandaasri Pangalengan. Menjadi tempat wisata swafoto 360 derajat.

Gunung Nini mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi, baik roda dua atau roda empat. Jalan menuju gunung Nini cukup bagus, walaupun saat menapaki pegunungannya belum diaspal. Namun cukup nyaman untuk dilalui. Dengan tiket Rp.10.000,- per orang, wisatawan bisa menikmati pemandangan eksotis hamparan perkebunan teh dari ketinggian 1700-an mdpl. Pengelola menyediakan saung-saung terhubung satu sama lain untuk berswafoto ataupun istirahat sambil menikmati kuasa dan keindahan ciptaan Allah. ***[abahraka]

38 comments for "Menapak Jejak Peninggalan Bosscha"

  1. Harus diagendakan lagi bah kunjungan kedua ke Neglasari bareng anak-anak Genpi hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kang De, bener pisan, harus ada agenda turing-turing lagi....

      Delete
  2. hmmm baru kenal dengan hal seperti ini. apalagi belanda yang sudah lama bnget menjajah indonesia. tapi skrang udah seenak ini....

    newsartstory

    ReplyDelete
    Replies
    1. sepertinya hampir di setiap tempat di Indonesia, perkebunan teh besar itu peninggalan pengusaha asing khususnya belanda

      Delete
  3. Dulu ke boscha enggak mampir ke gunung Nini, eman banget!!! Lihat pemandangannya yang sebagus ini mupeng banget apalagi punya sejarah panjang ya. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi lumayan jauh dari Lembang ke Pangalengan itu, sekarang beda kabupaten. Satu kabupaten Bandung satu lagi Bandung Barat.

      Delete
  4. Harus bangga sekali memiliki warisan sejarah seperti Observatorium Boscha ini yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya itu bukti kepedulian salah satu pengusaha belanda

      Delete
  5. Waah seru juga nih jalan-jalannya, engga kebayang kalau pas kebetulan bercuaca 5 derajat seperti yang diceritakan..

    Tapi terbayar sih yah perjalanan dengan kemudian menikmati suasana yang memukau penuh dengan nilai sejarah. Meng-asyik-khan! :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bisa kalo subuh jam 2an itu katanya sampe 5 derajat. Lumayan jauh dari rumah, tapi pemandangannya oke

      Delete
  6. Artikel ini seru banget! Penjelasannya detail, bikin makin penasaran sama peninggalan Boscha. Makasih kak sudah sharing cerita sejarah yang menarik dan informatif ini!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama Bu Dosen, siapa tau kapan-kapan berkunjung ke bandung ya, ini bisa jadi salah satu itinerarynya

      Delete
  7. Jadi pengin juga ke Gunung Nini. Melihat hamparan kebun teh dari ketinggian. Apalagi harga tiketnya juga termasuk terjangkau. Mungkin diagendakan yuk Kang, ajak-ajak blogger Bandung.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah mantep tuh Kang Raja kalo bareng Blogger Bandung, sekalian silaturahmi akhir taun ya. Sekarang namanya berubah jadi NIMO Hinghland hehehe, sepertinya singkatan dari Nini Mountain

      Delete
  8. abis baca ini jadi inget janji aku sama bocil-bocil yang mau ngajak mereka berkunjung ke bosscha. dan kalau pun misalkan jadi ke sini, kayaknya kurang lengkap kalau nggak menikmati barang sebentar kebun teh yg ada di sana

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cuma bade arah dan beda kabupaten ini, kalo boscha itu Lembang Bandung Barat, kalo ini Pangalengan Kabupaten Bandung.

      Delete
  9. Gimana rasanya suhu udara 5 derajat itu, sedangkan 14 derajat di Batu Malang aja aku udah pake jaket dan kaos kaki kemana-mana?! MasyaAllah indah sekali ini perkebunan tehnya. Nggak nyangka ternyata banyak peninggalan Bosscha yang menjadi nikmat tersendiri bagi bangsa Indonesia ya. Aku belum pernah ke observatoriumnya, mungkin kalau ke sana harus diagendakan juga jalan-jalan ke kebun tehnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya juga belum pernah ngerasain sih kalo 5 derajat, itu cuaca terburuk di daerah Neglawangi, nah kalo 12 derajat pernah waktu camping di Gunung Papandayan, pulang-pulang hidungnya pada item...., ke kebun tehnya tinggal naik ke arah Lembang atau Ciater ya...., kalo NIMO atau Gunung Nini posisinya ada di Kabupaten Bandung, lumayan jauh lagi.

      Delete
  10. Orang asli Bandung tapi belum sempat aja ke Boscha. Wajib diagendakan ini mah kalo pas pulang kampung nanti

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya juga kalo ke observatorium boschanya belum pernah sih.

      Delete
  11. Wah, saya baru tau tentang sejarahnya Bosscha ini.. Sempat jadi salah satu pilihan tujuan study tour anak-anak, tapi belum jadi. Semoga lain waktu ada kesempatan ke sana

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dari Observatorium Boscha tinggal naik ke atas ke Lembang, banyak tempat wisata keren di sana

      Delete
  12. kalau ngomongin boscha ingatnya sama petualangan sherina. jujur saya kurang tahu juga tentang sejarah boscha dan perkebunan teh ini. tapi yang observatorium bosscha itu kenapa namanya boscha ya kalau ternyata dulu beliau adalah meneer belanda?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tidak semua meneer Belanda jahat, salah satunya Boscha dia yang mendirikan ITB, seorang dermawan dan aktivis pendidikan di Bandung, sangat peduli terhadap masyarakatnya. Dia dimakamkan juga di Pangalengan, deket Gunung Nini itu, dan dihormati oleh masyarakat sekitar karena kedermawanannya. Sangat dekat sama pekerjanya. Boscha generasi ke dua penguasaha Belanda yang datang ke Indonesia, keponakan dari Kerkhoven.

      Delete
  13. Saya belum pernah pergi ke kebun teh. Kayaknya seru ya, alamnya hijau dan pasti wangi udaranya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo daerah atas sepertinya di setiap daerah ada ya kebun teh....

      Delete
  14. Sepertinya Gunung Nini bakal rame nih sama para pelancong di musim liburan akhir tahun ini ya, karena banyak pemandangan alam sekitar yang bikin relaksasi pikiran

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya betul jadi rame setelah namanya ganti, jadi NIMO Highland

      Delete
  15. Baca ini kok malah inget pengalaman wisata observatorium boscha
    Wishlist masa kecil yang baru terwujud saat punya anak kecil, hahha

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehe saya malah belom pernah kalo ke Observatoriumnya, cuma lewat aja paling kalo ke Lembang ya

      Delete
  16. Ah, jadi belajar sejarah lagi nih. asyik bgt, nambah ilmu pengetahuan baru. Btw, peninggalan jaman Belanda emang kenotice bgt ya dari namanya hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha iya bener banget, khas ya...., seru kalo berkunjung ke tempat-tempat yang punya sejarah.

      Delete
  17. Wah, rasanya jadi ikut belajar sejarah. Biasanya yang dikenang hanya teropong Boscha yang ada di Lembang. Nyatanya kisah pemiliknya juga menarik. Mulai dari perkebunan teh yang merupakan jejak tanam paksa di era Belanda sampai bagaimana bedanya perlakuan para meneer Belanda dari zaman ke zaman.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya betul sekali, generasi ke dua ini udah mulai berempati ke masyarakat, jadi mereka pendekatannya lebih ke kesejahteraan masyarakatnya, makanya mereka dibuatin perumahannya sama menirnya.

      Delete
  18. Sneng banget kalau ada wisata sejarah kaya gini pengen ikutan juga dong kapan2 menjelajah peninggalan sejarah belanda soalnya emang keren2 bngt

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seru, saya juga pengen lagi, cuma sekarang timnya udah masing-masing hahaha

      Delete
  19. Aku selalu tertarik dengan sejarah, terlebih sejarah yang ada kaitannya dengan tempat aku tinggal saat ini, jadi berasa bisa napak tilas.

    Aku pernah baca kalau Belanda dulu sangat menyukai Bandung karena daerahnya dingin dan masih alami, sehingga digunakan untuk perkebunan teh.
    Bahkan kabarnya ada radio pemancar pertama yang dibangun Belanda di Lembang dan itu merupakan teknologi terbaik Belanda pada masa itu.
    Sehingga banyak yang berpendapat kalau dijajah Belanda, Indonesia menjadi negara maju.

    Yah, tapi menormalisasi sebuah penjajahan itu tidak dibenarkan juga yaa..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Stasiun Radio pertama ada di Perkebunan Malabar Gunung Puntang. Makanya disebut radio malabar teh. Masih di Kabupaten Bandung, sebelum dulu Lembang misah dari Kabupaten jadi Bandung Barat.

      Delete

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...