Stunting, dari Soal Gizi-Nutrisi Hingga Psikologis

Indonesia menjadi 1 dari 5 negara dengan jumlah penderita stunting terbanyak di dunia, di bawah Pakistan dan di atas Bangladesh. Sedangkan posisi pertama dan kedua adalah negara dengan penduduk 1 milyar lebih, yaitu India dan China.

Walaupun dengan prosentase 3,9 % dengan penderita  mencapai 7,688 pada tahun 2008, namun hal ini harus menjadi perhatian, karena jika tidak diantisipasi, bisa jadi stunting menjadi kasus yang terus meningkat.

Pemerintah melalui berbagai programnya terus mendorong agar masyarakat dapat menekan jumlah penderita stunting; mulai dari imunisasi, bantuan gizi, program keluarga harapan, kesejahteraan sosial, posyandu, dan lainnya. Pada dasarnya program-program tersebut merupakan program-program yang berbasis kesehatan dan gizi masyarakat termasuk di dalamnya adalah anak-anak usia emas, 1-5 tahun.

Pemenuhan Gizi
Stunting, dari Soal Gizi-Nutrisi Hingga Psikologis
Salah satu yang berkontribusi terhadap kondisi stunting adalah persoalan gizi dan pemenuhan nutrisi makanan untuk anak. Untuk bayi sendiri, usia 0-2 tahun, pemenuhan kecukupan ASI dan PASI sudah bisa memenuhi kebutuhan gizi dan nutrisinya.

Namun menjadi persoalan, jika gizi dan nutrisi orang tuanya tidak terpenuhi. Karena akan berpengaruh terhadap ASI-nya. Hal ini disampaikan oleh Dr. Rahmat Sentika, saat memberikan webinar untuk ratusan calon ibu/ Ibu-ibu muda yang mengikuti seminar tentang “Siap menjadi Ibu Pencetak Generasi Emas Bebas Stunting”, Selasa (30/06/2020). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Nutrisi Keluarga, sebuah lembaga nonprofit yang fokus pada kesehatan bunda dan anak.

Pemenuhan gizi untuk Ibu agar menghasilkan ASI yang berkualitas harus lengkap. Bagi dokter yang pernah menjadi anggota DPRRI 1997-1999 ini, gizi lengkap terdiri dari; karbohidrat, protein, lemak yang dibutuhkan, mineral, vitamin B & C, serta air.

Pemenuhan gizi ini harus sudah dilakukan sejak bayi berada dalam kandungan dan setelah lahir. Karena 1000 hari pertama sejak adanya kehidupan dalam kandungan, anak membutuhkan gizi dan nutrisi tersebut untuk membentuk kecerdasannya.

Karena 1000 hari pertama sejak ada kehidupan bagi jabang bayi, hingga bayi lahir, maka saat memulai kehidupan dunia bayi harus juga mendapatkan gizi dan nutrisi. Gizi dan nutrisi itu berasal dari ASI.

Hal serupa disampaikan oleh dr. Tria dari PP Aisyiah yang juga dosen Universitas Muhamadiyyah Jakarta. Walaupun, Tria membedakan antara gizi buruk dengan persoalan stunting, namun salah satu penyebanya adalah ketika anak mengalami kekurangan gizi secara terus menerus, akan menyebabkan stunting.

dr. Tria dan dr. Rahmat sepakat bahwa untuk mengantisipasi stunting adalah dengan pemenuhan gizi dengan gizi yang seimbang. Kedua dokter yang berbeda generasi ini juga sepakat, bahwa faktor kesehatan bisa menyebabkan stunting, misalnya anak terus menerus sakit. Dengan sifat kontinuitas sakit tersebut dapat menyebabkan stunting pada anak. Oleh karena itu, bagi Rahmat, jika sakit maka sembuhkan dulu sakitnya, baru penuhi gizinya, sehingga stunting bisa dianitisipasi.

Pola Asuh
Stunting, dari Soal Gizi-Nutrisi Hingga Psikologis
Peneliti bidang kesehatan publik, dr. Tria, tidak berhenti pada soal gizi dan kesehatan tapi juga menyangkut pola asuh. Pola Asuh ini, selain persoalan gizi adalah pemenuhan kebutuhan secara psikologis; mulai cara memberikan makan, cara mendidik, termasuk juga bagaimana cara berkomunikasi antara orang tua dan anak.

Bagi Psikolog, Vera Itabiliana, bukan hanya soal pemenuhan nutrisi juga bagaimana cara memberikannya kepada anak. Persoalan stunting, sudah harus menjadi visi bagi pasangan yang mau menikah, dia sudah harus memikirkannya, jangan pas setelah menikah. Sehingga pasangan muda memiliki persiapan membangun keluarga yang berkualitas.

Hal serupa disambut oleh paranting influencer, Ratu Anandita, yang memiliki pandangan religius. Pernikahan itu, pasangan suami dan isteri utamanya harus memiliki pegangan yang kuat, yaitu kepada Allah. Hal serupa seperti ditekankan oleh Vera Itabiliana, seorang psikolog, bagi Ratu, penciptaan suasana psikologis yang aman agar berdampak terhadap bayinya adalah bagaimana satu sama lain dalam keluarga harus saling mendukung.

“Kualitas komunikasi pasangan harus baik, harus berdasarkan keputusan bersama. Saling mendukung dengan tujuan memunculkan kepercayaan diri seorang ibu, sehingga beban ibu atau calon ibu menjadi lebih ringan,”ujar Ratu.

Disambung lagi oleh Vera Itabiliana, dengan dukungan tersebut, jika Ibu hepi berpengaruh terhadap keadaan psikologi sang Anak.

SKM bukan Susu Balita
Terkait dengan susu kental manis (SKM) baik bagi dokter Rahmat ataupun dr. Tria,  tidak memenuhi unsur nutrisi karena mengandung banyak gula. Lebih parahnya, SKM tidak mengandung susu. Bahkan menurut catatan dari dr. Rahmat, dalam SKM dua persennya terdiri dari glukosa. Sehingga anak yang sering minum SKM cenderung gemuk tapi tidak sehat.

Oleh karena itu, kedua dokter tersebut berpesan agar anak tidak diberikan susu kental manis. Jika anak sudah ketagihan minum susu kental manis, dapat menimbulkan ketagihan, sehingga tidak baik untuk kesehatan anak. Jika terus menerus terjadi, hal ini juga dapat menyebabkan stunting. ***[]

Post a Comment for "Stunting, dari Soal Gizi-Nutrisi Hingga Psikologis"