Belajar Filsafat


Masa Pandemi, turut berkontribusi terhadap kerapihan koleksi buku pada ruang kerja minim karya di rumah. Setelah menata ulang rak buku dan meja komputer, buku juga ikut saya rapihkan.

Nah, ternyata hasil dari penataan ulang ruangan kerja ini, menghasilkan beberapa kategori buku-buku yang sering menjadi target bacaan atau koleksi, karena tidak semua buku bisa tuntas dibaca, atau bahkan banyak buku yang hanya sempet dibaca kata pengantar atau justeru belum dibaca sama sekali.

Kategori Buku
Kategori pertama adalah buku-buku ilmu komunikasi, buku daras/ referensi/ atau populer dalam bidang komunikasi yang paling banyak atau mendominasi, karena basic pendidikan dari ilmu komunikasi. Sangat wajar. Bahkan, seringkali, jika ada buku-buku cukup populer dalam bidang komunikasi, biasanya dengan cepat menjadi penghuni rak buku.

Buku-buku komunikasi ini juga memiliki subkategori yang saya pisah-pisahkan pertama; buku Ilmu komunikasi secara umum; dari mulai pengantar ilmu komunikasi, komunikasi pemasaran, bunga rampai, audit, public relations, teknologi, dan lain sebagainya. Ini saya masukkan dalam satu kategori dengan menempati beberapa baris rak. Cukup banyak. Kedua, Buku teori komunikasi, karena cukup berat untuk dibaca, bahkan cenderung untuk keperluan analisis suatu isu atau paper, ini juga saya pisahkan pada rak yang berbeda, sehingga menjadi bagian dari sub kategori dalam buku ilmu komunikasi. Ketiga, buku-buku komunikasi berbahasa asing, biasanya buku yang berasal dari format pdf lalu saya cetak sendiri. Keempat, media studies dan jurnalisme. Kategori ini juga saya pisahkan menjadi beberapa rak tersendiri. Media studies menjadi rak yang menurut saya paling istimewa, walaupun tidak terlalu banyak, tapi ekslusif karena referensinya masih cukup jarang. Dan Kelima, masih subkategori dari ilmu komunikasi, yaitu buku-buku metode penelitian komunikasi; mulai dari metode penelitian kualitatif, komunikasi, analisis wacana, naratif, etnografi, fenonemologi, dan lainnya.

Kategori kedua adalah buku sastra. Saat mahasiswa cukup rajin mengoleksi karya sastra, karena selain lebih mengalir saat dibaca, juga memberikan spirit dalam memperkaya wawasan dan perspektif. Beberapa karya sastra yang menjadi koleksi; tetralogi pulau buru dan beberapa karya lainnya dari Pram, Trilogi Bilangan Fu dari Ayu Utami, buku terakhirnya anatomi rasa. Beberapa karya Kuntowijoyo juga jostein gaarder dimana magnum opusnya dipinjam tapi tidak kembali.

Kategori ketiga, merupakan buku pengembangan diri. Menjadi lumrah, hidup di dusun membawa sifat-sifat dusun. Rasa tidak percaya diri menjadi bagian hidup hingga lulus. Maka untuk memproses diri agar lebih pede, salah satunya banyak membaca buku-buku motivasi dan pengembangan diri. Beberapa buku pengembangan diri cukup praktis bukan hanya motivasi.

Kategori keempat merupakan buku Wacana. Buku wacana merupakan buku-buku yang mengangkat isu-isu keninian terkait sosial, politik, ekonomi, budaya, atau ilmu. Biasanya tidak terlalu spesifik tapi isu tersebut berdampak terhadap semua sendi kehidupan manusia; sebut saja misalnya Benturan peradaban karya Samuel W. Huttington, atau karya-karya dari Francis Fukuyama. Dari Indonesia misalnya buku-buku dari Rhanald Kasali, tapi yang terkini atau beberapa dari Yasraf Amir Piliang, yang sebagiannya saya masukkan ke dalam kategori filsafat.

Kategori Kelima, yaitu buku agama dan wacana agama. Nah, ini juga cukup banyak dan hampir mendominasi sama halnya dengan buku ilmu komunikasi. Kenapa? Karena pada masa lalu, selain kuliah di UIN juga aktif di beberapa organisasi yang sering mendiskusikan isu-isu agama.

Kategori keenam, tentu saja buku filsafat; Buku-buku filsafat walaupun tidak mendominasi, namun saya bagi menjadi beberapa kategogi lagi; filsafat umum, epistemologi, semiotika, cultural studies dan budaya pop, pemikiran filsuf seperti Foucault, Aali Syariati, Herbert Marcuse, Heidegger, Baudrillard, Umberto Eco, Yasraf Amir Piliang dan lainnya.

Kategori ketujuh, buku-buku yang tidak masuk kategori keduanya. Beberapa di antaranya cukup saya suka tentang isu-isu kedaerahan dan kesukuan; budaya sunda, garut, dan lain sebagainya. Ini juga cukup banyak, karena tidak masuk pada kategori-kategori buku sebelumnya.

Kategori kedelapan. Sebetulnya masih ada satu kategori lagi, yaitu media. Dulu langganan majalah Syir’ah, yaitu majalah yang mengangkat isu pluralisme, hanya sayang sudah tidak terbit. Kemudian langganan majalah mix, namun sama masuk era pandemi tidak terbit lagi. Begitu juga Pikiran Rakyat, sejak 2011 langganan, hanya saja sekarang beralih langganan digital.

Mendalami filsafat
Nah, terkait filsafat ini, memang umur kesukaanya sudah sejak lama, selama kuliah, sudah menjadi bagian dari wacana diskusi. Hingga akhirnya memengaruhi pada saat tugas akhir dengan mengambil pemikiran tokoh dengan dibedah melalui pisau analisi wacana. Termasuk juga sebelum lulus, tulisan yang dipublikasikan pada media massa pertama tentang filsafat postmodernisme.

Sejak filsafat ternyata bisa berkontribusi tidak hanya pada ranah cara berfikir, juga praktis, kini mulai lagi memperkaya referensi dan wacana melalui beberapa isu-isu filsafat. Postmodernisme yang lama ditinggalkan saat kuliah sarjana, kini dibuka-buka lagi. Begitu juga semiotika, yang sulit memahaminya karena tidak langsung dipraktikkan menjadi alat analisis, kini mulai dibuka lagi. Karena bagaimana pun, beberapa analisis dalam satu isu bisa menggunakan pisaunya tersebut.

Mendalami filsafat adalah belajar cara meluruskan cara berfikir kita, agar tidak picik. Belajar memahami perbedaan dan menerima dengan lapang karena kita mampu mengalihkan pikiran kita melalui filsafat praktis seperti halnya yang dilakukan oleh kaum Stoik.
Begitu juga pada ranah akademik, dengan memahami filsafat, kita lebih mudah memahami metode penelitian yang merujuk pada cara berfikir tentang ilmu. Bahkan untuk memahami ilmu sendiri kita harus belajar filsafat.

Jadi bukan soal gaya-gayaan dengan bahasa-bahasa yang melangit atau frasa-frasa yang sulit. Justeru sebaliknya. Untuk lebih mempermudah segalanya. Karena ketika kita memilih passion dalam bidang menulis atau dalam bidang yang terkait dengan akademik. Maka filsafat menjadi salah satu jalan yang mampu menunjukkan kemudahan itu.

Namun, tentu bukan barang mudah. Karena belajar filsafat artinya kita menerjukan diri pada kesulitan-kesulitan memahami berbagai frasa. Saya sendiri bukan orang yang mudah paham. Seringkali harus beberapa kali membaca ulang. Apalagi pemikiran seseorang yang sangat subjektif.
Oleh karena itu, saya lebih memilih yang mudah. Maksudnya, saya tidak belajar filsafat dengan menyeriusi semua kategori, namun cukup paham apa yang saya suka dan sesuai dengan apa yang bisa menjadi bahasan saya untuk keperluan sehari-hari.

Namun, bukan berarti yang rumit tidak dipelajari, jika harus karena untuk keperluan taktis analisis suatu isu dan menjadi bidang kajian, mau tidak mau harus dilakukan.

Misalnya, untuk keperluan laporan penelitian, salah satunya menggunakan hermeneutika. Terus terang saya belum pernah belajar hermeneutika. Waktu kuliah sarjana, belajar tentang analisis wacana juga sudah uyuhan, karena tidak pernah mendapatkan tema formal di kelas. Nah sekarang, mau tidak mau juga harus belajar hermeneutika. Saat membaca salah satu bukunya, karena langsung ke pemikiran tokohnya, lumayan lieur. Maka harus dicari jalan mudah, yaitu membaca pengantarnya terlebih dahulu.

Nah, begitu juga saat belajar filsafat. Dulu, banyak cerita, banyak orang tersesat, murtad, ateis gara-gara belajar filsafat. Bisa jadi karena itu langsung membaca atau memelajari  pemikiran filsufnya langsung. Banyak pemikiran yang tidak sesuai kita makan mentah-mentah. Dasarnya sendiri tidak dipelajari. Berlakukan seperti tangga, jangan langsung ke puncak, tapi titilah dulu tangga pertama sebelum sampai tangga 10.

Wallahu A’lam.

Post a Comment for "Belajar Filsafat"