Ramadan dan Komodifikasi Ruang Publik
Ramadan dan Komodifikasi Ruang Publik*)
Ramadan dan Komodifikasi Ruang Publik. Foto ilustrasi, dokumen pribadi @abahraka |
Seringkah menonton Televisi?
Pernahkah melewati perempatan dengan gagahnya videotron berdiri? Pernahkah
pergi ke jalan-jalan ramai sambil ngabuburit? Apa yang kita lihat dan tonton
saat ramadhan mengunjungi?
Ini menjadi pertanyaan pengantar
paling mendasar, karena saat ramadhan, semua berubah. Yang sepi jadi ramai,
yang tidak punya pekerjaan nyambi berjualan. Pada subuh hari, sinetron dan film
box office pindah jam tayang, beragam kuis begentayangan, cakakak
cikikik juga mewarnai layar tivi yang diperankan para cenayang.
Beberapa makanan berubah fungsi,
misalnya, mie instan yang fungsinya sebagai pengisi selingan perut berubah
menjadi menu utama saat berbuka dan sahur. Minuman bersoda, pengusir rasa
kantuk karena rasanya menggigit lidah, menjadi menu pembuka utama saat buka
bersama. Bahkan rokok pun yang dengan vulgarnya menyimpan gambar mengerikan
tiba-tiba menawarkan kebaikan.
Hal ini bahkan terjadi atau
dilakukan 2 minggu sebelum ramadhan. Ruang publik riuh oleh berbagai tampilan
dan tayangan yang sebetulnya jika dicermati, terlalu dipaksakan. Apakah iya,
saat berbuka puasa menu utama yang disajikan adalah minuman bersoda? Apakah
iya, menu utama utama sahur dan buka adalah mie instan?
Bagi saya pribadi, kedua produk
tersebut adalah panganan yang dihindari selama ramadhan, entah untuk berbuka
ataupun sahur. Karena dikenal mengandung zat yang tidak ramah usus dan
lambung.
Ramadhan, seakan menjadi aksioma
sekaligus postulat, sebagai bulan berkah. Berkah bukan hanya untuk kaum
muslimin, tapi semua umat kebagian berkahnya. Hampir semua produk dari yang
memiliki label halal sampai yang membunuhmu berubah wujud dengan tawaran
kebaikan. Di jalan-jalan juga orang begitu riuh dengan berbagi. Sehingga tiap
keluarga memiliki harapan bisa berlebaran menggunakan pakaian yang membuat
bangga sanak keluarga.
Menjejali Ruang Publik
Apa yang diuraikan di atas semua
dijejalkan ke ruang publik. Sebuah ruang yang seharusnya menjadi tempat
kontestasi masyarakat. Ruang kontemplatif dan komunikatif masyarakat luas untuk
menciptakan makna hidupnya. Justeru menjadi tempat berebut kode-kode kapital
dengan hanya menyisakan ruang kontemplatif yang sangat tidak memadai. Sehingga
para penikmatnya pun tidak mendapat kesempatan bagaimana mendapat ekstase
beragama. Merujuk pada Habermas (1989), dalam The Structural Transformation
of Public Sphere, ruang publik adalah ruang yang fungsi-fungsi sosialnya
sangat dominan dibandingkan fungsi frivat. Ia adalah ruang terbuka yang boleh
dan bisa diakses oleh siapaun warga negara.
Seorang teman berkisah, saat ramadhan
tahun lalu, ia menjadi tamak dan membabibuta memenuhi, apa yang disebut oleh
Abraham Maslow sebagai kebutuhan paling rendah yaitu perut, hingga akhirnya
terjadilah komplikasi penyakit antara kolesterol dan gula. Padahal, jika
dikembalikan kepada kearifan puasa, justeru puasa bisa menjadi Asy-Syifa,
medium penyembuhan dari beragam penyakit. Bahkan yang memiliki penyakit maag
dan usus sekalipun, yang identik dengan penyakit makanan. Bahkan isu seperti
ini pun menjadi lorong agar produk kapital bisa dijejalkan ke dalamnya. Ditawarkanlah bahwa lambung aman itu minum
obat ini sebelum sahur dan buka. Semua dijejalkan kepada ruang publik dengan
memanfaatkan ramadhan.
Bukankah ini sebagai bentuk
pemanfaatan terhadap ramadan untuk kepentingan kelompok tertentu atau satu
orang untuk memenuhi dahaga kapitalnya. Semua tampak benar dan sepertinya cocok
(cocokologi). Bahkan menjadi agenda rutin tahunan, beberapa agensi membuat
iklan versi khusus ramadhan, sehingga bisa menaikkan rating dan reputasi brand.
Beberapa productions house pun membuat edisi khusus sinetron ramadhan.
Habermas mengistilahkannya
sebagai ruang publik borjouis. Karena ruang publik kini dikuasi secara privat.
Tidak ada fungsi negara dalam ruang publik borjuis karena semua kepentingannya
telah terdegradasi ke dalam bentuk kepentingan privat untuk melakukan
produksi-produksi ekonomi. Pada konteks inilah terjadi perubahan nilai fungsi
sosial/ budaya/ agama menjadi nilai tukar. Sesuatu yang dipertukarkan bisa
dipertukarkan dengan nilai ekonomi. Inilah apa yang disebut dengan
komodifikasi.
Komodifikasi Ramadhan
Ruang publik tak ubahnya menjadi
ruang komodifikasi, bagaimana fungsi beragama yang dianut mayoritas masyarakat
Indonesia berubah fungsi menjadi tempat kontestasi produk dan nilai tukar.
Bukan lagi sebagai nilai fungsi beragama atau nilai refleksi terhadap sikap dan
perilaku beragama kita pada masa lalu agar menjadi lebih baik pada masa depan.
Tapi bagaimana masa depan dalam konteks komodifikasi tersebut, menjadi lebih ceuyah
dengan beragam masakan, olahan, atau apapun yang bersifat material.
Maka wajar, menjadi hal umum
terjadi pada masyarakat kita, saat ramadhan, hal yang dilakukan menjelang buka
adalah saat-saat bagaimana balas dendam dengan segala materi-materi yang
tersedia pada bulan ramadhan. Ini menjadi dampak langsung dari komodifikasi
ramadhan. Ruang publik yang dipenuhi oleh komodifikasi beragam tema ramadhan
berhasil mengabil makna sakral ramadhan dalam kehidupan kita dan digantikan
oleh profanisasi segala bentuk amalan.
Berapa persen acara siraman
rohani di televisi jika diprosentasekan, dibandingkan dengan hiburan? Berapa
persen iklan yang hanya mengajak kebaikkan tanpa memasukkan semiotika produknya
ke dalam iklan. Bahkan tayangan-tayangan religipun berubah fungsi menjadi
entertainment, alih-alih entertaintmen penuh dengan tausiah ramadhan. Sehingga
terjadi pemaksaan yang ilegal dari ruang profan terhadap sesuatu yang sakral.
Ruang publik berubah fungsi
menjadi ruang berkumpulnya kontestasi
beragam kenikmatan profan dibandingkan kenikmatan yang sakral. Ini bentuk nyata
komodifikasi ramadan dalam ruang publik. Ruang yang seharusnya milik kita
bersama.
Meminjam istilah Adorno dan
Hokrheimer (1979) ramadhan kini menjadi ruang produksi bagaimana industri
budaya yang diproduksi oleh institusi kapitalisme. Karena bagaimanapun
komodifikasi lahir dari hasil perkembangan industri budaya. Campur tangan
industri kapital begitu sangat kuat. Eksploitasi terhadap tontontan menjadi
target dari industri budaya ini. Segala macam tema-tema kebudayaan dalam ruang
publik pada saat ramadhan tidak ada yang murni diproduksi untuk kepentingan
pensakralan diri sehingga bertemu dengan ruhiyah kita yang paling agung.
Sehingga ruang sakral kita bersih dari dosa. Semua diproduksi untuk kepentingan
budaya massa yang sarat akan kepentingan profit.
Pada 2009 saya sempat menulis
tentang dilema muballigh populer (Tribun Jabar, 2009), bagaimana pertarungan
antara nilai-nilai kebaikan pada ruang publik, tapi pada sisi lain nilai
kebaikan itu diproduksi oleh industri kebohongan (iklan). Apakah nilai kebaikan
itu akan berujung baik? Pada sisi lain,
seorang dai ingin menyampaikan nilai kebaikan agar bisa secara cepat dan massal
diterima khalayak, pada sisi lain acara tersebut didanai oleh produk yang
disebut sebagai dengan aparatus ideologi kebohongan. Kebenaran yang disampaikanpun menjadi
ternoda.
Ruang publik pada saat ramadhan
bisa jadi lebih parah dari apa yang saya tulis 11 tahun lalu tersebut. Karena
justeru nilai agama yang harusnya terinternalisasi dalam diri setiap orang
justeru dikomodifikasi menjadi produk-produk industri kapitalisme yang
berorientasi pada keuntungan laba. Sehingga pada saat ini, ruang publik kita
sedang krisis. Karena tidak lagi berfungsi sebagai ruang sosial spiritual lagi.
Bagaimana Menyikapi ?
Pada masa-masa kuliah hingga saya
lulus kuliah, sempat booming bentuk komodifikasi dan provanisasi spiritual ala
ESQ. Saat itu, saya selalu heran, kenapa untuk merejuvenasi ruhiyah kita harus
mengikuti pelatihan ESQ. Begitu banyak sekolah, kampus, perusahaan yang
mengikuti kursus-kursus ini. Memasuki ruangan yang sudah disetting sedemikian
rupa ditambah dengan sound sistem yang memadai, lalu dibuatlah narasi
sistematis sehingga membangkitkan memory terhadap perjalanan hidup, inget dosa.
Lalu menangis sesenggukan. Ini tidak beda dengan apa yang diceritakan oleh Ian
Marshal dan Danah Zohar (2001) bahwa untuk melakukan rejuvenasi spiritual cukup
dengan merangsang saraf-saraf otaknya dengan aliran listeri tertentu. Sehingga
rasa jenuh dan depresinya sembuh karena spiritualitasnya sudah diremajakan
kembali.
Saat itu saya berfikir, bukankah
sejak kecil kita diajarkan jika punya masalah, jika punya keinginan, berkeluh
kesah, dan lain sebagainya, kita minta kepada yang memiliki kita. Kia bersujud
di sepertiga malam di atas sajadah. Bukan dengan mendengarkan narasi-narasi
yang sudah di susun sistematikanya sehingga membangkitkan memory terhadap
dosan, namun hanya sementara. Sedangkan dalam sujud tengah malam kita, kita
bisa mengakui dosa sekaligus minta ampun. Sehingga lebih otentik dan
pengakuannya benar, tidak termanipulasi oleh musik dan narasi. Dan keteringatan
kita akan dosa juga bukan karena musik yang telah kita bayar mahal.
Oleh karena itu, agar kita tidak
ternodai oleh bentuk komodifikasi ruang publik saat ramadhan ini. Kita kembali
ke fitrah kita. Teknologi media memang punya fungsi untuk membantu
mengingatkan. Tapi alangkah baiknya kita bersimpuh langsung agar pengakuan kita
otentik dan benar tanpa manipulasi. Meninggalkan media sesaat untuk merengkuh
kembali sakralitas ramadhan. Wallahu’alam.
*) Penulis: Dudi Rustandi, Peminat Kajian Media (Baru).
Tulisan ini tanpa editing, telah dipublikasikan pada savanapost.com sebagai handout diskusi ramadan.
Post a Comment for "Ramadan dan Komodifikasi Ruang Publik"
Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...