Mengelola Persepsi Masa Pandemi
Pertanyaan pendahuluan
Pengelolaan Persepsi Masa Pandemi/ Persepsi dan Emosi |
Pengelolaan Persepsi Masa Pandemi/ Tirani Opini |
Peristiwa seringkali mengendalikan persepsi. Tidak bisa kuliah online gara-gara kuota, persepsi kita langsung menjustifikasi, bahwa nilai kita akan turun. Tetangga kena corona, kita langsung menjustifikasi keadaan sudah sangat bahaya. Peristiwa dan informasi-informasi yang masuk ke dalam memori kita akan kita kelola menjadi persepsi. Persepsi ini dalam sistem syaraf kita terhubung dengan jajaring saraf emosi.
Suatu waktu, seseorang marah di hadapan saya. Sikap saya dingin, walaupun kaget karena marahnya tiba-tiba. Karena, saya mempersepsi marahnya bukan kepada saya. Jikapun kepada saya, saya bertanya kepada diri sendiri, kesalahan besar apa yang telah saya perbuat? Marahnya seseorang tidak bisa kita kendalikan, tapi kita bisa mengendalikan persepsi kita agar kita tidak tersulut emosi atau melakukan hal yang sama untuk marah. Karena kalau kita balik marah, sama artinya kemarahan kita dikendalikan oleh kemarahan orang lain.
Konteks komunikasi, marah, cemas, khawatir atau sebaliknya, karena seseorang tidak cermat atau kurang tepat dalam mengelola informasi yang masuk ke dalam memori. Maka peristiwa/ informasi yang tidak tepat pengelolaan persepsinya akan berdampak terhadap kemunculan emosi negatif tersebut.
Bagi seorang motivar NLP, Ibrahim Elfikri, persepsi bisa membuat orang tertawa tapi bisa membuat sebagian orang menderita. Bisa membuat seseorang peduli bisa membuat seseorang angkuh. Bisa membuat seseorang memiliki sikap positif atau sebaliknya menjadi penyebab emosi negatif pada diri seseorang. Pilih mana?
Bisa jadi seperti yang ditulis oleh filsuf lain, bahwa pengolahan informasi itu sesuai dengan referensi dan pengalaman kita. Oleh karena itu, merujuk pada konsep literasi, barengi dengan kroscek dan keseimbangan informasi lain.
Nah oleh karena itu, untuk mencegah mental lockdown. Saya lebih fokus pada bagaimana mengelola persepsi kita terhadap peristiwa-peristiwa sekeliling kita. Dengan lockdown seperti sekarang, mental juga jangan ikut-ikutan lockdown juga; menjadi pemurung, penyendiri di kamar. Karena persepsi kita selain menjadi sumber lockdown mental juga menjadi sumber kekuatan untuk menciptakan kebahagiaan kita sendiri.
Selama lockdown, saya melihat ternyata banyak teman-teman saya yang memaksimalkan hobby dan potensinya; ada yang mendalami desain grafis, ada yang cover-cover lagu, ada yang bikin lagu juga. Dan itu sangat positif. Saya sendiri selama lockdown, bisa lebih mendekatkan diri dengan anak; mulai dari sholat berjamaah, mengajar ngaji. Mulai berkebun lagi. Tulisan yang tertunda bisa saya selesaikan; ngeblog lagi; menulis jurnal, termasuk juga belajar lagi bikin blog dan SEO. Jadi selama lockdown justeru bisa memaksimalkan pekerjaan dan hobby yang tertunda. Seakan tidak ada habis-habisnya sehingga tidak sempat untuk mencemaskan ‘duh bagaimana coron sudah sampai tetangga’ dengan tetap waspada.
Persepsi seringkali datang dari interpretasi yang terjadi secara otomatis. Karena kita sendiri termasuk ke dalam orang yang reaksioner. Jika ada orang yang pake baju koko dan peci kita langsung menginterpretasikan bahwa orang tersebut soleh. Jika ada yang pakai tatto kita mengintepretasian sebagai kriminal. Otomatis persesinya juga demikian. Ada aksi ada reaksi. Kita juga seringkali bereaksi otomatis saat dikecewakan oleh orang lain atau keadaan; macet, putus dari pacar, kehilangan dompet, kuota data habis, dan lainnya.
Nah, bagaimana agar tidak terjadi otomatisasi interpretasi, apalagi kita punya pengalaman sesuai dengan yang kita interpretasikan?
Kata seorang filsuf Stoa, Marcus Aurelius, gunakan interpretasi aktif. Stop interpretasi masuk ke dalam emosi. Caranya? Luangkan sedikit waktu untuk berfikir. Sebelum interpretasi itu dilakukan. Misalnya, apa yang bisa saya lakukan saat kuota habis dan tidak bisa ikut kulon (kuliah online)? Dari pertanyaan ini, kita bisa jawab sendiri dan bisa jadi banyak pilihan yang bisa kita lakukan. Sehingga tidak bete atau justeru cemas karena takut dosen marah atau memberikan nilai kecil. Bisa belajar dengan materi yang sama, bisa bantu orang tua yang memang sejak awal sudah minta tolong, atau bisa melanjutkan hobi.
Manampiring dalam Filosofi Teras (2019) memberikan panduan yang disingkatnya dengan STAR (Stop, Think & Asses, Respond). Berhenti melakukan apapun termasuk berbicara saat emosi mulai menguasai jiwa, jangan sampai larut ke dalam perasaan. Setelah berhenti, Pikirkan dan nilai. Kita bisa aktif berfikir atau memaksakan diri untuk berfikir secara rasional tentang peristiwa atau keadaan sehingga bisa mengalihkan dari kebablasan emosi negatif. Kemudian nilai, apakah emosi tadi yang muncul bisa dibenarkan, memberikan dampak positif atau negatif? Apakah kita sudah memisahkan fakta dengan interpretasi subjektif? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menghilangkan emosi berlebih tentang suatu peristiwa. Terakhir, respon. Setelah menggunakan nalar untuk mengendalikan emosi, kita berfikir respon apa yang tepat untuk merespon keadaan atau peristiwa tersebut.
Sementara tawaran dari Ibrahim Elfikri dengan melakukan senam mental, yaitu suatu metode melakukan perlawanan terhadap persepsi negatif. Senam mental dilakukan sebagai berikut: Lihat situasi dari sudut pandang diri sendiri, lihat dari sudut pandang orang lain. Lebih baik jika kita dapat memahami perilaku orang lain. Sekarang coba lihat dari sudut pandang netral, tak memihak. Selayaknya sudut pandang seorang bijak, jangan mencampurkan emosi pribadi.
Penutup
Mengutip seorang filsuf sekaligus psikolog, William James, “penemuan terbesar generasiku adalah pengetahuan bahwa manusia bisa mengubahnya denga cara mengubah cara berfikir”. Dengan kata lain, mental lockdown dapat dilawan dengan mengelola cara berfikir (persepsi) kita. Seneca, seorang filsuf Stoic pernah bilang,”Tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Pikiran kita harus menerawang ke depan untuk menghadapi segala persoalan, dan ita harus memikirkannya bukan yang tidak terjadi, tapi apa yang terjadi.
Jangan sampai persepsi negatif mendahulu takdir. Karena itu dosa!***[]
Post a Comment for "Mengelola Persepsi Masa Pandemi"
Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...