Imam Syafi’i, Ulama yang tidak Pernah Lelah Belajar
Sumber: inspiraloka |
Imam Syafi’i, ulama besar peletak dasar fiqih menjadi salah satu ulama yang paling diingat, tentu di luar khulafaurrasyidin yang dijamin masuk surga. Karena sejak kecil, hidup di lingkungan tradisi, mengaji pada lingkungan Nahdlatur Ulama, setiap mengaji fiqih pada surau-surau kecil, pasti yang selalu dijadikan rujukan adalah Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i lahir di Gaza tahun 150 Hijriyah dengan nama Abu Adbullah Muhamad bin Idris As-Syafi’i. Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muahammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin as-Saib bin Ubayd bin Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muthalib bin Abdu Manaf bi Qushay. Jika dilihat dari nasabnya tersebut, Imam Syafi’i masih satu keturunan dengan Rasulullah Solallahu Alaihi Wassalam.
Kenapa saya menulis tentang Imam Syafi’i, pertama salah satu pernyataan Imam Syafi’i yang saya tulis pada blog ini, hanya Quotenya saja, ternyata dibaca oleh Ribuan orang. Padahal tidak ada isinya, hanya gambar quote saja. Kedua, pada bulan puasa, saya banyak belajar, merenung, dan bercengkerama dengan keluarga, mengajar ngaji anak setiap sore dan saat masuk bulan puasa pindah ke shubuh.
Aktivitas saya mengingatkan pada masa-masa kecil saya ketika mengaji di Surau. Walaupun tentu tidak banyak yang saya ketahui tentang Imam Syafi’i. Karena setelah dewasa, saya lebih memilih untuk memelajari fiqh lima madzhab. Maksudnya adalah bukunya.
Saya tidak akan menulis Imam Syafii’i tentang biografinya, hanya teringat dengan kondisi saya yang hari ini sedang menempuh studi saja. Dan ingat lagi dengan quotesnya yang cukup dikenal oleh netizen, bahkan saya perhatikan banyak netizen juga yang mengutif quote Imam Syafi’i seperti yang saya tulis juga.
Bila Kau tak tahan lelahnya belajar, maka kau harus tahan menanggung perihnya kebodohan.
Ini adalah bentuk selfreminder atau mengingatkan diri saya sendiri. Bahwa tidak ada yang instan dalam belajar. Tidak ada yang tiba-tiba seseorang bisa dan mampu melakukan sesuatu tanpa harus melalui berbagai macam tempaan. Bahwa saya harus ingat masa depan saya, dunia ataupun akhirat kelak, tidak boleh merasa lelah dalam belajar. Nasihat-nasihatnya bisa teman-teman baca di sini [Nasihan Imam Syafi'ii].
Bahkan saya ingat salah satu adagium yang menjadi pegangan organisasi ketika saya belajar, belajar itu sejak keluar rahim hingga pada akhirnya masuk liang kubur. Jadi pembelajar sepanjang hayat. Oleh karena itu saya selalu menjadi pembelajar. Belajar dari siapa saja, kapan saya, dimana saja. Bahkan saat sama sekali tidak berhubungan dengan sekolah atau kampus.
Termasuk juga pada ramadhan kali ini. Menjadi pembelajaran yang sangat berharga. Bagaimana beratnya mendidik anak, bagaimana beratnya menjadi seorang kepala keluarga. Oleh karena itu, belajar dan belajar menjadi salah satu praktik dalam menghadapi kehidupan yang menurut sebagian orang saat ini sedang mandesu alias masa depan suram.
Salah satunya, saya belajar pada Imam Syafi’i.
Walaupun tentu beda, karena pada umur 7 tahun Imam Syafi’i sudah hafal al-Qur’an, nah saya boro-boro hafal, lancar saja membaca al-Qur’an belum. Tapi kini saya berkomitmen bahwa membaca al-Qur’an ini harus menjadi bagian dari kehidupan saya sehari-hari. Tidak boleh meninggalkan al-Qur’an.
Imam Syafi’i pernah bercerita bahwa di suatu sekolah penghafal al-Qur’an, ia teringat dengan gurunya yang sedang membaca ayat al-Qur’an, lalu Imam Syafi’i menghafalnya yang dibacakan oleh gurunya. Hingga akhirnya Imam Syafi’i diminta menggantikan posisi gurunya setelah gurunya meninggal.
Selesai sekolah tahfidz al-Qur’an Imam Syafi’i pergi ke masjid Al-Haram menghadiri majelis ilmu. Imam Syafi’i saat itu hidupnya kekurangan, namun ia tidak lelah mencari ilmu. Beliau mendayagunakan semua sumber daya yang ada untuk menulis ilmu; potongan kulit, pelepah kurma bahkan tulang unta. Sampai-sampai barang-barang milik ibunya penuh dengan tulang dan pelepah kurma yang ditulisi hadits oleh Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i menghabiskan waktunya di Masjid al Haram. Termasuk menghapal alQur’an 30 juz. Pada usia 12 tahun, Imam Syafii menghafal Al-Muwatha, karya Imam Malik, yang pada akhirnya menjadi gurunya. Diketahui bahwa Imam Malik adalah salah satu peletak dasar fiqih Islam.
Imam Syafi’i sebelum belajar dasar fiqh, terlebih dahulu belajar bahasa Arab dan syair. Untuk memelajarinya ia tinggal dengan suku Hudzail yang fasih dan murni bahasa serta bagus syair-syairnya. Baru setelah mendapat nasihat guru-gurunya, Imam Syafi’i memelajari ilmu fiqh. Beliau menuntut ilmu dari ulama Mekkah. Ia juga belajar hadits dan lughoh sebelum membaca Al-Muwatha dari Gurunya, Imam Malik di Madinah.
Ia juga belajar kepada ahli hadits di Irak. Sekaligus ia menyebarkan ajaran yang telah dipelajarinya. Ia begitu teguh memegah Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan ia membela bagaimana pentingnya sunnah Rasulallah SWA. “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain. Sampai-sampai karena pembelaannya, ia mendapat gelar as-Sunnah wa al-Hadits.
Setelah belajar dari beragam guru fiqh, al-Qur’an, Hadits, ia juga belajr banyak kepada ulama lain di berbagai penjuru. Selain yang telah disebutkan Makkah, Madinah, dan Irak. Ia meminta izin gurunya, Imam Malik untuk belajar ke Baghdad, Persia, Yaman, hingga Mesir hingga menjelang ajalnya tahun 204 Hijriyah.
Imam Syafi’i adalah ulama yang tidak pernah berhenti belajar, hingga Allah menjemputnya. Nah jika ingin mendapatkan nasihat-nasihatnya Imam Syafi'i, bisa membaca tulisan dari Kang Jojoo.**[]
Post a Comment for "Imam Syafi’i, Ulama yang tidak Pernah Lelah Belajar"
Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...