Semangat Berbagi Barengi Literasi
Foto by @fileproject |
Sudah mafhum, era media sosial, setiap orang begitu
bersemangat untuk berbagi. Berbagi apapun. Tentang kehidupan diri; kantor,
rumah, aktivitas, jejaring, ataupun sosial. Semangat berbagi inilah yang
menjadikan sosmedland Indonesia begitu ramai dan riuh, tumpah ruah semuanya di
sosmed land. Wajar sosmedland Indonesia masuk daftar 5 terbesar dunia.
Sayang, semangat berbagi tersebut seringkali menimbulkan
masalah karena tidak dibarengi dengan semangat literasi. Ya, literasi. Literasi
bukan hanya soal membaca. Bukan hanya soal menulis. Juga bagaimana memahami
setiap isu, wacana, atau pun peristiwa dipahami dengan benar tentang apa,
bersumber dari mana, dan apa kegunaannya.
Yaaa sebenarnya sih, jika dikaji berdasarkan kajian filsafat;
misalnya tentang suatu informasi yang beredar, maka informasi tersebut harus
dipahami dulu hakikat informasi tersebut (ontology), sumber, asal usul, atau
bagaimana cara informasi itu muncul, daaan kira-kira nih. Informasi tersebut
berguna atau bermanfaat apa tidak jika disebarkan lagi.
Jika ini sudah dipahami, sebetulnya selesai. Tidak akan muncul masalah. Hanya saja tidak
setiap orang mau dan mampu sampai sejauh itu berfikir. Karena semangat berbagi
hanya dibarengi dengan hasrat atau dorongan naluri ingin cepat eksis dan
terkenal. Apalagi dilike, dishare ulang, dikomentari, dengan
melebihi jumlah pertemanannya. Eksistensi kita seakan memuncak. Berbagi pun
menjadi candu. Tidak peduli benar atau salah. Yang penting eksistensinya
terpenuhi, hasratnya tersalurkan, ia pun tidak pernah tertinggal informasi terkini
di bandingkan tetangga sebelahnya-Fear of Mising Out (FoMO).
Sebelum dikenai pasal UU ITE yang bisa menjerat dengan
penjara tahunan dan denda ratusan juta. Maka warganet dengan kategori tersebut
tidak akan penah kapok, kecuali saat polisi sudah menjemput. Baru menyesal.
Oleh karena itu, sebelum menyesal. Maka semangat berbagi
harus dibarengi dengan literasi. Literasi sendiri ada yang bersifat fisik
seperti membaca dan menulis, kecenderungan ini lebih kepada peristiwa
literasinya. Namun yang tidak kalah penting adalah pada aspek praktiknya yang
cenderung abstrak. Pada praktinya, literasi melibatkan nilai, sikap, perasaan,
dan hubungan sosial. Pada konteks pelibatan ini juga mengikutsertakan aspek kognitif.
Literasi mulanya adalah kegiatan mengenal huruf lalu mengenal
tulisan. Berkembang menjadi suatu keterampilan membaca dan menulis. Namun, literasi
tidak berhenti pada kemampuan membaca dan menulis. Dalam konteks informasi
seperti dikutip Iriantara (2009), literasi dipahami sebagai kemampuan
mengumpulkan, mengorganisasikan, menyaring, dan mengevaluasi informasi.
Sekaligus juga suatu kompetensi untuk memperhitungkan akibat-akibat sosial dari
publikasi yang dilakukan.
Maka bisa digarisbawahi bahwa literasi (informasi) di sini
erat kaitannya dengan;
(1) kemampuan mengumpulkan informasi berasal dari mana;
(2) kemampuan mengorganisasikan, menggabungkan, mengombinasikan,
atau menyeleksi dan memilah informasi mana yang harus dan tidak harus disusun
sehingga menjadi data yang utuh untuk disebarluaskan;
(3) Kemampuan menyaring informasi mana yang layak dan tidak
layak untuk disebarluaskan;
(4) mengevaluasi apakah sumber informasi benar, apakah
informasi tersebut valid, berasal dari mana sajakah referensi informasi, apakah
sumbernya terverifikasi;
(5) Kemampuan memperhitungkan dampak dari informasi yang
dibagikan. Dalam bahasa komunikasi, seorang agen informasi harus mampu
meramalkan kemungkinan-kemungkinan dampaknya. Tidak hanya sekedar senang
berbagi informasi.
Berdasarkan beberapa komponen sederhana tersebut, maka
derajat literasi sedikit meningkat bukan hanya mengenal huruf, dan kemudian
menuangkan kembali menjadi tulisan. Juga sudah pada tarap memahami membaca dan
menulis itu untuk keperluan apa. Seperti apa menulis yang bermanfaat, bagaimana
dampaknya, informasi seperti apa yang harus dirujuk dan dibagikan, apakah
informasi tersebut benar atau tidak, dan apa dampaknya jika informasi tersebut dibagikan.
Terinternalisasikannya pemahaman tersebut dalam diri kita
sebelum berbagi informasi, bukan hanya meningkatkan derajat diri, juga meningkatkan
sistem imun diri kita dari serangan hoax. Sehingga tidak mudah percaya, selalu
bersikap skeptis (ragu-ragu). Kita pun tidak akan sembarangan berbagi sehingga
tidak mudah menjadi korban penyebaran hoax.
Yuk barengi semangat berbagi kita dengan literasi!
Post a Comment for "Semangat Berbagi Barengi Literasi"
Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...