Menjadi Warganet Sehat Tanpa Hoax
properti @abahraka |
Setiap ada isu viral selalu
diikuti oleh penyebaran informasi bohong (hoax) dan berjatuhan korban. Saya
masih ingat tahun 2017, santer terjadi penculikkan di daerah Bandung. Bahkan
beredar viral video seorang anak usia SD yang mengaku telah diculik dan lepas
di daerah Banjaran Bandung. Menurut informasi lanjutan anak tersebut sedang
mencari perhatian orang tuanya. Sedangkan seorang Bapak, karena waswas memiliki
anak kecil menyebarkan berita jika di daerahnya (Cihampelas Bandung Barat)
sudah masuk penculik, dengan menyebarkan foto beserta keterangannya. Setelah
diusut ternyata foto wanita dalam gambar tersebut bukan penculik tetapi orang dengan
gangguan jiwa.
Beberapa hari yang lalu, polisi
menangkap tiga orang Ibu-ibu di Banyuwangi karena kedapatan menyebarkan berita
penculikkan. Begitu juga kasus yang saat ini menjadi pusat horor dunia, Corona,
bukan saja menjatuhkan korban Corona, juga korban penyebar hoaksnya, seperti
dilakukan oleh seorang laki-laki yang menyebarkan hoax jika ada seorang Ibu
terkena virus Corona di Bandara Soetta.
Masih sangat aktual adalah foto
pembantaian yang tersebar melalui grup-grup WA juga facebook. Menggambarkan
warga Muslim India yang berjejer telah mengenakan kain kafan. Dengan gambar
lain foto-foto gedung terbakar. Foto tersebut dianggap sebagai korban
pembantaian warga muslim oleh warga Hindu India karena telah memakan hewan suci
umat Hindu; Sapi. Padahal foto tersebut adalah aksi demonstrasi terkait
Undang-undang kewarganegaraan India yang merugikan Muslim.
Haruskah ada Korban Hoax (lagi)?
Menjadi korban atau pelaku kejahatan
yang pada akhirnya sebagai ‘korban’ hoax sungguh tidak nyaman. Para penyebar
berita bohong tersebut telah terkena penyakit psikologi massa atau Christakis
dalam buku Connected, sebagai Mass Psychogenic Illness. Suatu
penyakit psikologis yang tertular oleh massa, karena massa cenderung melakukan
suatu hal, dia juga ikut terlibat.
Istilah sekarang, seperti ditulis
oleh David Stillman sebagai Fear of Missing Out (FoMO). Suatu
penyakit psikologis yang tidak ingin terlewat satu isu atau berita. Sehingga
dia merasa harus terus eksis dan narsis, selain melalui pamer eksistensi (pseudo
eksistensi) juga dengan menyebarkan berita bohong. Karena dia mengira, dengan
menyebarkan berita, dia juga ikut numpang eksis. Padahal kebenaran faktanya
belum tentu valid. Pada akhirnya, penyakit tersebut mengantarkan orang untuk menyebarkan
berita bohong.
Berdasarkan data kemkominfo, pada
tahun 2019, khususnya April terdapat 800-900 ribu situs penyebar Hoax. Sejak
munculnya kasus Corona sendiri, terdapat 54 kasus, 53 kasus disebar pada
bulan Januari 2020. Belum lagi saat masuk Bulan Februari, sebaran berita
bohong bertambah banyak.
Bisa jadi, para penyebar Hoax
tersebut bukan karena seperti penyakit di atas, Mass Psycogenic Illnes, karena
banyak yang melakukan lantas dianggap benar. Atau karena FoMO tidak ingin kalah
eksis dari yang lain, maka ikut eksis dan narsis dengan menyebarkan berita (Hoax).
Bisa jadi para penyebar Hoax tersebut belum teredukasi.
Berdasarkan hasil penelitian,
para penyebar Hoax ini rata-rata berada pada rentang usia 35 ke atas, yang saya
kategorikan sebagai puber digital ataupun tepatnya seperti disebut oleh Presidium
Masyarakat Anti Fitnah, Septiaji sebagai Digital Imigran (sumber Detik.com).
Sedangkan di bawah usia 35 tahun karena sudah aware dengan teknologi, sehingga
lebih hati-hati.
Lalu bagaimana agar kita tidak
terjebak oleh Hoax dan terhindar sebagai korban bencana hoax nasional?
Sebelum membahasnya, saya
definisikan dulu tentang Hoax. Berdasarkan definisi KBBI Hoax adalah berita
bohong. Merujuk pada buku 11 mengenal Hoax. Hoax adalah suatu informasi
yang salah namun dianggap benar dan disebarkan untuk keperluan tertentu. Nah,
kita sendiri sering mendapatkan berita bohong, namun dianggap benar dan valid
oleh penyebarnya.
Bahkan untuk meyakinkan, penyebar
Hoax menggunakan kata-kata ancaman atau tanda seru; Hati-hati telah terjadi/
tersebar, jika tidak disebarkan bisa celaka, sebarkan untuk kebaikan, dan
lain sebagainya.
Pada tahun 2017, Hoax sudah
setiap hari masuk ke berbagai aplikasi yang kita punya; mulai dari email,
komentar blog, aplikasi chating, media jejaring sosial, mahkan mesenjer (Messenger).
Bahkan berdasarkan catatan dari turnbackhoax, beberapa media massa juga
menyebarkan hoax.
Saya sendiri pernah ‘memergoki’
media massa yang menyebarkan Hoax, dan ini dilakukan oleh media-media yang dianggap
kredibel dan telah terverfikasi Dewan Pers. Misalnya pada kasus penamaan KRI
Usman-Harun masa pemerintahan SBY, banyak media di Indonesia yang memberitakan
tentang pemutusan hubungan pertemanan yang dilakukan oleh Perdana Menteri
Singapura terhadap Presiden SBY. Padahal, baik Perdana menteri Singapura
ataupun Presiden SBY tidak memiliki akun Facebook (fanpage iya, tapi bukan akun
facebook, karena fanpage sifatnya terbuka).
Begitu juga saat Raja Salman
berkunjung ke Indonesia, ada satu media online besar memberitakan bahwa putri
raja Salman yang Cantik tampak Anggun tanpa mengenakan Burqa, padahal wanita
tersebut adalah pramugari, bukan putri Raja Salman.
Pada pelatihan Anti Hoax yang
diselenggarakan di Hotel Harris Ciumbuleuit oleh Mafindo, saya sampaikan bahwa
salah satu penyebar berita bohong ya dari media sendiri, selain yang sudah
disebutkan di paragrap-paragrap awal.
Lalu, bagaimana kita mengenali Hoax
dan kita tidak terjebak untuk ikut menyebarkannya?
Saya rujuk dari Siberkreasi, ada
beberapa cara untuk mengantisipasi agar tidak terjebak oleh berita Hoax dan
kita tidak ikut menyebarkannya.
Pertama, jika yang menyebar
situs, periksa situs tersebut apakah kredibel atau tidak? (yang kredibel saja
bisa terjebak hoax apalagi yang tidak kredibel)
Kedua, periksa
halaman-halaman dari situs tersebut, apakah isinya masuk akal.
Ketiga, Periksa apakah
terdapat kalimat yang menyuruh pembaca untuk menyebarkannya.
Keempat, kroscek pada
google apakah ada berita yang sama, spesifik pada situs-situs terpercaya
Kelima, jika berupa gambar,
cek kebenarannya dengan memasukkan kata kunci melalui reverse google image.
Selain 5 hal untuk mengantisipasi
tersebut, sebagai warganet sehat yang sudah memiliki telepon pintar, bisa
memaksimalkannya dengan menggunakan aplikasi pengecekkan hoax, misalnya Hoax
Buster Tools, cekfakta, antihoax, dan mungkin sekarang cukup banyak tools yang
bisa digunakan untuk melakukan pengecekkan berita tersebut fakta atau bukan.
Media massa juga sering melakukan
pengecekkan fakta terhadap satu berita yang tersebar viral di media sosial.
Jika terlalu malas membaca, tinggal kirim WA ke Jabar Saber Hoax atau Mafindo
untuk dicek faktanya.
Menerapkan Jurnalisme
Bagi saya sendiri, jurnalisme
cukup ampuh mengantisipasi Hoax, apalagi sebagai terlibat sebagai kelompok
informasi masyarakat yang harus secara mendiri mendapatkan dan menyebarkan informasi.
Sudah seharusnya bisa merealisasikan tentang jurnalisme.
Pertama; 5 W 1 H.
Misalnya, apakah satu gambar,
video, atau berita jelas 5 W 1 H nya? Jika tidak jelas, 5 W H nya kita patut
curiga, gambar atau video yang tersebar tersebut adalah Hoax. Dan tidak perlu
pusing juga dengan gambar-gambar yang bermunculan yang kadang membuat kita
emosi (sedih, haru, marah, dan lain sebagainya) karena kita anggap saja Hoax
jika tidak memenuhi unsur-unsur tersebut. Selesai urusan.
Kedua; Verifikasi (tabayun)
Jika ternyata banyak orang yang
keukeuh dengan informasi yang beredar, salah satu elemen jurnalisme yang bisa
digunakan untuk melakukan pengecekkan adalah verfikasi data. Melakukan
verifikasi dapat dilakukan melalui beragam media kredibel, apakah berita yang
beredar tersebut banyak dimuat secara luas atau tidak. Atau hanya dimuat oleh
media tidak jelas.
Media sendiri biasanya jika
kejadiannya berada di area sekitar langsung kroscek ke lapangan atau terhadap
pihak berwenang.
Untuk kita sendiri, lebih baik
menghindari sikap terburu-buru untuk menyebarkan berita (jangan FOMO), agar
tidak celaka kemudian.
Ketiga; Cek keberimbangan
Selain pengecekkan fakta, lakukan
kroscek keberimbangan berita yang dimuat oleh beragam media tersebut, bandingkan
dengan beragam media yang ada; bisa cetak, elektronik, ataupun sesama digital.
Karena Hoax lebih sering beredar di media digital.
Keempat: Tidak Clickbait
Bandingkan antara judul dan isi
relevan dan masuk akal
Hidup Sehat Tanpa Hoax:
Pertama, tidak
mudah percaya/ skeptis/ ragu. Kedua, jangan selalu ingin cepat-cepat menyebarkan. Ketiga, tekan keinginan ingin selalu eksis (dalam konteks menyebarkan berita (yang belum jelas benarnya))! Insha Allah, kita bisa hidup sehat tanpa hoax.***[]
Intinya memang kita harus punya prinsip, maluuuuu banget kalau menyebarkan berita yang salah.
ReplyDeleteDengan itu kita jadi lebih peduli cari kebenaran berita dulu sebelum di share :)
Hoax sekarang gampang beredar karena dipicu oleh pola dan doktrin di masyarakat indonesia pada jaman orde baru. Dimana setiap berita yang muncul di media massa pada jaman tersebut adalah corong pemerintah yang dianggap sudah pasti kebenarannya. Sebab itulah pada jaman sekarang terutama generasi yang pernah merasakan orde baru, akan menganggap setiap berita yang ia terima di media sosial layaknya berita media massa pada jamannya. Dianggap benar, dan langsung disebarkan lagi ke media sosial miliknya tanpa dicek terlebih dahulu kebenarannya. Bahkan terkadang langsung disebar tanpa membaca berita lengkapnya terlebih dahulu. Hanya membaca judulnya saja.
ReplyDeleteBetul sekali teh @Rey, intinya sekarang mah harus hati-hati, jangan mudah percaya, selalu curiga dengan berita-berita yang muncul, apalagi yang tidak bersumber ya...
ReplyDeleteYa begitulah jaman sekarang @Greatnesia, kadang orang gak tau isi, cuma baca judul langsung sebar, ini yang menjadikan hoax tambah subur ya...
ReplyDeleteSetuju kang, jangan mudah percaya jika ad berita yang bombastis, kita cek dulu dengan sumber terpercaya, bisa lewat google atau media yang kredibel.
ReplyDeleteKang @Agus Warteg, betul sekali kang Agus, kita bisa menggunakan fasilitas yang ada untuk mengecek kebenaran informasi
ReplyDelete