Menyoal Nilai Pancasila
Logika saya kadang selalu
berbalik menyikapi fenomena yang ada, mungkin karena referensi dan pengalaman
yang berbeda. Namun pada dasarnya, apa yang saya lakukan merupakan bagian dari
pengejawantahan nilai-nilai.
Pada konteks Pancasila, nilai-nilainya
bersifat universal. Begitu juga saat menyikapi berbagai fenomena di Indonesia, yang
kadang logika saya selalu berfikir terbalik. Misalnya, saat menyikapi FPI dan
HTI. Memang betul ada hal-hal yang mengancam Pancasila seperti radikalisme yang
mereka lakukan. Akan tetapi pemberangusan terhadap eksistesi mereka, saya
melihatnya sebagai perilaku yang tidak menghormati keberagaman dari nilai
Pancasila.
Mereka tetap menjadi bagian dari
ke-Indonesiaan, mereka tetap harus dirangkul. Oleh karena itu perlu ada dialog.
Ini menjadi inti dari menciptakan keberagaman. Hanya saja yang menjadi
pertanyaan, apakah kita pernah melakukan dialog dengan mereka. Pernahkan
nilai-nilai Pancasila yang universal ditransformasikan kepada mereka. Ini
menjadi persoalan.
Karena keberagaman tidak boleh dibuat
standar ganda. Yang kita sukai boleh, yang tidak disukai tidak boleh. Bagi yang
disukai sebagai bagian dari yang diangkat, tapi bagi yang beseberangan
pendapatnya maka harus dibungkam. Bagi saya ini standard ganda.
Meminjam bahasa Prof Musdah
Mulia, nilai-nilai universal itu salah satunya kebebasan, keadilan, persamaan, persatuan,
solidaritas/ kerjasama, keberagaman/kebhinekaan, toleransi, tanggungjawab, kedamaian,
kejujuran, keadaban, kemaslahatan.
Dengan kata lain, nilai-nilai
Pancasila juga berarti tidak alergi dengan pemikiran atau sikap yang
berseberangan dengan kita sendiri. Namun kadang, ego yang terlalu menonjol
menutup kita sehingga jika ada yang berseberangan atau mengkritik mendorong
terhadap sikap standar ganda kita sendiri dalam memahami nilai keberagaman,
toleransi, atau keadilan.
Teringat kata pram, ketika ingin
merealisasikan tentang suatu nilai, nilai itu harus ada dulu dalam pikiran.
Keadilan harus ada sejak dalam pikiran. Jika hanya dalam pembicaraan maka
jadinya terjadi standard ganda dalam toleransi. Karena toleransi sendiri tidak
hanya terjadi dalam konteks agama dan suku saja atau sering disebut SARA.
Nah, menarik bahwa dalam diklat
Pembinaan Ideologi Pancasila bagi Pendongeng, Youtuber, dan Influencer, bahwa
hari ini memang seakan terjadi friksi-friksi di masyarakat. Kehidupan
intoleransi terjadi di masyarakat, bahkan Jawa Barat sendiri yang menjadi rumah
besar menjadi provinsi paling intoleran di Indonesia. Padahal, basis pesantren
sangat kuat.
Bisa jadi hal ini karena adanya
kebebasan yang tidak terkontrol. Sehingga pada akhirnya kebebasan ini
dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan yang ingin memecahbelah bangsa. Namun
sayangnya, para oknum tersebut juga menjadi bagian dari kita sendiri, yang
tidak paham tentang nilai-nilai tersebut.
Nah jadi binguuuung….
Dari catatan yang disampaikan
oleh Romo Beni, Era digital, konten-konten negative bisa muncul yang terkait
dengan hal-berikut; (1) sentiment, suku, agama, ras, dan antar golongan. (2) Kemanusiaan
reduksi dalam mekanis teknologi, (3) Permusuhan di ruang dunia maya (4) Hoax,
ujaran kebencian
Nah untuk mengantisipasi ini
semua perlu strategi. Paman Gery memberikan beberapa hal terkait dengan
strategi tersebut; Pertama perlu ada segmentasi untuk penyebaran konten, sehingga
pesan yang disampaikan tepat sasaran. Kedua, Konten. Konten juga menjadi hal
yang penting, karena koten menjadi substansi dari pesan yang disampaikan.
Ketiga Chanel. Pilihan media juga harus pas. Apalagi di era sekarang, media digital
yang menjadi media mainstreamnya generai millennial dapat menjadi pilihan untuk
menyebarkan konten yang segmentasinya millennial. Dan keempat, bahwa kontenya
harus selesai.
Terakhir, yang paling diingat
adalah pernyataan-pernyataan dari Pak Lek Djum, seorang Dalang Wayang Wolak-walik,
pengurus LESBUMI PB NU. Bahwa nilai-nilai pancasila ini bukan persoalan
butir-butir tapi bagaimana mengejawantahkan nilai-nilai yang telah lama menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari. Ketemulah dengan apa yang disampaikan oleh
Prof Musdah Mulia, Pancasila itu soal nilai-nilai yang universal dan persoalan
moral.
Selain yang disebutkan di atas,
seorang pengondeng senior Ki Kusumo mengatakan, membiasnya nilai Pancasila
karena hilangnya rasa hormat dan penghargaan. Oleh karena itu rasa hormat dan
menghargai itu harus dimunculkan. Ini juga menjadi bagian dari pengejawantahan
nilai-nilai pancasila.
Bagi saya sendiri,
mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila itu gampang-gampang susah. Karena kadang
kita membuat standar ganda. Pada sisi lain, kita seringkali baper jika berhadapan
dengan orang yang berbeda, baik pemikiran, superioritas, atau pun sikap. Nah
maka melalui Pancasila, apakah kita bisa cukup pikiran, rasa, dan sikap dalam
bertoleransi dengan hal-hal tersebut!?
Semoga kegiatan ini menjadi
pelecut untuk tetap berpegang pada nilai universal dan lokalitas kita!
#SalamPancasila
Thanks
ReplyDelete