Disrupsi (Ruang) Keluarga
Sumber: Pikiran Rakyat, 06/11/2019 |
Seorang rekan kerja sekaligus seorang ayah dari 3 putrinya
yang masih anak dan balita tiba-tiba saja bercerita dan mengeluh, salah dua
anaknya kesulitan melepas kebiasaan bermain gawai. Ia juga bercerita, dalam
waktu dekat akan mengikuti seminar parenting. Agar mendapatkan cara bagaimana
menghentikan kecanduan anaknya tersebut bermain gawai.
Beberapa pekan lalu sempat viral pada pemberitaan, Rumah
Sakti Jiwa Jawa Barat kedatangan pasien gangguan jiwa terdampak gawai. Pikiran
Rakyat juga menerbitkan berita serupa tertanggal 18 Oktober 2019 pada laman daringnya.
Merujuk pada Rumah Sakit Jiwa yang berlokasi di Bogor, terdapat belasan anak
dan remaja yang terdampat gawai dan masuk kategori golongan orang dengan
masalah kejiwaan (OMDK).
Fenomena ini terjadi hampir di setiap keluarga. Berdasarkan
observasi terbatas, orang tua seringkali memberikan gawainya saat anaknya
rewel. Beberapa keluarga membelikan anak-anaknya tablet, sehingga hampir
seharian anak dapat menguasai perangkatnya tersebut; dari bermain game hingga
menonton Youtube. Tanpa diganggu oleh keperluan orang tuanya menggunakan
perangkat tersebut.
Disrupsi Masuk Rumah
Sejak popular dan kehadiran gawai di tengah keluarga. Tokoh
pahlawan yang dipajang di kamar anak tidak lagi menjadi panutan. Gambar-gambar
yang menjadi media pembelajaran yang ditempel di dinding tidak lagi menjadi
perhatian. Aktivitas anak beralih dari hal-hal yang bersifat fisik menjadi
hal-hal bersifat virtual. Panutan anak kini berasal dari tokoh game dan
youtube. Bukan lagi Habibie tapi Atta Halilitar. Bukan lagi atlet berprestasi
Kevin Sanjaya atau Febri Hariyadi, namun Spongebob.
Alih perhatian terjadi saat anak mulai sulit melepaskan
pandangannya dari layar youtube. Orang tua lebih memilih meninabobokan
kerewelan anak dengan memberikan gawai. Maka terjadilah perubahan segala
perhatian anak terhadap hal-hal yang fisik. Anak-anak pun menjadi sulit
menuruti nasihat orang tuanya. Kata-kata dan perilakunya dibimbing oleh
kreasi-kreasi pada layar gawai.
Pada konteks tersebutlah disrupsi telah hadir di
tengah-tengah keluarga. Bagi Francis Fukuyama (1999), disrupsi merupakan sebuah
kekacauan tatanan sosial sehingga nilai-nilai yang pada awalnya menjadi rujukan
bagi masyarakat tereduksi bahkan hilang. Hilangnya nilai inilah yang menjadi
sumber kekacauan tatanan tersebut.
Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini terhadap kecanduan
gawai memberikan konteks bahwa telah terjadi pergeseran nilai-nilai yang
diajarkan dalam keluarga. Orang tua yang seharusnya menjadi madrasah pertama dan
utama bagi anak-anaknya tergantikan oleh kehadiran gawai. Ajaran dan nasihatnya
tidak lagi menjadi rujukan, karena anak telah memiliki panutan sendiri dari
tokoh virtual.
Disrupsi mulai merangsek ke ruang keluarga saat anak lebih
banyak berinteraksi melalui gadget dibandingkan aktivitas fisik. Padahal
anak-anak sedang butuh-butuhnya membangun saraf-sarat psikomotorik. Seperti
pernah disampaikan Jalaluddin Rakhmat yang menulis buku Belajar Cerdas, Belajar Berbasis Otak, bahwa masa anak-anak adalah
masa membangun jaringan saraf pada otaknya.
Jika anak lebih banyak berinteraksi dengan gawai, yang
terbangun bukan saraf psikomotorik. Namun saraf interaksi dengan gawai. Maka
wajar, anak mengalami kehilangan orientasi terhadap aktivitas psikomotorik,
justeru yang terjadi adalah ketidakrelaannya saat terlepas dari gawai.
Digital Native
Disrupsi ruang keluarga menjadikan orang tua sangat protektif
terhadap anak. Bahkan salah satu komunitas literasi melarang orang tua
memberikan akses virtual terhadap anak. Hal ini seakan melawan takdir anak yang
lahir dengan segala bentuk kreativitasnya di dunia digital. Jika hal ini
diterapkan, maka anak bukan hanya ketinggalan, juga kehilangan peluang besar
dalam mengenal lebih awal kreativitas yang dihadirkan oleh perangkat.
Ketinggalan ini justeru mendatangkan masalah baru bagi anak. Saat anak lain telah
mengenal dunia digital yang kreatif, anak kita justeru tertinggal.
Pada konteks ini, orang tua harus betul-betul bijak dan sabar
bagaimana mengenalkan dunia digital dan segala macam krearitivitas yang dapat
dijadikan rujukan oleh anak menjadi bahan pembelajaran. Sebagai anak kandung
digital, anak kita bernafas dengan bit-bit digital. Seperti ditulis oleh Don
Tapscot (2009), anak yang lahir pada era digital memiliki nafas digital
sehingga sulit untuk dilepaskan dari pengaruh dan dampaknya sekaligus.
Sebagai anak kandung internet, dunia anak sekarang adalah
dunia virtual, yang penuh dengan segala bentuk kreativitas, tidak seperti orang
tuanya yang berasal dari generasi X, yang cenderung kesulitan beradaptasi
dengan beragam kreativitas yang dilahirkan oleh bit-bit digital (coding). Oleh
karena itu biarkan mereka mengenal dunia mereka sendiri.
Sebagai orang tua, yang perlu dilakukan adalah mendampingi,
mengingatkan, membukakan mata mereka bahwa walaupun mereka bernafas dengan
bit-bit digital mereka hendaknya memperlakukan perangkat sebagai alat
kebertubuhan, seperti yang ditawarkan oleh Don Ihde (Lim, 2008). Yaitu sebagai
alat yang membantu fungsi tubuh dalam memahami dan menafsirkan dunia. Bukan
sebagai bagian dari tubuh itu sendiri yang tidak bisa dilepaskan selama 24 jam.
Oleh karena itu, sebagai fungsi kebertubuhan juga semantik,
perangkat hanya digunakan sekali waktu jika dibutuhkan. Digunakan secara wajar
untuk keperluan belajar. Bukan terhanyut ke dunianya, bukan tercampur ke
dalamnya sehingga anak dan gawai tidak bisa dipisahkan.
Nilai Keluarga
Era Disrupsi tidak berhenti pada kekacauan sebuah tatanan
sosial. Juga menawarkan ragam solusi yang bisa memperbaiki tatanan tersebut.
Jika anak terdisrupsi oleh kehadiran gawai. Maka di dalam perangkat digital
tersebut juga hadir tawaran peluang yang menghadirkan nilai-nilai keluarga.
Persis seperti yang ditawarkan oleh Fukuyama dalam The Great
Disruption (1999). Belajar dari dua negara maju, Jepang dan Korea, kedua negara
tersebut telah mengalami disrupsi terlebih dahulu. Namun kedua negara tersebut
mampu menghadapinya dengan mempertahankan nilai tradisional dalam keluarganya.
Maka peran orang tua, bisa membuka peluang-peluang tersebut
untuk menghadirkan kembali nilai-nilai keluarga melalui beragam aplikasi yang
menawarkan nilai tersebut. Ipin-Upin yang sarat nilai kekeluargaan bangsa
Melayu masih renyah untuk ditonton pada kanal youtube, begitu juga dengan
beragam game Islami seperti yang ditawarkan oleh Marbel dan menjadi rujukan anak
bagaimana belajar menyenangkan.
Tentu saja walaupun anak diperkenankan memasuki dunia
virtual, ada batasan-batasan yang harus diterapkan oleh orang tua. Dari sisi
waktu dan dari sisi akses. Anak-anak hanya bisa bersentuhan dengan perangkat
paling lama, misalnya 1 jam. Menonton youtube juga sudah kita sediakan pada
ruang download perangkat. Sehingga anak dapat mengendalikan diri dan waktunya
tanpa harus ketergantungan terhadap gawai. Semua dikembalikan lagi kepada
keluarga dan orangtua.
Post a Comment for "Disrupsi (Ruang) Keluarga"
Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...