Menikmati Senja di Karang Papak

Foto: dokumentasi pribadi (@abahraka)
Pernah punya mimpi, suatu saat ingin sekali melakukan ekspedisi Pantai Selatan Garut, dari mulai Pantai Cicalobak, Cijeruk hingga menyusuri Sayang Heulang, Santolo dan berakhir di Rancabuaya. Adalah tahun 2008 atau 11 tahun yang lalu, pernah ngetrip ke Rancabuaya melalui jalur konvensional; Cikajang, Pakenjeng, Bungbulang dan sampailah Rancabuaya. Sedangkan kepulangan menggunakan jalur selatan yang waktu itu relatif masih baru. Jalannya pun masih aspal biasa dan kecil layaknya jalan kecamatan di sebuah kabupaten.

Lebaran tahun 2018 merupakan kunjungan keempat kali ke daerah Pantai Selatan. Niat menyusuri pantai selatan dari Cicalobak hingga Rancabuaya tidak pernah tertunaikan dengan berbagai macam alasan. Maka, cukup diniatkan, trip kali ini harus menambah referensi tentang pantai baru yang relatif anti mainstream atau yang jarang disebut oleh para pelancong; bukan Sayang Heulang atau Santolo, bukan Rancabuaya atau Cijeruk, bukan pula Cicalobak atau Karang Paranje. Ia adalah Karang Papak.

Berangkat dari Garut Kota jam 11.00. Pukul 14.00 telah sampai di Kota Kecamatan Pameungpeuk. Namun tidak seperti hari biasa, pada libur lebaran, Jalan Kota Kecamatan Pameungpeuk tidak berbeda dengan Kota Bandung atau Jakarta. Kemacetan jalan Pameungpeuk terjadi hampir sepanjang hari  hingga menuju bibir Pantai Santolo dan Sayang Heulang. Padat merayap. Baik menuju pantai atau yang pulang dari pantai. 

Siang hari, panas dan debu menyatu menyergap badan kami yang saat itu berbonceng menggunakan kuda besi. Sebentar-sebentar kendaraan yang kami tunggangi berhenti, jalan lagi. Menyalip ke sisi kiri menggunakan sisa-sisa jalan roda empat yang tak ingin kalah berlari. Seakan tak ingin menyisakan peluang untuk kendaraan lain. 

Selama dua jam, baik roda dua ataupun empat saling bersaing mendapatkan peluang agar bisa melaju sedikit-demi sedikit. Pukul empat sore, kami baru sampai pada pertigaan menuju Pantai Sayang Heulang. Waktu tempuh normal 15 menit dari kota kecamatan Pameungpeuk, musim libur lebaran ditempuh selama dua jam. Pameungpeuk yang menjadi jalur utama menuju pantai selatan Garut menjadi kota yang sibuk. Sanga padat. Laiknya metropolitan yang menjadi Ibu Kota Jawa Barat.

Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB. Kuda besi kami masih terjebak di antara Pantai Sayang Heulang dan Santolo. Saat sampai pada pertigaan Santolo, jalanan tidak kalah padat dengan Pameungpeuk dua jam lalu. Si Kuda Besi akhirnya tidak kami arahkan ke Santolo, tapi kami arahkan menuju jalur Rancabuaya.

Satu kilometer lebih kami lalui sejak pertigaan belokan menuju Santolo. Batas warna biru laut tampak jelas terlihat dari kejauhan, semakin maju bertambah jelas terlihat dari Jalan Raya Cikelet. Kami tidak sadar bahwa gerbang menuju pantai tersebut telah terlewati. Dan sayapun memberikan kode kepada adik yang berbonceng di belakang untuk beristirahat dari perjalanan yang kami tempuh kurang lebih hampir 6 jam, dari Garut Kota sampai Cikelet.

Berhenti sejenak di pinggir jalan. Kami berjalan menggunakan kuda besi dengan pelan. Bertemulah dengan sebuah jalan setapak menuju pantai. Deburan ombak telah samar-samar terdengar. Makin mendekat suara semakin kencang. Kini pantai hanya terhalang oleh sebuah rimbun rerumputan. Motor akhirnya kami parkirkan di sebuah padang rumput kering. Pantai pun menganga di depan mata. Deburan ombak begitu jelas. Kami berada di Karang Papak. Sebuah pantai perawan yang masih dikelola warga.  

Pantai Karang Papak
Nama Karang Papak masih terdengar asing. Nama pantai yang sudah populer di Garut selain Santolo, Sayang Heulang, dan Rancabuaya; ada Cicalobak, Cijeruk, Manalusu, Karang Paranje, Gunung Geder, atau Cijayana. Walaupun beberapa pantai yang disebutkan belum saya kunjungi, namun sudah sering dijadikan catatan perjalanan oleh para pelancong baik domestik ataupun regional. Beberapa kanal seperti liputan6.com, kompasiana, atau blog-blog wisata juga sering menyebutkan pantai-pantai tersebut.

Karang Papak masih asing untuk disebutkan oleh kanal-kanal populer tersebut. Saat mencari informasi tentang Karangpapak, hanya ada satu blog yang cukup memadai memberikan informasi, jelajahgarut.com. Sebuah situs lokal yang menyajikan informasi wisata Garut beserta fasilitas guiding yang ditawarkan serta fasilitas lain yang diperlukan oleh pelancong seperti alat-alat berkemah. Namun, tidak memberikan petunjuk lengkap bagaimana mencapai ke sana atau bagaimana fasilitas penginapannya.

Begitu juga dengan wikipedia, belum ada keterangan tentang Karang Papak. Secuil informasi yang bertautan dengan wikipedia berasal dari googlemaps. Beruntung, terdapat 479 ulasan tentang Karang Papak yang bisa dijadikan pelengkap informasi, walaupun ulasan-ulasannya sangat singkat.

Merujuk pada keterangan googlemaps, pantai ini terletak sekitar 2,4 km dari Pantai Santolo. Namun jika ditempuh dari pertigaan Santolo kurang lebih 1 km. Jika Santolo harus masuk lagi ke dalam untuk menyaksikan pantainya. Karang Papak cukup terlihat jelas dari Jalan Raya Cikelet.

Pantai ini relatif baru, gapura masuknya masih tergolong sederhana, terbuat dari kayu dan bambu. Wajar saat kami melewati jalan ini, plang bertuliskan sambutan selamat datang tidak terlihat. Baru terlihat setelah kami mengitari dan menyusuri jalan di sekitarnya dan bertemulah dengan Gapura Selamat Datang.

Tidak jauh dengan retribusi di daerah Pameungpeuk, masuk Karang Papak cukup dengan Rp.10.000 per kendaran, itu pun jika mengunakan kendaraan roda empat. Sedangkan roda dua cukup Rp.5.000. Harga ini konon naik dua kali lipat karena musim lebaran. Masih relatif murah.

Sebagai pantai baru dan masih perawan, fasilitas di sekitarnya masih minim. Apalagi jika dibandingkan dengan Sayang Heulang dan Santolo. Hampir sepanjang pantai terdapat penginapan dan pemandian. Tidak banyak ditemukan tempat pemandian umum di Karang Papak, namun bukan berarti tidak ada. Saat saya dan adik menyusuri jalan tanah, bertemulah dengan sebuah pemandian umum yang hanya menyediakan dua kamar mandi. Untung suasana di pantai ini sepi, kamar mandi juga relatif tidak mengantri.

Awalnya kami menyangka hanya ada satu atau dua penginapan di area ini. Penginapan ini persis berada beberapa meter dari bibir pantai yang hanya dipisahkan oleh Jalan tanah. Walau demikian, jalan tersebut dapat dilalui kendaraan roda empat. Penginapan pada bibir pantai ini hanya menyisakan penginapan yang hanya memiliki satu kamar dan satu rumah,  juga beberapa bungalow. Harganya pada hari libur lebaran cukup tinggi, satu kamar untuk dua orang dihargai Rp.500.000,- sedangkan bungalow yang dapat menampung 15 s.d. 20 orang dihargai 1,5 juta rupiah.

Kami menyusuri jalan-jalan sekita Karang Papak yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua, ternya telah banyak penginapan. Ada yang hanya satu kamar, ada juga yang menawarkan ruang kontrakan yang lengkap antara kamar dan ruang depan. Begitu juga banyak pilihan kamar dan harga serta pilihan jenis kamar antara yang ber-AC atau tidak.

Artinya bahwa di Karang Papak sudah banyak fasilitas penginapan, walaupun tidak bisa dilalui semua dengan kendaraan roda empat dan tidak selalu berada di tepi pantai. Begitu juga dengan warung-warung yang menyediakan panganan dengan ikan dan seafod lainnya mudah ditemukan di warung-warung sekitar penginapan.

Hanya saja, jangkauannya tidak semudah di area Santolo ataupun Sayang Heulang. Saat libur lebaran 2018, saat kami mengunjungi Karang Papak, hampir semua penginapan terisi penuh. Jikapun masih kosong tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan, yang untuk 3 keluarga kecil. Jika pun ada kamar kosong ber-AC, harganya tidak normal alias mahal jika dibandingkan dengan kamar-kamar yang ditawarkan di daerah Santolo atau Sayang Heulang.

Menikmati Senja
Dokumentasi Pribadi (@abahraka)
Pantai Karang Papak masih belum banyak terjamah oleh para traveler. Oleh karena itu, saat kami sampai di area ini, pantainya masih kosong melongpong. Beberapa orang tampak terlihat menikmati suasana pantai yang sepi, tidak seramai Santolo dan Sayang Heulang. Sehingga kami bisa menikmati suguhan senja sore hari hingga terbenamnya matahari.

Hal ini sesuai dengan ekpektasi kami, jika tiba sore hari maka harus bisa menikmati sunrise pantai selatan Garut. Karena beberapa kali ke Pantai Selatan Garut, tidak kebetulan dengan kehadiran sunrise yang memesonakan mata.

Beberapa gambar saya ambil sebagai kenang-kenangan di Pantai tersebut. Anak-anak kami juga menikmati senja yang menghujani pasir pantai. Sebelum akhirnya mentari menghilang, anak-anak menyempatkan bermain pasir yang relatif berwarna abu cenderung putih.

Melalui senja, saya bisa mendapatkan kepolosan anak-anak yang masih usia taman kanak-kanak. Mereka begitu lepas bermain pasir dan menikmati semburan semburat senja yang sudah mulai tajam memerah. Di bawah hujan senja, anak-anak terlihat begitu mendamaikan.  Membuat hati para orang tua begitu teduh. Menambah rasa syukur akan kehadirannya dan kehadiran-Nya.

Begitu juga dengan senja sendiri. Ia adalah anugerah tak terhingga dari Tuhan, yang menciptakan keindahan begitu rupa. Keindahan warna senja adalah keindahan hidup itu sendiri, keindahan matahari berbalut dan bersembunyi di balik awan. Senja adalah cara kita bersyukur, cara kita mengetahui begitu agungnya keindahan yang diciptakan, pencipta yang maha Indah.

Walaupun tidak lama menikmati keindahan senja Karang Papak. Kami menjadi tahu bahwa menyaksikan semburat senja di Selatan Garut begitu memesona. Ia menjadi kesenangan tersendiri yang tidak bisa digantikan dengan barang berharga. Inilah jalan spiritualitas yang disuguhkan Tuhan kepada kita, makhluknya.

Senjapun beringsut berganti warga, dari kuning menyala, menjadi kuning kehitam-hitaman dan hilang di balik batas laut. Bersembunyi ke dasar laut sejauh pandangan mata. Sore berganti malam. Kesenangan pun berganti dengan hiruk pikuk persiapan menuju peraduan. Kami harus segera bersiap mengadu kepada Pencipta dan menuju ruang upacara senja. Menepikan badan-badan kami yang kelelahan sekaligus kenikmatan senja. Kami pun bergegas menuju penginapan.

Karena penginapan sekitar Karang Papak penuh, kami bergegas menuju Sayang Heulang.  Kami mengistirahatkan raga yang sejak pukul 11.00 menapaki jalan berkelok sejauh 100-an km yang ditempuh selama hampir 6 jam. Bersyukur kelelahan raga telah terbayar dengan ekspresi senja Pantai Karang Papak yang eksotis dan memesona. Sehingga kami masih bisa bercengkrama dengan keluarga kecil masing-masing di tempat istirahat depan Pantai Sayang Heulang.

Menuju Karang Papak
Pantai Karang Papak tidak jauh dari Pantai Santolo. Jika dari bibir pantai berjarak sekitar 2,4 km, lain halnya dari pertigaan menuju Santolo hanya sekitar 1 km. Sehingga sangat mudah dijangkau oleh kendaraan roda empat atau roda dua sekalipun. Mencarinya pun sangat mudah karena sudah memampang gapura bertuliskan ‘Selamat Datang Di Pantai Karang Papak”.

Jika dari kota Garut membawa kendaraan sendiri, langsung diarahkan menuju arah Bayongbong, Cikajang, dan menuju arah Pameungpeuk. Perjalanan normal dapat ditempuh 3 jam perjalanan dengan jarak 95 s.d. 100 km tergantung meltpointnya. Namun jika ditempuh dari Bandung jaraknya sekitar 160 km. Namun ada juga jalur lain melalui Ciwidey-Cisewu-Bungbulang dengan jarak tempuh sekitar 200an km, tentunya dengan menggunakan kendaraan pribadi.

Namun jika menggunakan kendaraan umum dapat menggunakan kendaraan elf atau bis ¾ yang menuju Ibu Kota Kecamatan Pameungpeuk. Dari Pameungpeuk terdapat angkutan umum—lebih bersifat omprengan menuju pantai sayang heulang atau Santolo. Untuk menuju karang tinggal melakukan negosiasi dengan sopirnya. Ongkos Elf dari Bandung sekitar 100.000, sedangkan dari Garut sekitar 65.000. (harga versi tetangga yang berasal dari pameungpeuk).***[]

(*) Note: Sebagian besar berasal dari pengalaman pribadi, sebagian catatan berasal dari liputan6.com,  Googlemaps, dan Wikipedia.com
        
abahraka
abahraka abahraka adalah nama pena (media sosial) dari Dudi Rustandi: penulis kolom opini, essai, perjalanan, dan buku.

Post a Comment for "Menikmati Senja di Karang Papak "