Tenggelamnya Lebaran Kami
Tenggelamnya Lebaran Kami, Pikiran Rakyat (14/06/2019) |
Menjelang dan saat hari H lebaran. Setiap orang berlomba
mengucapkan selamat lebaran, minal
aidzin, dan permohonan maaf. Ada ratusan pesan masuk, baik melalui jalur
pribadi ataupun melalui grup. Ada dua catatan yang saya cermati. Setiap ucapan
yang saya terima melalui jaringan pribadi tidak satupun yang menyebut nama
saya, orang yang dikirimi ucapan.
Sedangkan pada grup, hampir setiap pemberi ucapan, lalu
meninggalkan grup tanpa ada interaksi lanjutan. Penghuni grup lain juga seakan
tidak mau kalah, bukan membalas ucapan selamat tersebut, justeru mengirim pesan
yang sama. Lalu siapa yang menjawab ucapan tersebut? Tidak ada yang menjawab!
Setelah
berkumpul di kampung
halaman. Intensitas berlebaran melalui antarmuka masih
intensif dilakukan. Setiap
warga kampung fokus pada perangkatnya masing-masing. Kegiatan
asyncronus melalui whatsapp, scrolling media social, atau sekadar menonton tayangan
yutub dan instagram. Sanak famili terabaikan. Lebaran tereduksi oleh kehadiran
perangkat digital. Yang jauh mendekat yang dekat justeru terasa jauh. Mereka terkana sindrom post social.
Demikian ditulis oleh Yasraf Amir Piliang, seorang filsuf postmodern dari ITB.
Mungkin ini yang menjadi salah satu alasan teman saya meninggalkan media sosial selama masa libur lebaran. Intensitas
berlebaran di media social mereduksi pondasi relasi kemanusiaan. Pemilik perangkat
dianggap sebagai benda yang tidak memiliki identitas selain antarmuka. Diri
yang direpresentasikan oleh antarmuka dianggap melebur menjadi benda. Sehingga
tidak ada keharusan menyebutkan nama saat mengirim ucapan lebaran. Alih-alih lebaran penuh makna fitri,
justeru menjadi kurang bermakna. Nilai mudik tak terasa.
Anomali Lebaran
4.0
Jean
Baudrillard menyebut fenomena di atas sebagai simulasi social. Suatu kenyataan
yang melampaui realitas sebenarnya. Suatu realitas yang hadir karena
difasilitasi oleh media. Ia disatukan oleh berbagai komponen teknologi yang
hadir dalam internet; jaringan, aplikasi, teknik citra, multimedia. Kenyataan
social dalam media
tersebut hanya sebagai hasil citraan.
Meminjam
istilah Yasraf dalam
simulasi sosial, lebaran melalui media social adalah lebaran
artifisial. Relasi-relasi social sudah tereduksi oleh teknologi antarmuka. Yang
hadir bukan lagi manusia, tapi aplikasi. Meminjam istilah filsuf postmodern
tersebut, simulasi sosial merupakan bentuk permukaan dari sosial, sebuah relasi sosial yang
artifisial, yang tidak tercipta secara alamiah di sebuah territorial yang
nyata, akan tetapi di dalam sebuah
territorial halusinasi, yang terbentuk dari bit-bit informasi.
Bagi Yasraf,
pada tingkat tertentu, simulasi sosial dapat mengambil alih relasi sosial yang
sesungguhnya, ketika ruang-waktu virtual
mengambil alih ruang waktu sosial yang natural. Kematian sosial adalah
sebuah kondisi ketika persepsi, kesadaran dan emosi setiap orang diserap oleh
ruang-waktu virtual ini, sehingga tidak tersisa lagi untuk ruang-waktu ilmiah.
Dalam kematian sosial, setiap orang akan sepenuhnya hidup di dalam ruang sosial
artifisial, dan menjalankan segala aktivitas di dalamnya dalam wujudnya yang
artifisial.
Wajar jika hampir
semua ucapan lebaran tanpa menyebutkan nama yang dikirim baik yang melalui
jaringan pribadi atau grup. Ucapanpun seakan tanpa pijakan ditujukan untuk
siapa. Sehingga Relasi
sosial
menjadi terreduksi.
Karena lebaran
melalui media social sekadar artifisial. Maka wajar, seorang teman memutuskan untuk melakukan detox
media sosial selama lebaran.
Teknologi
yang seharusnya mendekatkan antar penggunanya justeru mengurangi nilai social
dari berlebaran. Intensitas yang mendalam terhadap media social saat lebaran
justeru semakin membenamkan diri pada kehampaan social. Sehingga terjadi
anomaly dari lebaran itu sendiri.
Lebaran yang identik dengan mudik, silaturahmi dengan sanak
family, bercengkerama dengan keluarga diambil alih semuanya oleh teknologi. Di
sinilah terjadinya anomaly lebaran, yang di hadapan justeru menjadi asing. Sedangkan yang jauhpun
tidak ada di hadapan karena
semua berada
dalam antarmuka. High tech tidak mampu menghadirkan high touch. Meminjam istilah John Naisbitt, dalam konteks ini high tech tidak mampu memelihara
kemanusiaan (low touch).
Sejatinya ini
bukanlah kondisi ideal dari lebaran 4.0. Karena era 4.0 bukan sekadar merayakan
kemajuan berbagai macam teknologi aplikasi. Lebaran 4.0 juga harus semakin merekatkan relasi
kemanusiaan, melekatkan nilai silaturahmi. Melalui
teknologi, intensitas silaturahmi justeru yang harusnya lebih erat, seperti harapan dari Naisbitt—high tech high touch.
Hal ini
senada dengan yang ditulis oleh Hermawan Kertajaya melalui kajian dan pemikirannya dalam
Marketing 3.0 yang berlanjut dengan Citizen 4.0. dan marketing 4.0. Marketing
3.0 hadir setelah
melalui kehadiran teknologi digital, memfokuskan pada hubungan
dengan konsumen, yang ia istilahkan dengan human-spirit.
Hal ini merupakan tahapan lanjutan dari tahap kemajuan teknologi yang berfokus
pada teknologi itu sendiri.
Sedangkan pada konteks manusia era 4.0, tahapan
ke 3 dan ke 4 fokus pada pelayanan dan manusia. Salah satu
elemen kunci dalam pelayanan adalah empati. Sedangkan elemen kunci dari manusia adalah
keintiman dan passion. Kombinasi dari
ketiga elemen tersebut menghasilkan suatu kedalaman hubungan, yaitu suatu
hubungan kemanuasiaan yang didasarkan para hubungan tulus dan produktif.
Lebaran pada
era 4.0 harusnya memijakkan diri pada hubungan yang bersifat interpersonal,
bukan massal. Pada kasus lebaran virtual di atas, hubungan lebih di dasarkan
pada hubungan massal. Komunikasi
yang bersifat massal melalui media sosial tidak pernah menyentuh sisi personal
dari sejawat. Semua teman sejawat dianggap sama, tanpa keunikan apapun, baik
dari kedekatan emosional ataupun keunikan dari sebuah nama. Sehingga
nilai-nilai empati
dan keintiman menjadi hilang.
Lebaran iedul fitri bukan hanya mengembalikan diri
ke dalam jiwa yang fitri, bersih, berangkat lagi dari nol dosa. Juga kembali
pada sisi-sisi kemanusiaan kita. Mudik dan berlebaran adalah mengembalikkan
tujuan silaturahmi, mempererat tali kemanusiaan, melekatkan relasi antar jiwa,
melalui empathy dan keintiman.
Jadikan
teknologi hanya sebagai alat kebertubuhan, yang pada waktunya perlu dilepaskan,
bukan kebertubuhan itu sendiri, yang selamanya melekat. Mari kembali kepada relasi
kemanusiaan, jadikan
teknologi sebagai perekat bukan berrelasi dengan teknologi itu sendiri. Agar
lebaran benar-benar fitiri. Agar mudik dapat mendekatkan sanak family. Bukan
tenggelam dalam mabuk teknologi.***[]
Keren pak. Kadang emang digital detox itu perlu pak 👍
ReplyDeleteMemang begitu, mekanisme dari bergaul dengan tulus dan produktif offline adalah menjauhkan diri dari semua akses media sosial online.
ReplyDeleteLengkap sekali uraian yang ilmiah di atas. trims ya :)
Engkom...berproses aja kom...
ReplyDeleteKang Ade, alah bisa karena biasa tea hehehe
ReplyDelete