Pemuda Era 4.0
Sumber: Pikiran Rakyat: |
Penulisan artikel ini, bertepatan dengan hari sumpah
pemuda 28 Oktober 2018. Saya membaca profil yang dipublikasikan Pikiran Rakyat pada hari yang sama
(minggu, 28/10/2018), yaitu sosok ketua KNPI Jawa Barat Rio F. Wilantara. Rio menjabat
ketua KNPI kurang lebih sudah satu tahun, yang dilantik tahun 2017.
Membaca
biodatanya, jika diibaratkan makanan, taste-nya
sangat berbeda dengan sosok Ketua KNPI sebelum-sebelumnya. Sosok Rio adalah
sosok yang mewakili generasi millenial, selain karena umurnya yang betul-betul
masih muda (32), latar belakang pendidikan dan aktivitas sehari-harinya selalu
berarsiran dengan dunia teknologi yang millenial banget. Usaha dalam bidang teknologi, dan dua kali kuliah doktor
salah satunya dalam bidang media studies—yang
tentu arsirannya sangat kuat dengan teknologi.
Membaca
visi sosok ini seakan menemukan danau yang airnya jernih dan bersih—sebagai sumber
kehidupan masyarakat. Betapa tidak, Rio ingin membawa sekitar 13 ribu personil
strutural pemuda ke arah kemandirian bukan yang menggantungkan hidupnya dari
APBD. Ia ingin pemuda menjadi lokomotif wirausaha sebagaimana yang telah
menjadi program pemerintah Jawa Barat. Ia tidak ingin pemuda terbawa arus ke
ranah politik praktis sebagaimana yang ia rasakan selama aktif di organisasi
kepemudaan tersebut.
Pada
sisi lain banyak permasalahan yang dihadapi pemuda. Menurut data yang
dikeluarkan oleh Merial Institute, sebuah lembaga penelitian dan pembedayaan pemuda, pada tahun
2017 secara demografi pemuda bertambah namun pengangguran bertambah juga. Penyalahgunaan
narkoba juga menjadi persoalan tersendiri yang merusak masa depan pemuda
Indonesia. Hal yang cukup krusial, dengan meningkatkan jumlah pemuda ternyata
tidak menambah mental kebangsaan meningkat justeru dipertanyakan
(nasionalisme).
Beberapa
kasus juga yang menjadi pelakunya adalah notabede menyandang status pemuda,
misalnya MA seorang anak muda yang membuat grafis tidak senonoh tentang
presiden Jokowi, atau pembakaran bendera tauhid oleh kelompok pemuda dari ormas
kepemudaan. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan belahan bumi lain,
seperti yang cukup menghebohkan sekelompok muda-mudi merayakan ajaran satanisme
dan menjadikan lima belas orang sebagai target untuk dibunuh sebagai bahan
pemujaan.
Marwah Gen Millenial
Pemuda
Gen Millenial, merujuk pada hasil
penelitian Don Tapscot (2009) adalah generasi yang lahir pada rentang
1977-1997, atau 19980-1995 seperti ditulis oleh David Stillman dan Jonah
Stillman. Terlepas rentang waktu tersebut, kedua pendapat tersebut memasukkan
bahwa pemuda yang lahir pada tahun 80-an adalah generasi yang ketika sudah
baligh telah bersentuhan dengan dunia digital. Bagi Tapscot, mereka adalah
generasi internet atau gen y atau gen millenial.
Bagi
gen millenial, teknologi tidak berbeda dengan udara, yang menjadi nafas
kehidupan mereka. Hal ini masuk akal karena generasi millenial dan teknologi
internet tumbuh bersama-sama. Mereka akan lebih banyak menghabiskan waktu
dengan aplikasi dibandingkan menonton televisi. Mereka juga lebih peka terhadap
isu-isu global tanpa melupakan isu-isu lokal. Hal ini menjadi antitesis dari
generasi sebelumnya yang cenderung lebih peka dengan isu-isu global sedangkan
isu lokal terlupakan.
Untuk
memahami generasi ini, ada beberapa ciri yang dominan dalam diri mereka,
seperti ditulis Tapscot; kebebasan, kustomisasi, apresiasi, kolaborasi,
kecepatan, dan inovator. Tidak lupa juga hiburan dan gaya hidup.
Generasi
yang lahir bersamaan dengan kelahiran dan kemajuan teknologi internet ini merupakan
generasi yang menginginkan kebebasan, tidak mau dikekang, akan tetapi kebebasan
mereka jelas dan terarah. Sehingga melahirkan inovasi melalui kolaborasi. Apa
yang terjadi pada Go-Jek dan pendirinya mewakili ruh gen millenial.
Perusahaannya begitu cepat melaju hingga menjadi satu-satunya perusahaan yang pertama
memperoleh deviden satu trilyun. Kemajuan ini tidak didapatkan dengan berdiam
diri di depan layar komputer, akan tetapi hasil kerja bareng dan negosiasi
bisnis (kolaborasi dan relasi).
Apa
yang dihasilkan oleh gen millenial merupakan produk inovatif yang belum pernah
ada dan terpikirkan oleh generasi sebelumnya (Gen-X). Bahkan seringkali gen
millenial tidak ingin produknya meniru dan sama dengan yang lain sehingga
menghasilkan produk yang beda (kustom).
Pemuda 4.0;
Internalisasi Marwah Gen Millenial
Bagaimanapun
pemuda hari ini adalah gen millenial yang telah tumbuh dewasa. Benang merahnya
adalah bahwa teknologi internet dan pemuda memiliki arsiran kebebasan sehingga
mampu berkreasi dan melahirkan kustomisasi dan inovasi. Hanya sayang di balik
kebebasan tersebut seringkali pemuda tidak mampu mengendalikan diri, sifat
pendobraknya akhirnya menjadi kebablasan. Pengetahuannya belum melahirkan sikap
bijak.
Melalui
hari Sumpah Pemuda, meminjam istilah seorang pakar marketing, Hermawan
Kertajaya, maka pemuda harus menjadi citizen 4.0. Citizen 4.0 adalah warga yang
telah melalui 4 fase; fase pengetahuan, bisnis, pelayanan dan pengabdian. Fase
pengetahuan dicirikan dengan keakrabannya dengan teknologi, bisnis dicirikan
dengan kemandirian, pelayanan dicirikan dengan sikap bijak untuk menolong dan
saling menghargai, dan fase pengabdian dicirikan berada di tengah-tengah
masyarakat untuk melakukan perubahan. Perubahan bukan hanya ide, tapi juga
contoh nyata—tut wuri handayani.
Melalui
fase tersebut, pemuda era 4.0 mau tidak mau harus sadar sebagai manusia sejati
yang memiliki akar religiusitas. Soal gaya hidup pemuda misalnya, yang di era
media sosial dirayakan dengan narsisme melalui food, fashion, dan traveling, maka pemuda harus
mempertimbangkan maslahat, mudarat, halal, dan haramnya. Ia tidak hanya sekedar
gaya tapi juga memiliki nilai dan manfaat. Saat terjadi bencana seperti di
Lombok dan Palu, religiusitas yang merupakan pengejawantahan dari fase
pelayanan dan pengabdian, maka pemuda harus memiliki kepekaan. Ia harus
mengambil peran dengan berada di tengah-tengah bencana seperti halnya dilakukan
oleh selebgram Awkarin.
Jika
merujuk pada prawacana di atas, maka pemuda di era 4.0 termasuk 13.000 pemuda
yang berada di bawah nakhoda Rio, harus sudah memasuki fase pengabdian—ia tidak
hanya berpengetahuan dan mandiri, tapi juga peka (melayani) dan menjadi
lokomotif perubahan di tengah-tengah masyarakat. Pemuda di era 4.0 adalah
manusia yang gaul sekaligus religius; Iman adalah panduan sikapnya, gaya adalah
kendaraannya, dan teknologi adalah nafasnya. Ia gaul dan teknologis, mandiri,
peka dan menjadi lokomotif perubahan.***[]
Nuhun penjelasan ttg pemuda era 4.0 nya, Bah. Sangat mencerahkan. Harus baca 2 kali biar ngerti banget.
ReplyDeleteSaaya-aya teh, pengetahuanana masih terbatas...
DeleteMasyaAllah. Luar biasa pak 🙏
ReplyDeleteAyo Engkom nulis lagi...biar semangat!
Delete