Setelah Artikel-Opini, Feature, Lalu Esai!
Inilah Esai, Dokumen Pribadi |
Sudah lama mencari buku yang
membahas tentang hal ihwal tentang Esai, tapi ternyata cukup sulit, atau memang
tidak ada penulis yang mengkhususkan diri menulis buku tentang esai, kecuali antologi
esai. Padahal pelatihan penlisan esai beberapa kali saya pergoki walaupun saya
tidak menjadi bagian di dalamnya. Kebanyakan buku sejenis tentang
artikel-opini, berita dan feature berserakan dalam buku-buku pengantar
jurnalistik. Esai? Sama sekali tidak ada karena barangkali tidak masuk kategori
produk jurnalistik. Walaupun bisa jadi menjadi bagian dari suplemen produk
jurnalistik.
Akhirnya kata kunci mengantarkan
saya menemukan satu buku yang diterbitkan secara indie oleh radio buku, dengan
penulisnya seorang esais; Muhidin M. Dahlan dengan judul Inilah Esai. Aha inilah
yang saya cari-cari di dalamnya. Saat membaca ringkasan, saya curiga jika buku
ini adalah buku kumpulan esai dari para penulis sohor sekelas Cak Nun yang
telah melahirkan puluhan buku dari kumpulan-kumpulan esai-nya.
Bersamaan dengan Inilah Esai yang saya bawa serta adalah
kumpulan Esai dari St. Sunardi Vodka dan
Birahi Seorang ‘Nabi’. Jujur, beberapa buku yang ada dalam rak saya adalah
kumpulan esai dari penulis sohor yang bahkan menjadi contoh-contoh esai yang
ditulis oleh Muhidin ini, sebut saja misalnya esai-esai dari Kuntowijoyo, Yasraf
Amir Piliang, Idy Subandi Ibrahim, Cak Nun, Seno Gumira Aji, F Budi Hardiman,
Hernowo, atau yang cukup baru dari Pak Guru J. Sumardianta ‘Habis Galau
Terbitlah Move On’.
Sayang dari sekian yang mendiami
rak saya, yang rata-rata tidak pernah habis saya baca, saya tidak pernah
menemukan kata sepakat tentang esai. Rasanya hambar jika saya temukan tulisan yang
berserakan di internet tentang esai, tidak ada kata sepakat tentang esai, saya
tidak puas, sebelum akhirnya menemukan karya pendiri radio buku tersebut, ‘Inilah Esai; Tangkas Menulis Bersama Para
Pesohor’.
Dalam sampulnya saja sudah
memberikan kata sepakat dan memenuhi rasa dahaga saya tentang definisi esai, ‘
Esai itu menghormati karya ilmiah dan puisi’, yang menjadi sub judul dari
subjudul buku. Pantas, jika materi tentang esai tidak masuk ke dalam salah satu
submateri pengantar ilmu jurnalistik, karena esai berdiri di antara. Berbeda
dengan feature.
‘Inilah esai’ sendiri adalah esai.
Ya buku ini ditulis dengan gaya menulis esai, berada diantara karya ilmiah dan
puisi. Dengan data yang cukup lengkap Muhidin memberikan contoh-contoh esai,
persis seperti sedang menulis karya ilmiah. Tapi pada sisi lain, pemilihan
diksinya kadang-kadang membuncah, menendang, dan tidak terduga persis seperti
fiksi yang sering memunculkan diksi-diksi provokatif, emosional, dan kadang baperan.
Dengan dinamika diksi penulis
yang menggunakan gaya esai dalam menulis buku ini, saya merasa kembali lagi ke
jaman mahasiswa, buku ini saya lahap dalam waktu yang dalam ukuran sekarang
cukup singkat hanya satu minggu. Persis ketika saya membaca buku ‘Muslim Tanpa
Mesjid’ Kuntowijoyo pada tahun 2001-an saat mengikuti basic training dari salah
satu organisasi pelajar. Termotivasi.
Buku ini bukan hanya memandu
secara teknis bagaimana menulis esai, tapi juga sikap apa yang harus dimiliki
oleh calon penulis ketika ingin menulis esai. Ia harus banyak menyerap
pengetahuan, apapun itu. Sehingga bisa menggunakan kekayaan wawasan dan
pengetahuan tersebut sebagai persfektif yang kaya dalam menulis esai.
Satu catatan untuk penulis,
betapa ia sebagai seorang literatur sejati ia hampir menguasai semua hal yang
terkait dengan situasi dengan konteks saat esai-esai dari pesohor ditulis. Dari
mulai saat penulis belum lahir hingga era Jokowi membubukan kaki kekuasaannya
dalam esai ‘Revolusi Mental’. Sepertinya ia menyimpan banyak arsip tentang
esai-esai sejak era Soekarno Hingga Jokowi.
Bagi saya buku ini mengantarkan
kembali pada semangat belajar, saat mahasiswa, penuh idealism, kritis, dan
kadang tak tahu diri. Mudah-mudahan ‘ketaktahudirian’ yang menjadi sifat terakhir
saat mahasiswa kini bisa saya hilangkan sesuai dengan bertambahnya umur.
Ya, setelah merasakan bagaimana
artikel-opini muncul dan beranak pinak pada koran dengan seleksi cukup ketat
dan feature yang harus menunggu hinggal berbulan-bulan. Pada akhirnya saya menemukan
media untuk menumpahkan unek-unek tanpa harus nyinyir dan emosional, karena
disampaikan dengan bahasa yang elegan dan tanpa harus menohok langsung pada
objeknya. Seperti yang terjadi di kampus, seorang pimpinan selalu menggunakan
telapak tangan orang lain untuk memukul sasarannya. Jleb. Inilah Esai!
Dua kata untuk buku ini ‘kaya dan
renyah’.
Post a Comment for "Setelah Artikel-Opini, Feature, Lalu Esai!"
Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...