Pakem Konten Marketing Era IoT
Ojek pangkalan beringas, sopir
taksi konvensional teriak. Sebagian perusahaan tempat mereka bekerja melakukan
rasionalisasi, sebagian lagi tutup. Beberapa gerai ritel bangkrut. Terlepas
karena bisnis modelnya yang tidak punya positioning
dan diferensiasi sehingga orang lebih
memilih produk sejenis dengan merek yang berbeda atau karena mereka tidak punya
inovasi dalam bidang marketing, yang jelas faktanya mereka kini kalah
berperang. Kios-kios di pusat grosiran juga pada tumbang tanpa diketahui
penyebabnya.
Beberapa ahli berpendapat, karena
daya beli yang menurun, hal ini berdasarkan analisis karena akselerasi ekonomi
Indonesia cenderung melambat. Saya, tentu saja bukan ahli ekonomi atau pengamat
ekonomi, sehingga hanya bisa mengatakan katanya, kata pengamat, kata berita,
kata Koran, kata televisi, atau dengar-dengar info tetangga sebelah.
Tapi jika diperhatikan, kalau daya
beli masyarakat yang menurun, kenapa setiap pagi, siang, malam atau jam dan
hari selalu berseliweran orang bepergian dan melancong atau melakukan vacations ke tempat-tempat keren; entah
domestic, regional, atau internasional. Jika pun daya beli masyarakat berkurang
kenapa setiap weekend jalan – jalan
di Bandung selalu padat, atau setidaknya jalan tol menuju Bandung bahkan padat
cenderung macet. Begitu juga kendaraan yang menuju Garut dari arah Bandung atau
tol juga sama padatnya. Bahkan saat saya pulang saat weekend, Jalan Cagak dan Lebak Jero seringkali macet.
Dalam catatan Rhenald Kasali,
penilaian terhadap menurunnya daya beli masyarakat adalah pengamatan yang
kurang tepat. Ada invisible hand.
Daya beli beralih ke hal-hal yang tidak terlihat. Misalnya, agar bisa
bepergian, maka belanja konsumsi dikurangi dialihkan untuk liburan setiap
minggu atau bulannya. Agar tetap bisa tetap terhubung, orang menahan untuk
membeli cemilan demi pulsa data. Begitupun yang tadinya belanja ke mall beralih
belanja online baik melalui online mall atau online shop ke produsen secara
langsung sehingga harga barang lebih murah.
Berbeda lagi pendapat dari Iwan
Setiawan dan Yosanova Savitri dalam Buku New Content Marketing, Gaya Baru
Pemasaran Era Digital, menurutnya ara pergerakan marketing sekarang
berubah, bukan lagi B2B tapi H2H. Conten harus diarahkan langsung untuk
mengelus-elus konsumen. Conten marketing harus mampu menyentuh sisi terdalam
dari manusianya. Persis seperti ditulisa dari Marketing 3.0. Pelanggan harus
memiliki pengalaman dengan produk.
Dalam buku tipis namun padat
berisi ini, Iwan dan Yosanova yang merupakan peneliti MarkPlus, menulis 3 garis
besar dalam marketing; Why, What, dan How. Melalui bab ‘Why’, mereka
menjelaskan kenapa content marketing harus berubah menjadi H2H bukan lagi B2B.
Di era konektivitas, menurut penulis Marketing 3.0 tersebut semuanya serba
paradox, walaupun setiap orang sudah sedemikian maju dengan teknologi, justeru
content marketing tetap harus menyentuh aspek manusianya. Karena bagaimana pun
pengguna teknologi adalah manusia.
Untuk menggerakkan konten
tersebut ada tiga actor utama yang bermain; pertama anak muda, wanita, dan
netizen. Jika diperhatikan, memang anak muda atau pemuda jaman now ini menjadi
trend setter dalam bisnis. Generasi Y dan Z hampir bisa dipastikan menjadi
pengisi utama baik konsumen dan produsen di dunia maya. Mereka menjadi factor
dinamisator perubahan era Internet of things (IoT).
Unsur kedua yang menjadi actor
utama di erah IoT ini adalah wanita. Ada satu adagium yang nyeleneh di era
internet; the power of emak-emak. Kekuatan kaum wanita betul-betul telah
meramaikan jagat internet. Wajar, mereka menjadi satu kekuatan khusus yang
menggerakan hilir mudik barang atau konten karena mereka adalah makhluk yang
paling aktif, kids jaman old bilang, mereka mulutnya dua. Sekarang ditambah
lagi jempol, kedua mulutnya pindah ke jempol, wajarlah. Dengan kesenangan
mereka bercerita dan berbagi menjadi satu daya tawar khusus eksistensi
perempuan di internet.
Dan ketiga, factor dinamisator
marketing di era IoT adalah netizen. Netizen, menurut pandangan Iwan dan
Yasanova lebih emosional ketimbang citizen dalam membahas sesuatu. Lihat
saja misalnya saat adanya isu-isu politik, sepertinya netizen yang meramaikan
jagad nusantara ini. Mereka menjadi Heart
of the World. Dan tentu saja tidak semua citizen bisa menjadi netizen
karena sifatnya yang berbeda. Netizen sudah masuk kerangka globalisasi.
Dalam konteks What, Iwan menulis bahwa semua hal yang
disediakan oleh marketing semua berasal dari konsumen dan untuk konsumen. Oleh
karena itu, agar produk mengerti konsumen, maka produk harus menjadi sahabat
konsumen. Jika produk mampu menjadi sahabat konsumen, bukan lagi product
awareness yang terjadi, tapi procut advocates. Konsumen akan membela produk.
Dan inilah nilai besar dari keberhasilan pemasaran.
Ada beberapa langkah yang bisa
dilakukan bagaimana menciptakan content marketing di era digital;
Langkah-langkah pembuatan konten marketing di era disruptif |
Setelah memahami kenapa content marketing harus berubah dan apa
yang harus dilakukan agar produk mampu dibela oleh konsumen. Bagian terakhir
buku, menjelaskan bagaimana membuat konten yang mampu menciptakan nilai hingga muncul
human interest. Dalam bab ini, Iwan banyak memberikan contoh bagaimana
konten-konten era kini sudah sedemikian berubah sehingga mampu menciptakan
nilai bagi konsumennya, bukan saja bagi corporate.
Contohnya iklan Royco yang bergeser substansi iklannya dari produk oriented ke
customer oriented.
Era IoT, ketika produk langsung
berinteraksi langsung dengan konsumen, produk harus mampu menjadi bagian dari
yang dimiliki atau yang dialami oleh konsumen, seperti iklan Astra Motor
tentang keselamatan berkendaraan roda dua dengan judul Cerdas Melanggar. Iklan ini yang merupakan kampanye keselamatan
mengajak masyarakat untuk aware terhadap
keamanan berkendara. Dan banyak lagi contoh-contoh strategi marketing lainnya
dalam buku tersebut.
Walaupun tipis, buku ini sangat
padat. Istilah-istilah marketing akan dimudahkan dengan berbagai contoh konkret.
Bagi pelaku pemasaran di internet atau yang bergelut dalam dunia marketing,
buku ini akan memperkaya persfektif atau bahkan menggeser paradigma pemasaran
yang selama ini menjadi pakem.
Nah, biar dapet ilmunya, mending
baca aja bukunya ya J
***[]
makasih sharingnya
ReplyDeleteSama-sama bu Tira, makasih udah mampir...
Delete