Anak Main Gawai? Why Not!
sumber gambar: tempodotco |
Jika kebetulan kumpul bareng dengan sanak family atau teman-teman lama, membawa serta pasangan dan anaknya, pemandangan anak yang bermain gadget menjadi hal lumrah. Kadang kasian sama anak sendiri, di saat teman-temannya asyik main game dan buka-buka youtube, anak saya malah menggelendot ke Amihnya atau merengek-rengek ke Saya minta main game di hape jadul.
Sedih juga memang, seperti yang punya rasa rendah diri gitu, mungkin dalam hatinya berkata, “kok akang (panggilan untuk anak pertama) gak di kasih gawai ya”. Teman-teman dan sodaranya pada pegang gawai…hmm bener-bener sedih!
Tapi rasa sedih itu barangkali perasaan yang tidak tepat, karena sebagai orang tua tidak punya pendirian untuk mendidik anak. Di samping karena memang anak tidak dibelikan gawai secara khusus, sekalipun yang murah. Sepertinya saya belum sanggup secara mental memberikan mainan canggih tersebut.
Apalagi setelah konsultasi, katanya gadget berbahaya untuk anak-anak. Seorang rekan cukup kaget pada saat tahu anak-anak saya main gawai,”Apaaa? Udah dikasih hape? Ujarnya setengah berteriak, seperti kaget.
Rekan yang seorang psikolog juga memberikan gadget kepada anaknya saat anaknya, itupun dengan syarat. Sehingga dia sangat tidak menyarankan kepada anak-anak apalagi masih balita untuk memberikan mainan gawai.
Tambah yakin saja jika anak tidak diberikan gawai!
Tapi belakangan terbersit atau semacam tersadarkan—mungkin juga sejenis kesadaran palsu bahwa hari ini dunia sudah berubah. Sarana didik untuk anak 20 tahun lalu atau saat saya lahir 30 tahun lalu atau saat rekan saya lahir 40 tahun lalu berbeda dengan yang lahir tahun 2000-an. Saya pun berpandangan bahwa anak harus dikenalkan dengan dunia saat dia lahir bukan saat orang tuanya lahir.
Berdasarkan keyakinan itu, saya akhirnya bersepakat dengan isteri memberikan pengenalan gawai dengan langsung pendampingan. Satu atau dua jam. Jika youtube dipastikan kartun-kartun anak, jika game yang tidak berbahaya bagi perkembangan kognitif. Selain juga didampingi dengan video-video pendidikan melalui VCD.
Anak Hidup dengan Dunianya
Sebagai orang tua yang baru memiliki anak Balita atau menjelang lewat golden age, memang ngeri-ngeri sedap dengan perkembangan teknologi hari ini. Begitu pesatnya hingga bisa menyesatkan. Gara-gara gadget anak bisa anak bisa celaka. Bukan hanya bagi anak tapi juga remaja atau orang tua sendiri. Tidak sedikit terkena boomerang dari gadget. Bahkan, cerita saudara yang memiliki tetangganya membiarkan anaknya bermain gadget, sementara orang tuanya bekerja anaknya bebas mengakses youtube dan aplikasi lainnya hingga masuk ke konten pornoaksi. Hampir setiap hari konten tersebut diaksesnya. Dan ia begitu bangga mempertontonkan tontonannya ke tetangga-tetangganya. Sang anak tidak faham bahwa konten tersebut ‘haram’ diakses.
Sebagai orang tua yang baru memiliki anak Balita atau menjelang lewat golden age, memang ngeri-ngeri sedap dengan perkembangan teknologi hari ini. Begitu pesatnya hingga bisa menyesatkan. Gara-gara gadget anak bisa anak bisa celaka. Bukan hanya bagi anak tapi juga remaja atau orang tua sendiri. Tidak sedikit terkena boomerang dari gadget. Bahkan, cerita saudara yang memiliki tetangganya membiarkan anaknya bermain gadget, sementara orang tuanya bekerja anaknya bebas mengakses youtube dan aplikasi lainnya hingga masuk ke konten pornoaksi. Hampir setiap hari konten tersebut diaksesnya. Dan ia begitu bangga mempertontonkan tontonannya ke tetangga-tetangganya. Sang anak tidak faham bahwa konten tersebut ‘haram’ diakses.
Gadget tidak haram, gadget juga tidak berniat untuk menjerumuskan. Bahkan kehadirannya berniat untuk mempermudah aktivitas keseharian. Kehadirannya harus dimanfaatkan bukan justeru menjadikan malapetaka. Banyak konten yang bisa dijadikan bahan pembelajaran untuk anak-anak. Banyak juga konten positif yang bisa menginspirasi anak untuk melakukan seperti yang diajarkan oleh konten tersebut.
Sebagai anak kandung teknologi, sudah seharusnya anak tidak asing dengan gadget, justeru mereka harus piawai menggunakannya. Generasi milenial adalah mereka yang lahir bukan hanya karena saat mereka lahir sudah maju teknologinya, tapi juga harus disemangati dengan ruhnya. Cepat belajar, cepat berkomunikasi, Cepat berfikir, kreatif, inovatif, pantang menyerah, kritis, dan lain sebagainya. Bagaimana mau menjiwai sisi positif tersebut, jika anak dijauhkan dari ‘benda’nya.
Hanya saja, agar tidak menjadi boomerang, orang tua dituntut tetap awasi anaknya, mengikuti anaknya sampai detil apa yang sedang ditonton dan dimainkan.
Saya pribadi, memberikan gadget kepada anak khusus hari minggu. Itu pun tidak ada akses internet agar anak tidak membuka situs atau konten negative. Dengan begitu, anak tetap mengenal dunianya. Anak mengenal bahasanya sendiri seperti halnya dengan anak-anak lain.
Beberapa situs dan artikel, menulis jika anak tepat bermain game dan menonton dengan porsi yang cukup, akan mempercepat konstruksi saraf kognitif anak. Hal ini akan mempercepat proses pembelajaran anak. Ini menjadi nilai positif. Sekali lagi dengan porsi yang tidak berlebihan. Jangankan anak, orang tua jika kerjanya selama 8 jam duduk, tentau menjadi penyakit. Begitu juga dengan anak.
Oleh karena itu, biarkan anak hidup di dalam dunianya. Jangan dibawa ke dunia kita yang berbeda. Dalami dunianya, jika mampu dan bisa kita bisa masuk ke dunia anak juga agar kita bisa melihat dan merasakan dunianya.
#catatandiujungsenja
Post a Comment for "Anak Main Gawai? Why Not!"
Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...