Etnografi Virtual; dari Riset Luring, Daring, Hingga Alat Literasi
Sumber Gambar: Pikiran Rakyat Cetak |
Internet secara
nyata membawa dampak perubahan dalam semua kehidupan umat manusia. Mulai dari
cara berkomunikasi manusia secara interpersonal ataupun massal, kegiatan ekonomi,
politik, bahkan budaya dan keamanan sekalipun. Perilaku tersebut membentuk
budaya baru sehingga memunculkan berbagai artefak yang sebelumnya belum ada. Banyak
artefak-artefak lahir dari budaya berkomunikasi melalui internet.
Munculnya berbagai artefak baru tersebut bukan lagi sebagai sesuatu yang maya.
Ia adalah realitas, walaupun tidak aktual. Ia secara nyata berdampak pada
kehidupan umat manusia. Dunia maya dengan dunia nyata pun kini melebur. Tidak
ada lagi batas-batas antara yang maya dan nyata. Misalnya perilaku seseorang di
dunia maya, bisa berakibat nyata berususan dengan hukum. Berbagai kasus muncul,
dari mulai perilaku kasar sampai tidak senonoh di dunia maya berakibat fatal
hingga pelaku
terjerat undang-undang kejahatan internet dan menjadikannya bulan-bulan hukum
(dipenjara).
Komunikasi
sehari-hari juga terjadi peleburan, antara yang maya dan yang nyata, misalnya berbagai
bahasa baru muncul dari ruang maya yang sering digunakan dalam berinteraksi
sehari-hari baik di dunia maya sekaligus dunia nyata, misalnya GWS, CMIW, KEPO, berbagai macam emoticon, atau bahasa dalam bentuk meme
yang diarahkan untuk sindiran-sindiran atau hiburan.
Perubahan cara
berinteraksi antar manusia dan artefak-artefak yang dihasilkan oleh manusia
pada akhirnya menuntut adanya pemahaman yang baru. Untuk memahami dengan benar,
harus terukur dengan jelas. Pemahaman-pemahaman mendalam dan benar harus dikaji
berdasarkan sudut pandang ilmiah agar sesuai dengan kriteria kebenaran. Sehingga
menghasilkan pengetahuan dan atau ilmu pengetahuan baru yang benar pula.
Dalam konteks
budaya komunikasi dan artefak budaya yang dihasilkan, dunia akademik lazim menyebutnya sebagai
etnografi. Etnografi adalah deskripsi
realitas tentang kebudayaan umat manusia, baik masa lalu atau kini. Apa saja hasil ciptaannya, bentuknya seperti apa,
jenis-jenisnya, sampai pada proses budaya tersebar dan berdampak pada kebudayaan manusia.
Realitas maya dengan realitas aktual memiliki karakteristik yang berbeda, jika
kita berinteraksi secara offline dan
berinteraksi secara online, walaupun
pada dasarnya sama-sama berkomunikasi antarpersonal, realitas yang dihadapi
sangat berbeda. Melalui karakteristik interface
(online) pelaku harus menerjemahkan
siapa yang menjadi lawan bicaranya, melalui sifat simulasi, bisa saja pelaku
bukan yang sebenarnya. Karena pelaku komunikasi mengganti identitas aktualnya
menjadi virtual sehingga sama sekali tidak terkait dengan realitas sebenarnya.
Kajian-kajian terhadap realitas maya yang menjadi pengantar tulisan ini
sangat jarang, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, seorang peneliti Cyber Culture, Rulli Nasrullah, atau
akrab disapa Kang Arul, menulis buku Etnografi Virtual. Buku ini merupakan
bagian dari minat kajiannya sebagai peneliti Cyber Culture setelah menulis buku
sejenis lainnya; Media Cyber, Riset Media Cyber, dan Public Relations 2.0.
Buku ini menjelaskan bahwa untuk melakukan penelitian di media siber tidak
cukup menggunakan persfektif etnografi konvensional karena ada beberapa
karakteristik yang berbeda antara kedua realitas tersebut. Yang dikaji tidak
cukup permukaan saja tetapi juga unsur epistem artefak tersebut sehingga hasil
kajiannya bisa dipertanggungjawabkan. Dosen Cyber Kultur di sejumlah universitas
di Indonesia tersebut menawarkan menggunakan kajian etnografi virtual atau bisa
juga disebut dengan istilah netnografi.
Bagi Kang Arul, Etnografi tidak
sekedar cara untuk melihat realitas budaya sebuah kelompok atau pekerjaan untuk
mendeskripsikan sebuah kelompok atau pekerjaan semata, juga menjelaskan masa
lalu dan masa depan kelompok masyarakat tersebut. Menyadarkan kelompok atau
masyarakat melalui pendekatan tentang dominasi serta hegemoni kekuasaan,
praktik-praktik ketidaksetaraan agama, ras, maupun gender. Bukan hanya
mengeksplorasi catatan-catatan tentang artefak.
Dalam konteks
komunikasi, seperti ditulis Kang Arul (2017) etnografi menggabungkan antara bidang
antropologi dan linguistik untuk mengurai artefak percakapan yang terjadi
antarindividu dalam sebuah komunitas. Fokus studi terhadap percakapan dan bahasa
pada dasarnya menjelaskan dan menganalisis bagaimana penutur menggunakan bahasa
dalam berkomunikasi pada sistuasi nyata dibanding bagaimana cara penutur
menggunakan kata-kata atau kalimat yang benar secara gramatikal.
Netnography menurut
Jorgen Skageby, seperti dikutip penulis buku, dalam karya terbarunya tersebut adalah
metode yang digunakan secara kualitatif untuk memahami
apa yang terjadi pada komunitas virtual. Dengan menggunakan observasi atau
wawancara secara online, teknik ini mencoba memaparkan tentang kebiasaan
komunitas yang lebih spesifik dan penggunaan teknologi dalam berkomunikasi. Ia merupakan
bentuk khusus atau spasial dari riset etnography yang disesuaikan untuk
mengungkap kebiasaan unik dari berbagai jenis interaksi sosial termediasi oleh
computer. Mengadaptasi riset etnografi
untuk mempelajari budaya dan komunitas yang terjadi dalam komunikasi termediasi
computer.
Melalui etnografi virtual, seorang peneliti bisa melakukan riset tentang; komunitas secara lebih luas, bukan hanya
individu-individu dalam satu komunitas tertentu, juga berbagai komunitas yang
saling berinteraksi. Bahasa juga
menjadi wilayah riset dari kajian etnografi virtual. Betapa dunia virtual telah
menghasilkan bahasa yang unik sehingga berdampak pada kehidupan nyata, seperti
disinggung pada awal tulisan. Bukan hanya soal dari jumlah bahasa saja yang
berkembang, bentuknya pun lebih beragam.
Identitas menjadi krusial di media siber, karena setiap
warganet bisa melakukan simulasi, membuat identitas ganda yang sama sekali
tidak mencerminkan realitas sebenarnya. Setiap individu bisa menciptakan
identitasnya sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingannya. Ini juga yang terjadi
dengan merajalela dan berkembangnya hoax di Indonesia. Disebarkan oleh
identitas virtual yang walaupun pembuatnya nyata tetapi akunnya bersifat
simulacrum. Untuk melakukan riset terhadap identitas tentu tidak hanya
permukaan saja yang dikaji juga asal-usul dan prosesnya juga.
Jenis terakhir yang bisa diteliti adalah selebritas dan fans. Sejak
populernya aplikasi media sosial, bermunculan selebriti-selebriti baru, bahkan
warga biasa juga mengejar popularitas agar masuk kategori selebritas,
ramai-ramai eksis di salah satu aplikasi media sosial. Selebriti media sosial
ini walaupun bukan artis ataupun public figur, tetapi mereka dibicarakan dan
diburu setiap postingannya. Setiap postingannya selalu ditunggu oleh para
followers atau teman jejaringnya. Bagaimana hal ini bisa muncul, baik konten
atau proses kreativitasnya bisa diteliti berdasarkan kajian etnografi.
Ciri khas jejaringnya, media siber seperti halnya media massa konvensional, bisa menciptakan
relasi kuasa. Dengan struktur sosialnya yang cenderung egaliter, bahkan media
internet bisa mengelabui relasi dengan kekuasaan tersebut karena
mengatasnamakan warganet tanpa curiga siapa yang ada dibelakangnya. Melalui
kajian etnografi virtual kritis, bisa membongkar bagaimana relasi antar
artefak-artefak yang muncul dengan strutur sosial dan kekuasaan yang lain.
Melalui buku Etnografi Virtual, Kang Arul tidak hanya memaparkan sejumlah
definisi, prinsip, ataupun paradigma, tetapi juga menawarkan prosedur, level,
isu sampai panduan praktis penelitian dalam kajian etnografi di media siber. Dengan demikian, buku ini
tidak hanya menawarkan isu konseptual, sekaligus panduan praktis bagaimana
melakukan penelitian etnografi virtual yang disertai contohnya.
Buku ini sangat cocok untuk peneliti ataupun mahasiswa yang sedang
melakukan penelitian, khususnya mahasiswa ilmu sosial dan atau ilmu komunikasi
dan kajian media baru yang tertarik dengan isu-isu yang muncul di media siber. Sejauh
penulis amati, di Indonesia masih sangat jarang buku-buku referensi tentang
kajian media siber, jika pun ada tidak spesifik untuk keilmuan tertentu,
sehingga buku ini sangat layak dijadikan referensi atau pun bahan literasi
digital. Sehingga masyarakat umum pun bisa menjadikannya rujukan literasi
digital agar tidak terjebak oleh perilaku simulasi, buku ini bisa menjadi
pelengkap wawasan baru.
Banyaknya istilah-istilah baru dalam buku ini, bisa menjadi pengayaan
wawasan, namun dengan sedikit pembacaan dan pemahaman yang mendalam. Bagi yang
malas membaca, sepertinya buku ini hanya jadi tambahan koleksi yang sia-sia
saja. Oleh karena itu, agar tidak sia-sia, praksisnya, melakukan penelitian
dengan menggunakan metode etnografi virtual sepertinya menjadi pertimbangan
yang bijak, agar mau melakukan pembacaan mendalam dan mempelajari berbagai
isu-isu dan istilah-istilah baru dalam buku tersebut.
Selamat membaca, selamat meneliti, selamat beraksi, dan selamat dari
kekejaman warganet yang kadang kejam.
Salam
Dudi Rustandi, Peminat Literasi Digital
http://emilramadhanty.blogspot.co.id/2017/04/emilrmd.html?m=1
ReplyDeletehttp://emilramadhanty.blogspot.co.id/2017/05/kegagalan-komunikasi-sering-kali.html?m=1
ReplyDeletekeren bgt
ReplyDeleteTerima kasih Mimin Alfamart
Deletesetuju kak, Banyaknya istilah-istilah baru dalam buku ini, bisa menjadi pengayaan wawasan, namun dengan sedikit pembacaan dan pemahaman yang mendalam.
ReplyDeletepeserta asian games 2018
hehe otomatis itu ada tulisan spam. Komentarnya tentang apa ya?
Deletekok saya baru baca ini ya...keren Bah...
ReplyDeleteYang keren sih yang nulis bukunya Bang hehehe
DeleteGreeat blog you have
ReplyDelete