Afi dan Tanggung Jawab Netizen
sumber foto: detikcom |
Adilkah pada akhirnya kita mencaci dan membully Afi, sementara kita sendiri yang mengangkatnya tinggi-tinggi?
Afi cerdas? Mungkin iya, Afi pintar? Juga mungkin ya,
gurunya mungkin lebih mengetahui dan mengenalnya. Tapi Afi seorang ABG yang masa
remajanya belum habis, itu sudah pasti.
Setelah mendapatkan pujian, kini seakan tak berhenti menuai
cacian. Dari sekedar menuliskan status di facebook, meme di Instagram, ataupun
cuitan-cuitan di twitter, bahkan tulisan panjang lebar di sebuah portal blog
seperti Kompasiana, kumparan, IDN Geotimes, dan lain sebagainya. Mungkin lebih
banyak lagi dari yang saya kira.
Sejak tulisan “Belas Kasih dalam
Agama Kita” viral di media sosial yang memunculkan sosok Afi yang berkesan begitu
intelek karena bukan hanya soal isi tulisannya, juga soal kepeduliannya
terhadap keindonesiaan.
Apa efeknya saat seorang Abege
begitu intelek dan being nation-nya begitu
tinggi di saat keragaman yang seakan terancam di media sosial? Ini ibarat
sebuah panasea bagi orang-orang yang sakit kepala namun sulit sekali menemukan
obatnya. Di tengah keterancaman keberagaman yang diakibatkan oleh ‘perang’ ekstrem
kaum kiri dan kanan di Indonesia, sosok Afi yang masih abege bisa menjadi
penampar muka kita semua yang sedang berhadap-hadapan satu sama lain sesama
bangsa agar sedikit malu oleh pikirannya yang cergas (cerdas dan lugas).
Apakah kita tidak malu oleh anak
abegeh yang seharusnya merayakan kelulusan dengan curat-coret baju bersama
teman-teman sekolahnya? Atau unjuk gigi mengumbar wajahnya dengan beragam gaya
selfi abegeh jaman sekarang? Sementara abege lain melakukan hal tersebut, Afi
justeru begitu memikirkan bangsa ini. Mungkin begitulah pikiran kita saat itu
yang ikut memiralkan tulisannya yang kini dianggap kopi paste tersebut.
Dalam konteks psikologi sosial,
saat terjadi konflik, sosok-sosok pencerah akan keluar sebagai pahlawan. Ia
menjadi penengah di antara dua kawan yang sedang berseteru.
Sosoknya akhirnya menjadi ‘Sang
Pencerah’ bagi semua orang yang sudah gerah dengan perseteruan kebinekaan. Afi menjadi
terkenal, diangkat oleh berbagai portal dan jurnal harian. Hampir semua media
sosial tidak luput dari sosok Afi yang jauh dari kesan binal, bahkan wajahnya
pun terkesan alim dan rendah hati. Semua orang memuja dan memujinya, Afi
didaulat menjadi pembicara kebangsaan di kampus terkenal. Di saat anak
seumurannya asyik bermain gadget, pikiran Afi sudah menyentuh Kitab Bidayatul Aulia.
Skhirnya dipanggil ke Istana, bertemu dengan Presiden Jokowi yang murah hati.
Saya sendiri, tidak termasuk
salah satu orang yang ikut memviralkan tulisan tersebut. Karena situasinya,
bagi saya sangat tidak pas. Kemunculan tulisan Afi, seakan menjadi tulisan serangan
yang diarahkan kepada kelompok tertentu, yang dituduh intoleran dan tidak
pancasilais. Tulisannya yang viral, bagi saya saat itu semacam tulisan yang
sudah diagendakan oleh kelompok tertentu, begitu suudzon saya. Sehingga saya
tidak mau membahas dan ikut arus yang sedang ramai dibicarakan. Untuk membahas
Afi.
Namun kemudian, setelah Afi
dicaci dan bahkan media massa pun sepertinya melepaskan tanggung jawabnya untuk
menjadi penengah atau pelerai permasalahan ini, saya justeru merasa kesal.
Bukankah apa yang terjadi tersebut karena ulah kita juga? Coba jika tulisan Afi
kita anggap saja sebagai tulisan yang lumrah beredar di media sosial dan
referensinya bisa dari mana saja yang ada di internet? Barangkali kejadiannya
tidak seperti sekarang.
Afi yang masih Abege dan mungkin
mentalnya belum begitu siap menghadapi semua cacian dan bullian yang ditujukan
kepadanya, harus menanggungnya sendirian. Belum ada satu media yang membela dan
mendudukan Afi pada persoalan sebenarnya. Belum ada media yang mencoba
menyudahinya. Justeru media juga ikut-ikutan menuduh Afi melakukan plagiat,
walaupun pada faktanya Afi sudah meminta maaf atas kejadian tersebut.
Ya, bisa jadi Afi pada akhirnya
meminta maaf dan melakukan pembelaan diri, dengan mengatakan bahwa sejak SD
sampai sekarang misalnya saat mengerjakan tugas makalah, kita tidak pernah luput
dari plagiasi sehingga terkesan menjadi sombong. Mungkin itu cara Afi agar
dirinya tidak tergelincir pada cacian yang berkelanjutan sehingga dirinya tidak
mudah down dan tertekan. Muncul lagi satu tulisan yang mencaci bahwa Afi
Sombong, apa yang dikatakan oleh Afi sebagai bentuk kesombongan intelektual.
Halooooooo!?
Bukankah kita yang memuji? Kenapa
juga harus mencaci? Atau ini menjadi sifat kita yang sebenarnya, saat senang
kita memuji, tapi saat tidak mendapatkan yang diinginkan lantas ikut mencaci?
Saya tidak ingin ikut memuji dan
kemudian kini ikut mencaci. Karena ‘kecerdasan’ Afi adalah buatan kita.
Keterkenalan Afi adalah kita yang mengenalkannya melalui media sosial. Begitu
juga media massa (online/ konvensional) ikut memberikan gelar terhadap sosok
Afi.
Adilkah pada akhirnya kita
mencaci dan membully Afi, sementara kita sendiri yang mengangkatnya
tinggi-tinggi?
Thanks for shaaring
ReplyDeletethank you Lia
Delete