Refleksi Awal Tahun, Medsos dan Layar Sosial Kita

sumber gambar: bbs.ruliweb.org
“Mengundurkan diri” dari media sosial sepertinya menjadi keputusan yang tepat. Lebih banyak menjadi silent player dibandingkan menjadi pemain inti yang reaksioner.

Saling sindir, sumpah serapah, hatespeech, mencemarkan nama baik, membela yang belum tentu benar bahkan yang sudah jelas salah, membuat dan menyebarkan hoax, menjadi bagian dari jejaring kebencian dengan memelihara dan menghidupkan bot-bot, menyindir ulama bahkan mengolok-olokkan sepertinya sudah menjadi bagian dari keseharian media sosial. Mereka dengan bangga mengolok-olok para guru bangsa, guru agama dan guru kehidupan kita.

Ibarat candu, media sosial juga telah menyedot banyak waktu luang kita, waktu luang yang seharusnya digunakan untuk bersilaturahmi, malah berakhir dengan sindiran dan debat yang tidak perlu. Saling susul menyusul, saling balas, kata-kata tidak berkualitas pun memenuhi beranda dan timeline kita. Berita kopi paste yang entah dari mana sumbernya pun menjadi makanan tiap waktu tanpa berhenti sekejappun, manuasia seakan melek 24 jam tanpa henti. Kehidupan kita begitu riuh dengan kehadiran media sosial, dengan informasi-informasi yang terus berulang dan diulang-ulang oleh orang yang berbeda. Copas dari grup satu dan sebar di grup lain.

Media sosial juga menjadi alat propaganda politik, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan simpatik, mengelabui konstituen dengan cara black campaign, dan menyerang kelompok-kelompok politik yang tidak sepaham tanpa ampun dengan kejamnya. Seakan bahwa kelompok politiknyalah yang paling benar, tanpa memberikan kesempatan berargumentasi.

Bukan hanya saling sindir antar sesama teman media jejaring sosial, fenomena unfollow, block, delcon, unfriend pun sepertinya menjadi kata yang paling hits selama tahun-tahun tersebut. Yang tidak kuat sindiran bukan hanya terus melakukan penyerangan dengan melakukan sindiran, bahkan sampai adu bogem di dunia nyata. Mereka juga saling lapor ke polisi atas nama perbuatan tidak menyenangkan.

Mereka yang mengaku-ngaku berasal dari kalangan elit pendidikan pun tidak ubahnya dengan mereka yang tidak pernah bersekolah. Duh kok saya juga merasa tersindir, dan tentu saja tulisan ini juga sebagai hasil dari status-status yang berseliweran di media sosial. Hingga akhirnya menyadarkan saya, melakukan refleksi, apakah benar apa yang saya tulis selama ini memiliki nilai manfaat. Justeru malah mengundang orang untuk menyindir. Atau malah membuat orang gerah, alih-alih status tersebut kritis, justeru nyinyir dan emosional.

Teringat dengan satu buku yang pernah saya baca saat masih kuliah, bahwa menyampaikan kabar dan berbagai informasi dengan teman-teman juga memiliki etika dan cara. Cara ini jika dalam agama biasanya popular dengan istilah fiqh. Agama kita mengajarkan bagaimana cara berkata-kata yang baik, hingga dalam Islam dikenal dengan istilah Qaulan Layyinan, Qaulan syadidan, Qaulan Balighan, dan lainnya. Yang berarti perkataan yang baik, yang benar, yang lurus.

Media sosial akhirnya alih-alih menjadi ruang refleksi sosial, ruang untuk menyambungkan tali silaturahmi justeru menjadi ruang saling menghujat, menjadi alat pemutusan silaturahmi. Tidak ada lagi hiburan dari media sosial, kecuali bagi orang-orang yang sakit, tertawa karena telah membungkam logika berfikir orang lain yang menjadi lawannya. Tidak ada lagi ide menyebarkan di media sosial Karena yang ada adalah ide-ide untuk saling menjatuhkan dan berfikir menyindir-nyindir yang lain.

Media sosial yang selama ini menjadi layar sosial kita, tempat datangnya keberkahan, tempat berkumpul, koneksi, dan saling berbagi. Tidak lagi menjadi layar sosial. Penuh dengan sampah-sampah status, penuh dengan meme-meme sampah, ataupun berita hoax yang bertebaran. Dan celakanya, produksi sampah ini tidak hanya dilakukan oleh individu tetapi juga oleh mesin pemroses berbayar yang mengatasnamakan khalayak.

Lalu apa gunanya bermedia sosial? Jika pada akhirnya mengundang kemurkaan dari penggunanya? social valuenya menjadi hilang. Padahal salah satu nilai dari kemunculan media sosial adalah nilai koneksi dan berbagi kebaikannya. Bukan sebaliknya.

Kehadiran media sosial kini menjadi kontraproduktif dengan tujauan awalnya untuk saling menghubungkan sesuatu yang baik. Media sosial kini hadir untuk menghadirkan sesuatu yang tidak baik. Penyebar energi yang tidak baik. Wajar pada akhirnya beberapa tragedi lahir dari media sosial.

Haruskah kita terbawa arus oleh mainstream olok-olok ini? dari mengolok teman sendiri, ustadz, hingga presiden. Dari mengolok orang hamil, ibu kota, sampai ibu kita sendiri.

Kita, pada akhirnya menjadi penebar terror. Teror bagi friendlist media sosial yang jelas-jelas sebagai tetangga kita, walaupun tidak saling mengenal dengan baik. Media sosial akhirnya menjadi teater terorisme, seperti diistilahkan oleh Idi Subandy Ibrahim. Karena setiap orang selalu menciptakan rasa geram dan cemas tetangganya.

Mari kita kembalikan media sosial sebagai media yang bisa saling menghubungkan kebaikan, berbagi informasi yang baik dan ilmu yang bermanfaat. Agar media sosial kita bermartabat dan kembali kepada fungsi awalnya.

Listfriend media sosial adalah tetangga kita. Perlakukanlah mereka dengan baik seperti disampaikan oleh sebuah kata bijak (hadits),”…tidak sempurna iman seseorang hingga ia menyukai tetangganya apa yang ia suka darinya.” ***[]


7 comments for "Refleksi Awal Tahun, Medsos dan Layar Sosial Kita"

  1. Dulu saya sempat ketergantungan parah sama sosmed, tapi sekarang alhamdulillah udah berkurang, bahkan udah gak mesti walaupun masih pake

    Salam,
    Oca

    ReplyDelete
  2. Bener banget si, dulu main sosmed ya happy aja gitu, palingan juga curhat, kalo sekarang mah hoax bertebaran di mana-mana, ngadu domba satu dan lainnya, serem -_-

    Salam,
    Pink

    ReplyDelete
  3. Sosmed yang dulu tempat nyari teman, sekarang justru tempat nemu musuh, manusia :(

    Salam,
    Gianta

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...