Wajah Kota di Atas Kereta
Wajah Anak Kota di Atas Kereta |
abahraka.com - Pernah membaca jasa layanan hasrat birahi dalam sebuah kereta? Atau setidaknya setting yang digunakannya menyerupai Kereta Api? Dari mulai PSK-nya yang menyerupai pramugari kereta, kamarnya juga menggunakan gerbong kereta? Jika belum pernah mendengar, abaikan saja. Dan jika pernah mendengar, barangkali hanya ada dalam kisah yang ditulis Moammar Emka dalam bukunya Jakarta Undercover. Saya sendiri pernah membacanya dalam sebuah majalah online dari grup detik.
Tulisan ini sama sekali tidak terkait dengan layanan jasa di atas, hanya kebingungan saja bagaimana menulis sebuah angel yang melibatkan kereta api hehehe…, Kebetulan ada satu kata yang sama ‘kereta api’. Masa iya saya harus menulis tentang hobi teman saya yang sejak SMA menggambar KRD. Sampai umur bangkotan sekarang sepertinya KRD tetap di hatinya. Bahkan KRDnya sekarang berubah wujud menjadi helicopter yang bisa terbang.
Tetapi jika harus dikaitkan antara paragraph pertama dan kedua dengan tulisan ini bisa saling terkait setidaknya dari sisi penggambaran human interest-nya. Hal itu yang saya rasakan saat beberapa waktu lalu dengan khusus pulang pergi naik kereta hanya untuk makan bakso di ujung kota.
“Bah, ajak akang naik kareta yuk,” ajak isteri saya di suatu siang.
Tulisan ini sama sekali tidak terkait dengan layanan jasa di atas, hanya kebingungan saja bagaimana menulis sebuah angel yang melibatkan kereta api hehehe…, Kebetulan ada satu kata yang sama ‘kereta api’. Masa iya saya harus menulis tentang hobi teman saya yang sejak SMA menggambar KRD. Sampai umur bangkotan sekarang sepertinya KRD tetap di hatinya. Bahkan KRDnya sekarang berubah wujud menjadi helicopter yang bisa terbang.
Tetapi jika harus dikaitkan antara paragraph pertama dan kedua dengan tulisan ini bisa saling terkait setidaknya dari sisi penggambaran human interest-nya. Hal itu yang saya rasakan saat beberapa waktu lalu dengan khusus pulang pergi naik kereta hanya untuk makan bakso di ujung kota.
“Bah, ajak akang naik kareta yuk,” ajak isteri saya di suatu siang.
“Hayu aja, tinggal berangkat,” jawab saya.
Karena kebetulan tidak ada agenda dan kerjaan. Meluncurlah saya beserta anak, isteri, dan mertua menuju Kiara Condong dan memesan tiket tujuan Padalarang. Tentu saja ini bukan kali pertama saya naik kereta api. Hanya saja suasananya sangat lain dengan sebelumnya. Ini benar-benar kendaraan massal rakyat. Setiap orang dalam gerbong tersebut bisa bebas memandang dari ujung pintu ke ujung pintu gerbong selanjutnya. Dengan tempat duduk berhadapan persis menyerupai tempat duduk angkutan kota.
Wajah-wajah penuh harapan dan gembira berdiri dan juga duduk. Tidak sedikit di antara mereka saling memandang satu sama lain. Ada pula yang tidak bosannya memandangi jendela, menyapu berbagai sajian alam dan gedung-gedung kota. Para petugas kebersihan tidak hentinya mengaduk-ngaduk sapu dan alat pel-nya biar lantai kereta tetap bersih. Tak ada pedagang asongan tak ada yang menawarkan sebotol minuman. Apalagi para pengamen yang terus bergantian. Hanya seorang kondektur yang ditemani petugas keamanan.
“Maaf tiketnya pak,” pintanya.
“Tiga” ujar saya sembari menyodorkan tiket yang kemudian dibologi. Lalu petugas pergi tanpa menengok kanan kiri.
Empat ribu saja tiket Kiaracondong-Padalarang. Empat ribu lagi untuk perjalanan Padalarang-Kiaracondong. Tidak mahal jika dibandingkan naik angkot. Kita bisa sapu wajah kota dengan hanya delapan ribu rupiah tanpa ada peron.
Empat ribu saja tiket Kiaracondong-Padalarang. Empat ribu lagi untuk perjalanan Padalarang-Kiaracondong. Tidak mahal jika dibandingkan naik angkot. Kita bisa sapu wajah kota dengan hanya delapan ribu rupiah tanpa ada peron.
Penampakan Wajah Kota Bandung |
Tidak berselang lama, gerbong kami melewati rumah-rumah penduduk. Berjejer gedong-gedong yang dibangun di atas pinggiran rel. Entah milik pemerintah atau siapa. Jalan-jalan kampung yang telah dicor, menambah takjub. Bukan hanya rumah yang gedong, jalan setapaknya pun telah begitu rupa menutupi tanah-tanah yang jika hujan menjadi becek dan kotor.
Teng teng teng kereta kami melewati pintu rel. Teng teng teng jess….tibalah di Stasiun Kota. Sebagaian turun dan sebagian naik. Ujung kota masih juga jauh.
Kereta kembali melaju. Melewati kampung-kampung penduduk. Melewati berbagai pepohonan. Melewati juga jembatan.
Bantaran di atas Kereta |
Wajah kota tidak selalu elok, walaupun adipura menjadi adidaya. Wajah kota tidak selalu menawan walau taman bertebar dimana-mana. Wajah kota tidak selalu menarik walaupun bisa berteduh dari terik di bawah rindangnya pepohonan meninggi. Dan inilah wajah kota, dari gedung menjulang hingga rumah reyot pinggiran rel tetap mendulang. Inilah wajah kota dari wewangian dan bebauan tetap ada. Inilah wajah kota dari pekerja kantoran sampai pekerja jalanan menjadi penghias lampu merah. Inilah wajah kota dimana tidak setiap rumah berisi orang berada, rumah-rumah kaum jelata pun tetap mengada.
Bandung, di penghujung tahun 2015.
nah kalau naik kereta , juga KRL di jakarta juga melewati kampung2 kumuh penuh sampah. miris ya
ReplyDeleteIya mbak Tira, padahal pada masuk kota Adipura ya hehe
ReplyDeleteWajah kota kayaknya mirip dengan wajah manusia. Ada yang buruk rupa buruk hati, ada yang buruk rupa baik hati, begitu seterusnya.
ReplyDeleteSalam kenal dari Semarang, Abah Raka :)
Ya begitulah mbak Hidayah, betul sekali. Menampilkan diri yang terbaik tidak pernah sempurna. Wajah kota mirip seperti foto selfi wajah manusia.
DeleteTerima kasih sudah berkunjung, salam kenal juga mbak