Media Sosial dan Persoalan Netiket


Dengan adanya dunia daring, warga global seperti tinggal dalam sebuah kampung, meminjam istilah Marshal McLuhan—global village
MA tiba-tiba menjadi perbincangan masyarakat Indonesia. Tukang sate yang melakukan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo tersebut kini menjadi tahanan Polisi. Penangkapan MA diawali saat ia mengunggah foto tidak pantas ke halaman jejaring social miliknya. Pro Kontra pun terjadi dan dikait-kaitkan dengan Joko Widodo karena dianggap berlaku kejam terhadap MA. Padahal jika ditilik secara etis, perbuatan MA tidak bisa ditoleransi dengan kata maaf. Dalam unggahannya, selain penghinaan terhadap symbol Negara juga terdapat unsur pornoaksi dan pelanggaran transaksi elektronik.

Sejak kehadiran media daring tersebut, setiap orang bisa dengan bebas mengekspresikan ‘kegalauannya’. Selain dengan sesama teman dan sahabat, kita juga bebas bertegur sapa bahkan menyampaikan kritik kepada para petinggi, pejabat, atau tokoh lainnya. Komunikasi begitu sangat terbuka dengan siapapun sehingga melahirkan komunikasi yang egaliter. Misal, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, melalui @aheryawan dapat disapa kapanpun melalui akun twitternya, atau Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung juga dengan tangan terbuka menerima kritikan melalui akun virtualnya tersebut.

Warga di era digital bebas hilir mudik dan saling bertegur sapa dengan siapa saja. Ia membuka ruang komunikasi tanpa membedakan kelas sosial ataupun status. Inilah kesejatian dari media baru yang mendekatkan ruang-ruang komunikasi sedemikian dekat bahkan tak berjarak. 

Masyarakat Terbuka
Kehadiran dunia daring yang merubah cara orang berkomunikasi berdampak pada penciptaan masyarakat yang semakin terbuka dan tanpa sekat. Ia telah meruntuhkan persoalan jarak dan waktu. Di dalam masyarakat daring, semua orang bercampur baur tanpa mempersoalkan status sosialnya; kaya vs miskin, guru vs murid, dosen vs mahasiswa, atasan vs bawahan, dari kampung atau kota, berpendidikan atau tidak berpendidikan, dan lain sebagainya. Semua orang memiliki akses dan peluang yang sama untuk bergaul dengan masyarakat daring lainnya.

Inilah era masyarakat terbuka. Semua orang menjadi setara. Media daring menciptakan masyarakat menjadi egaliter yang memungkinkannya dapat mengambil hak yang sama tanpa ada larangan dan batasan. Melalui sebuah akun media sosial, setiap orang bebas masuk perpustakaan dunia, ia bebas berjalan-jalan tanpa harus melakukan pengurusan visa atau passport. Hal itu bisa dilakukannya dengan memasuki dunia baru, dunia tanpa batas, tanpa sekat, tanpa diskriminasi, egaliter.

Dengan adanya dunia daring, warga global seperti tinggal dalam sebuah kampung, meminjam istilah Marshal McLuhan—global village. Warga seberang lautan tidak lagi terpisahkan oleh lautan. Ia begitu dekat, dunia benar-benar selebar daun kelor. Karena dekatnya baik dari sisi jarak ataupun budayanya, Thomas L. Friedman menyebut dunia ini menjadi datar, The World Is Flat. Kedekatan yang hanya dihubungkan oleh jaringan internet juga mendekatkan kota-kota besar sehingga sulit dibedakan seperti kota Jakarta dengan Kota New York. Jika di New York bertebaran makanan cepat saji seperti McDonald, di Jakarta juga sama. 

Menjaga Netiket
Keterbukaan dan egaliterianisme yang tercipta bukan berarti masyarakat daring melebur menjadi masyarakat bebas yang tidak mengindahkan norma sosial. Ia harus tetap patuh pada norma yang mengikatnya. Walaupun seseorang bebas menegur Presiden tetapi bukan berarti terbebas dari norma social.

Norma sosial tetap berlaku dalam dunia daring. Aturan sosial tetap menjadi pegangan agar seseorang dapat hidup dan bergaul dengan nyaman dan aman di dunia nyata. Bahkan sebagian aturan interaksi sosial masih merujuk pada hukum dunia nyata. Hukum transaksi elektronik melalui Undang-undang Informatika dan Transaksi Elektronik (UU ITE), mengatur bagaimana kita berinteraksi dan bertransaksi di dunia daring tanpa tercerabut dari akar kenyataanya.

Kita harus berkaca pada kasus-kasus transaksi sosial yang terjadi di dunia daring yang mengakibatkan netter menjadi bulan-bulanan hukum. Prita, gara-gara email ia harus berurusan dengan pihak berwajib. Seorang siswa SMA di bekasi diberhentikan setelah menyindir kepala sekolahnya melalui status facebook. Benny Handoko melalui akun @BenHan, dilaporkan politisi Misbakhun karena kicauannya. Sebagian kasus tersebut terjadi di dunia maya tetapi nyata sanksinya. Satu kasus baru gara-gara tidak mengindahkan netiket adalah MA, ia mengunggah foto tidak senonoh dengan melakukan crop Foto Joko Widodo dan Megawati dengan konten porno.

Agar aman beraktifitas di dunia daring, sejatinya kehati-hatian bersikap harus menjadi prinsip. Sebagaimana halnya saat kita bergaul di dunia nyata. Norma sosial dan etika harus jadi pegangan utama. Kecanggihan aplikasi gadget yang terhubung dengan internet dapat membuat orang jatuh. Anak gadis yang tidak hati-hati dengan sikapnya akan mendapati foto narsis seronok mereka dan tersebar. Dengan update status, seseorang berperkara dengan hukum. Status juga bisa jadi faktor yang dapat mengundang kejahatan jika menggambarkan kesendiriannya di rumah. Kini juga tidak sedikit penjahat yang mencari mangsa melalui media; menculik bayi, perampokan, atau perkosaan.

Dunia  memang membuka cakrawala hidup manusia, membuka gerbang dunia yang tanpa sekat, membuka akses untuk meraih asa masa depan, namun jika tidak hati-hati dan tidak bijak menggunakannya kita akan terjebak pada fatamorgana keterbukaan dan kemajuannya. Bijaklah bersikap, agar masyarakat  egaliter yang tercipta memberikan kontribusi positif untuk kehidupan kita. Semoga.

Sumber: Dudi Rustandi, Tribun Jabar, edisi Senin 03 November 2014

2 comments for "Media Sosial dan Persoalan Netiket"

  1. Mantaf portfolio tulisannya ... bagus lah di share ulang di blog. Cara pengarsipan yg tepat :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya kang kadang lupa mengarsipkan tulisan, padahal tujuan ngeblog salah satunya mengarsipkan tulisan

      Delete

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...