Attitude VS Pengetahuanmu
Sumber: LinkedIn.com |
Remaja cantik yang masih SMA memaki-maki polisi, sambal mengaku-aku jika dirinya anak seorang pejabat berpangkat jenderal. Sonya Defari seketika menjadi seleb. Seragam sekolahnya yang dikenakannya tidak berbanding dengan sikap seharusnya sebagai anak sekolahan. Bukan kali pertama terjadi. Cantik, lucu, mungkin juga pintar—tapi jadi objek bully para netizen. Kasihan sekaligus sedih.
Ini juga terjadi di sekolah-sekolah saat siswa meledek gurunya atau mahasiswa melecehkan dan meledek dosennya. Seorang guru pada saat saya SLTA bercerita, ia pindah ke kota kecil gara-gara mendapatkan ancaman dari siswanya. Seakan ini menjadi fenomena. Banyak sebagian dari kita (mungkin) tidak mampu menahan diri.
Daniel Goleman, menyoroti persoalan ini dengan istilah kecerdasan emosi. Ia pernah menceritakan sebuah pengalaman yang dialami oleh karyawan yang pintar. Seorang Advokat yang cekatan dan penuh antusias. Ia adalah advokat berprestasi dan sangat diandalkan oleh firma hukumnya.
Suatu hari ia kecelakaan dan kepalanya terbentur dengan kerasnya. Selain kepalanya terbentur, ia juga mengalami patah kaki dan luka dalam. Alhamdulillah, dalam waktu satu bulan kesehatannya bisa pulih. Ia juga sudah mulai masuk kantor.
Dalam satu sampai dua hari belum ada yang aneh. Menjelang satu minggu, bosnya mulai melihat ada keanehan dari sikap dan perilaku karyawannya yang tidak biasa. Mulai saat masuk ruangan, biasanya ketuk pintu terlebih dahulu. Ia juga sering membantah saran-saran dari bosnya.
Tidak sampai satu bulan setelah ia kembali bekerja, bosnya dengan terpaksa memberhentikan karyawan berprestasi dan pintar tersebut. Satu catatan yang disayangkan bosnya, sikap-sikapnya tidak lagi bisa ia toleransi.
Ini juga terjadi di sekolah-sekolah saat siswa meledek gurunya atau mahasiswa melecehkan dan meledek dosennya. Seorang guru pada saat saya SLTA bercerita, ia pindah ke kota kecil gara-gara mendapatkan ancaman dari siswanya. Seakan ini menjadi fenomena. Banyak sebagian dari kita (mungkin) tidak mampu menahan diri.
Daniel Goleman, menyoroti persoalan ini dengan istilah kecerdasan emosi. Ia pernah menceritakan sebuah pengalaman yang dialami oleh karyawan yang pintar. Seorang Advokat yang cekatan dan penuh antusias. Ia adalah advokat berprestasi dan sangat diandalkan oleh firma hukumnya.
Suatu hari ia kecelakaan dan kepalanya terbentur dengan kerasnya. Selain kepalanya terbentur, ia juga mengalami patah kaki dan luka dalam. Alhamdulillah, dalam waktu satu bulan kesehatannya bisa pulih. Ia juga sudah mulai masuk kantor.
Dalam satu sampai dua hari belum ada yang aneh. Menjelang satu minggu, bosnya mulai melihat ada keanehan dari sikap dan perilaku karyawannya yang tidak biasa. Mulai saat masuk ruangan, biasanya ketuk pintu terlebih dahulu. Ia juga sering membantah saran-saran dari bosnya.
Tidak sampai satu bulan setelah ia kembali bekerja, bosnya dengan terpaksa memberhentikan karyawan berprestasi dan pintar tersebut. Satu catatan yang disayangkan bosnya, sikap-sikapnya tidak lagi bisa ia toleransi.
sumber: Katebilling.com |
Cerita seperti mungkin pernah kita alami dan ada dalam lingkungan kita. Seseorang yang memiliki banyak pengetahuan tetapi berdiri seperti pohon kelapa ia akan dijauhi. Beda dengan yang menganut ilmu padi, makin menunduk semakin orang-orang mencarinya.
Tahun 1960-an satu penelitian mengarahkan dunia karir begitu mengagung-agungkan kemampuan intelektual. Intelektualitas berdiri di atas kecerdasan social, emosional, dan spiritual. Nasihat diabaikan, relasi ditenggelamkan, dan kematangan emosional tidak dipentingkan.
Dampaknya adalah seperti yang saya baca dalam status seorang teman,”kenapa sekarang banyak sekali staf muda tidak menghargai staf seniornya,” tulisnya. (saya samarkan).
“Tidak menghargai” bisa jadi merasa diri lebih hebat karena pendidikannya lebih tinggi atau karyanya banyak atau sering menjuarai lomba-lomba. Tidak menghargai juga bisa jadi sikapnya yang terlalu angkuh atau tidak ramah. Bisa jadi.
Attitude atau sikap adalah respon yang diberikan seseorang kepada orang lain saat berinteraksi langsung ataupun tidak. Jika sudah mendarah daging sikap biasanya mewujud jadi sifat atau karakter dari seseorang.
Jika merujuk pada istilah sekarang, sikap diterjemahkan menjadi semacam kecerdasan emosional dan sosial. Sabar, tidak emosian, bisa mengendalikan diri, tidak gampang menyepelekan, ramah, tidak angkuh atau tinggi hati, tidak merasa paling, ramah, tidak usil, daaan lain sebagainya. Tulisan Antara Berbagi dan Menggurui juga menjadi bagian dari sikap yang saya tulis ini. Menggurui bagi sebagian orang merupakan sikap yang tidak disukai.
Banyak cerita dan pengalaman jika sikap menjadi bagian dari sukses tidaknya seseorang. Penentu sukses seseorang di masa depan bukan hanya soal seberapa jeniusnya orang tersebut, bukan seberapa sering dia juara olimpiade. Bukan soal jago tidaknya dia membuat simulasi.
Di satu perguruan tinggi, seorang teman dengan IPK 3,8 diminta mewakili jurusannya untuk menyampaikan pidato wisuda, namun suatu ketika ia pernah mengatakan staf akademik dengan kata-kata bodoh. Ia pun batal menjadi wakil jurusannya. Bukan prestasi memang jika hanya menjadi wakil untuk menyampaikan pidato saja, namun jika dirunut, ini menyoal kepercayaan seseorang atau lembaga terhadap dirinya.
Alamiah saja, kita cenderung suka terhadap orang yang rendah hati dibandingkan yang tinggi hati. Saat saya minta diajarkan ke teman mahasiswa, dia menjawab,”waah saya kalo ngajarin gak bisa, tapi kalo sharing mah hayu,”
enak bacanya juga kan, Bandingkan dengan kalimat ini:
“Kalo belajar sama saya dong yang ahlinya, saya sudah bergelut puluhan tahun di bidang itu”.
Walaupun iya ahli, tapi untuk sebagian orang tidak suka jika kelemahannya makin dilemahkan.
Fenomena Ilmu yang dimilikinya tidak berbanding lurus dengan sikap seharusnya, juga banyak terjadi pada pemuka agama yang memiliki ilmu, kadang sikap-sikapnya tidak seuai dengan tuntutan keharusan ia sebagai orang yang faham akan agama. Juga mungkin kita temukan dalam komunitas kita, dalam kelas, ataupun dalam lingkungan kolega dan teman kerja kita.
Tahun 1960-an satu penelitian mengarahkan dunia karir begitu mengagung-agungkan kemampuan intelektual. Intelektualitas berdiri di atas kecerdasan social, emosional, dan spiritual. Nasihat diabaikan, relasi ditenggelamkan, dan kematangan emosional tidak dipentingkan.
Dampaknya adalah seperti yang saya baca dalam status seorang teman,”kenapa sekarang banyak sekali staf muda tidak menghargai staf seniornya,” tulisnya. (saya samarkan).
“Tidak menghargai” bisa jadi merasa diri lebih hebat karena pendidikannya lebih tinggi atau karyanya banyak atau sering menjuarai lomba-lomba. Tidak menghargai juga bisa jadi sikapnya yang terlalu angkuh atau tidak ramah. Bisa jadi.
Attitude atau sikap adalah respon yang diberikan seseorang kepada orang lain saat berinteraksi langsung ataupun tidak. Jika sudah mendarah daging sikap biasanya mewujud jadi sifat atau karakter dari seseorang.
Jika merujuk pada istilah sekarang, sikap diterjemahkan menjadi semacam kecerdasan emosional dan sosial. Sabar, tidak emosian, bisa mengendalikan diri, tidak gampang menyepelekan, ramah, tidak angkuh atau tinggi hati, tidak merasa paling, ramah, tidak usil, daaan lain sebagainya. Tulisan Antara Berbagi dan Menggurui juga menjadi bagian dari sikap yang saya tulis ini. Menggurui bagi sebagian orang merupakan sikap yang tidak disukai.
Banyak cerita dan pengalaman jika sikap menjadi bagian dari sukses tidaknya seseorang. Penentu sukses seseorang di masa depan bukan hanya soal seberapa jeniusnya orang tersebut, bukan seberapa sering dia juara olimpiade. Bukan soal jago tidaknya dia membuat simulasi.
Di satu perguruan tinggi, seorang teman dengan IPK 3,8 diminta mewakili jurusannya untuk menyampaikan pidato wisuda, namun suatu ketika ia pernah mengatakan staf akademik dengan kata-kata bodoh. Ia pun batal menjadi wakil jurusannya. Bukan prestasi memang jika hanya menjadi wakil untuk menyampaikan pidato saja, namun jika dirunut, ini menyoal kepercayaan seseorang atau lembaga terhadap dirinya.
Alamiah saja, kita cenderung suka terhadap orang yang rendah hati dibandingkan yang tinggi hati. Saat saya minta diajarkan ke teman mahasiswa, dia menjawab,”waah saya kalo ngajarin gak bisa, tapi kalo sharing mah hayu,”
enak bacanya juga kan, Bandingkan dengan kalimat ini:
“Kalo belajar sama saya dong yang ahlinya, saya sudah bergelut puluhan tahun di bidang itu”.
Walaupun iya ahli, tapi untuk sebagian orang tidak suka jika kelemahannya makin dilemahkan.
Fenomena Ilmu yang dimilikinya tidak berbanding lurus dengan sikap seharusnya, juga banyak terjadi pada pemuka agama yang memiliki ilmu, kadang sikap-sikapnya tidak seuai dengan tuntutan keharusan ia sebagai orang yang faham akan agama. Juga mungkin kita temukan dalam komunitas kita, dalam kelas, ataupun dalam lingkungan kolega dan teman kerja kita.
sumber:lifehack.org |
Fenomena inilah yang mendorong konsep pendidikan berbasis karakter yang kemudian (kalo tidak salah) dituangkan dalam konsep kurikulum 2013 (kurtilas) dimana komponen sikap menjadi bagian dari penilaian integral dalam nilai raport/ kartu hasil studi.
Dalam kelas-kelas motivasi, Attitude sering disimulasikan dengan mengasosiasikan dengan angka. A=1, B=2, C=3, maka jumlah Attitude = 100. Jumlah sempurna/ istimewa dalam pencapaian nilai di kelas yang menyisihkan nilai lain seperti pintar, ulet, dan lainnya.
Semoga saya dan kita bisa memperbaiki diri***[]
Mungkin tulisan ini relevan:
Dalam kelas-kelas motivasi, Attitude sering disimulasikan dengan mengasosiasikan dengan angka. A=1, B=2, C=3, maka jumlah Attitude = 100. Jumlah sempurna/ istimewa dalam pencapaian nilai di kelas yang menyisihkan nilai lain seperti pintar, ulet, dan lainnya.
Semoga saya dan kita bisa memperbaiki diri***[]
Mungkin tulisan ini relevan:
waaah, keren nih abah, nice share
ReplyDeleteNuhun fauzi...
Deletesemoga saya bisa terus memperbaiki diri, sesuai dengan artikel ini, perbaiki attitude
ReplyDeleteAmiiin, nuhun teh Rany...
DeleteNikmat bener sarapan pagi ini bah ..nice
ReplyDeletehehehe semoga pagi-pagi gak basi ya Mariana sarapannya
DeleteAh iya, tempatku sekolah dulu juga skrng lg menerapkan pendidikan berbasis karakter ini.
ReplyDeleteIya teh April, sekarang sekolah-seklah sedang mengembangkan pendidikan karakter, semoga jadi solusi
DeleteKarena attitude semakin bergelut dengan dunia gengsi kang... perlunya keseimbangan pola didik orangtua juga lingkungan.. menurutku sih :D
ReplyDeletegengsi bagian dari emosi yang tidak bisa dikendalikan teh, jika sadar gengsi itu negatif mungkin bisa meredam hehe
DeleteSebenarnya kasus seperti ini semakin hari semakin menjadi, yang saya masih pertanyakan adalah dimana letak kesalahan ini? Yang jelas hal seperti ini tidak sepenuhnya anak bisa disalahkan. Saya yakin peran orang tua dan guru sebagai pendidik yang semakin hari semakin menipis merupakan faktor utama terjadinya persoalan ini.
ReplyDeleteYa memang betul bang Rhodoy, sepakat
Deletettitude ndak bisa dibeli, jadi mari bentuk dengan hati. Thanks for sharing good things mbaknya
ReplyDeleteSalam,
Roza.
bos pernah bilang kalo attitude di atas pengetahuan
ReplyDeletesalam
riby
Yes, attitude emang yang membawa kita dalam kehidupan sehari-hari sih, mau cerah atau gelap.
ReplyDeleteSalam,
Rava.