Bahasa Iklan VS Bahasa Berita


Ada Air Got?
Populernya media sosial selain menjadi berkah bagi Social Media Enthusiast juga menjadi pintu bagi korporasi untuk melakukan penetrasi produk dengan cepat ke pasaran. Hari ini sepertinya, produk yang akan dilepas tidak bisa menghindar dari peran media sosial, bahkan bisa dibesarkan oleh media tersebut tanpa mengeluarkan biaya iklan sepeserpun. Misalnya di Bandung ada produk Mak Icih. Tanpa twitter sepertinya tidak mungkin produk Mak Icih akan menjadi produk yang populer dalam jangka waktu singkat. Hingga akhirnya strategi pemasaran dari produk anak Bandung ini menjadi bahan kajian akademik.

Beberapa tahun terakhir dengan penggunaan yang sangat meluas, hampir semua usaha, baik usaha mikro, kecil, menengah ataupun korporasi besar nasional dan multinasional menggunakan media sosial sebagai alat pemasaran dan publikasi. Bukan hanya usaha tetapi segala jenis aktifitas sosial juga sudah mulai menggunakan media sosial sebagai media publikasinya. Tidak ada pengecualian dunia pendidikan dan politik.

Kira-kira setahun yang lalu, seorang teman yang juga sedang membangun personal brand melalui media sosial menulis sebuah status dengan melalui pertanyaan perbedaan hardselling dan softselling itu apa sih?. Dalam dunia akademis bahasa ini bisa merujuk pada bahasa jurnalistik atau juga bisa public relations dan bahasa marketing.

Loh?

Memangnya apa perbedaan kedua bahasa tersebut?

Secara teknis gramatikal bisa jadi tidak memiliki perbedaan, karena menggunakan kaidah bahasa Indonesia. Hanya saja secara semantik, dampak penggunaan kedua bahasa ini memiliki efek yang berbeda. Termasuk juga dari tingkat keterpengaruhannya.

Dengan kata lain bahasa Jurnalistik saya istilahkan dengan bahasa berita atau dikenal oleh orang marketing sebagai softselling sedangkan bahasa marketing atau bisa juga bahasa iklan yang disebut sebagai hardselling oleh orang marketing saya istilahkan dengan bahasa jualan agar lebih merakyat (setuju? hehe).

Menurut beberapa kajian dan penelitian, tingkat magnitude dan influence kedua bahasa ini memiliki dampak yang berbeda bahkan cenderung jomplang. Misalnya, iklan dengan bahasa jualannya walaupun memakan biaya puluhan atau ratusan juta dalam setiap bulannya hanya berdampak 6 % saja dalam membantu penjualan. Dengan kata lain yang 6 % tersebut berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bahasa tersebut. “iklan memiliki tingkat kepercayaan 6% dari masyarakat”.

Apa yang dilakukan oleh iklan adalah dengan menggunakan bahasa jualan atau hardselling. Bahasa iklan mau realistis atau tidak tetap akan dipublikasikan. Bahasa iklan mau sesuai kaidah atau tidak tetap akan diterbitkan. Bahasa iklan juga kadang-kadang antimainstream dan cenderung bombastis, ia tetap ditayangkan. Ia vulgar dan terang-terangan. Langsung tembak sasaran. Maka wajar jika seorang kritikus komunikasi, Idi Subandy Ibrahim, mengistilahkan iklan sebagai the ideology of lie. Contoh,”mau kulit anda cerah dalam waktu singkat? Gunakan L**** secara teratur, kulit anda akan putih bersih dalam waktu 4 minggu. Benarkah akan putih? Gak juga kan..., ini hanya ekspektasi saja.
Nah...

Sedangkan bahasa berita atau softselling adalah bahasa yang selalu merujuk pada realitas dan fakta. Ia juga harus memiliki nilai-nilai tertentu yang menarik tidak didasarkan pada bombastisnya isi, tetapi berdasarkan fakta, realitas, dan data. Maka, biasanya tidak semua isu, wacana, atau fakta bisa diliput, diterbitkan, ataupun menjadi berita. Ia melalui seleksi yang ketat dari redaksi. Beda dengan iklan, jika nilai kontraknya sesuai, tetap akan ditayangkan. Kecuali menyangkut SARA.

Melalui publikasi dalam bentuk berita, satu produk selain populer biasanya juga bisa laku di pasaran jika beritanya positif. Berita juga tidak hanya terkait produk tapi juga keseluruhan proses perusahaan dalam mengenalkan produk, seperti kegiatan Corporate Social Responsibility. Sebelum produk tersebut melakukan penetrasi pasar, publikasi berita akan membentuk opini publik sehingga masyarakat terpengaruhi. Salah satunya, karena tingkat kepercayaan masyarakat; pembaca, pendengar, dan atau penonton terhadap berita mencapai 92-94-an %.

Tingkat kepercayaan terhadap bahasa berita mendorong tim kreatif orang-orang marketing untuk menciptakan istilah-istilah yang mendekati berita, misalnya ada advertorial atau sejenisnya tergantung kebijakan dari tiap media; infotorial, edukatorial dsb. Satu bentuk iklan yang dibuat dalam bentuk artikel dan atau berita dengan tingkat subjektifitas yang tinggi. Atau juga publikasi satu event atau peristiwa yang dipaksakan untuk publikasi, karena nilai beritanya minim sehingga tidak mungkin dipublikasikan oleh meda mainstream, maka dijadikan advertorial. Walau nilai beritanya kabur, tetap bisa dipublikasikan karena sesungguhnya berita tersebut adalah iklan.

Di era media sosial, bahasa-bahasa tersebut disampaikan dengan pola komunikasi yang berbeda. Jika di era komunikasi massa lebih cenderung pada pola komunikasi one to many, sedangkan sekarang lebih ke many to many. One to many dari satu lembaga ke banyak orang, sedangkan era sekarang dari banyak (lembaga/orang) ke banyak (orang) lagi atau rekomendasi, melalui media sosial. Banyak orang ke banyak orang.

Hanya saja, sejauh pengamatan saya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bahasa jualan (iklan) di era sekarang masih sama, sama seperti hasil penelitan 10 tahun yang lalu itu. Minim.

Oleh karena itu, bagaimana agar bahasa iklan tersebut tidak muncul, maka seorang social media enthusiast yang menerima job iklan harus membahasakan dengan pengalamannya. Ini yang dituntut dari seorang buzzer, menceritakan pengalamannya saat menjalin relasi dengan produk. Dengan mengundang untuk unboxing misalnya, kalo produk elektronik. Atau mengundang makan kalau resto, test drive kalo mobil/ provider.

Namun belakangan, tidak sedikit sebuah agensi atau corporate tidak memfasilitasi terlebih dahulu pengalaman tersebut, seperti dalam kasus content placement, sehingga pengalaman subjek tidak muncul dalam content. Terjadi keseragaman pengalaman dalam hal ini. Jika terjadi, pengalaman seragam tersebut tidak lagi unik atau justeru muncul kesan jualannya. Pembaca juga bisa membedakan mana yang berdasarkan pengalaman dan mana yang tidak. Padahal tuntutan ideal dalam mempersuasi publik tersebut adalah cerita berdasarkan pengalaman sehingga membentuk suatu buzz (orangnya disebut buzzer). Dalam marketing public relations, model ini disebut sebagai story telling.
Lalu bagaimana agar tulisan yang kita buat tidak memiliki kesan jualan, membentuk story telling, atau punya nilai publisitas?

Bahasa jurnalistik atau PR memegang teguh fakta, sedangkan iklan lebih pada ekspektasi.

Sekedar contoh:
Bahasa iklan:
Sakit Kepala ?
Minum Bod*** aja!
Internet lelet dan mahal?
Makanya pake dong provider A!
Pengen makan enak dan murah?
Di **** Cafe aja
Bahasa Berita
Dalam sehari, Kedai Nyonya *** habiskan daging sapi 100 kg.
Hasil test drive S****n kecepatannya mencapai 100 mbps
Bo*** bukan hanya hilangkan sakit kepala Nurma, juga sembuhkan migrainnya yang telah bertahun-tahun dideritanya.

Kedua pola bahasa di atas memiliki referensi yang berbeda, bisa jadi secara gramatikal tidak berbeda, namun secara makna berbeda. Dan yang memiliki efek jangka panjang adalah pola tulisan yang kedua. Inilah yang dikejar oleh marketing dan public relations, bagaimana agar event atau produknya masuk kategori kedua agar memiliki tingkat keterpengaruhan yang tinggi. Ini juga yang diharapkan oleh corporate saat mereka memberikan job untuk blogger. Story telling. Bahasa yang halus alias softselling. Sesuai dengan referensi pengalamaman sehingga makna yang muncul benar-benar beragam. Unik. Namun saling menguatkan.

2 comments for "Bahasa Iklan VS Bahasa Berita"

  1. terimakasih sharingnya Abah Raka
    salam sehat dan sukses amin

    ReplyDelete
  2. Iya Mas Agung, seinget seadanya yang saya tau aja gak pake referensi

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...