Nyaneut, Tradisi Minum Teh Bersama
Pikiran Rakyat Edisi 6 Januari 2016 |
Di tengah gempuran budaya modern, Garut juga masih menyimpan
tradisi yang sama dimiliki oleh negara besar dan maju seperti Jepang, Amerika
Serikat, Denmark, Rusia, Maroko, dan lainnya. Tradisi ini masih dianut oleh
sebagian masyarakat di Garut. Mereka menyebut tradisi ini sebagai Nyaneut.
Tradisi minum teh hangat bersama di antara para warga.
Nyaneut, adalah salah satu dari ratusan tradisi yang masih
dianut oleh masyarakat Jawa Barat. Tradisi minum teh bersama ini merupakan
tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun pada masyarakat Cigedug Kabupaten
Garut. Nyaneut adalah salah satu tradisi yang masih terus dilakukan oleh
masyarakat. Tradisi ini telah menyedot ribuan orang untuk sekedar menyaksikan
tradisi minum teh bersama yang dikemas dalam bentuk festival.
Pada tanggal 1 Muharam 1437 atau tepatnya 14 Oktober 2015,
penulis mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan Nyaneut. Nyaneut tahun ini
berbeda dengan nyaneut sebelumnya, karena diselenggarakan lebih meriah, dikemas
dalam bentuk pesta budaya yaitu Nyaneut Festival.
Nyaneut merupakan singkatan dari Nyai Haneut atau Cai Haneut
yang artinya air hangat. Adalah bentuk tradisi suguhan air teh hangat kepada
tetamu yang datang yang disuguhkan oleh warga masyarakat Cigedug. Tradisi ini
sudah ada sejak teh ditanam sejak abad 19 di wilayah Bayongbong dan Cikajang,
Cigedug bagian dari Kecamatan Cikajang sebelum terjadi pemekaran menjadi
kecamatan tersendiri. Tehnya sendiri dibawa dan ditanam oleh para pengusaha
dari Belanda ditanam di kaki Gunung Cikuray.
Nyaneut menjadi tradiri dalam menyambut tahun baru Islam.
Namun karena gempuran modernitas, Nyaneut sempat terputus cukup lama. Walaupun
telah menjadi bagian dari keseharian warga karena dekat dengan kehidupan Teh.
Festival ini menjadi awal kembalinya tradisi Nyaneut pada masyarakat Cigedug
untuk terus dilakukan.
Jalannya Acara
Memasuki wilayah Situ Gede Cigedug, pengunjung disambut
dengan gapura gugunungan, atau dikenal dengan SIGOTAKA yang sering ditemukan
dalam pembukaan atau penutupan wayang golek. Semua panitia dengan mengenakan
pakaian asli urang sunda (Pangsi) dan iket kepala turut menyambut kedatangan
dan mempersilakan pengunjung untuk memasuki area serta ikut mengikuti acara
Nyaneut. Sepanjang jalan menuju area Situ Gede, berjajar obor yang terbuat dari
bambu anyaman. Aroma tradisi sungguh terasa bahwa ini merupakan festival
budaya.
Acara diawali dengan Pawai Obor bersama yang dilakukan oleh
ratusan anak-anak tepat setelah sholat magrib dilaksanakan. Dengan dampingan
panitia, mereka mengelilingi jalan Cigedug. Mereka berangkat dari tempat
festival dan kembali lagi ke area festival menjelang sholat Isya. Setelah
Sholat Isya, festival dibuka dengan Rebana Cigedug dan rampak cangkir dari
Teater Jalarea Universitas Garut. Dilanjutkan dengan sambutan dari ketua
panitia, camat, dan Bupati Garut.
Baru setelah peresmian pembukaan festival oleh Bupati Garut,
acara puncak Nyaneut Festival dilaksanakan yaitu ngahaturan cai kepada warga dan pengunjung pada tempat lesehan yang
telah disediakan, dengan meja yang dirancang khusus dari bambu. Alas airnya
sendiri menggunakan gelas dan teko yang terbuat dari tembikar. Air teh yang
diolah adalah teh yang berasal dari teh wejek,
yang diolah secara tradisional oleh masyarakat Cigedug. Sehingga menghasilkan
wangi yang khas. Nyaneut disuguhkan bersama panganan tradisional yang dikukus
yang mayoritas terdiri dari umbi-umbian; ubi jalar, singkong, ganyong, dan gula
merah.
Di tengah-tengah udara Kaki Gunung Cikuray, Nyaneut menjadi
aktifitas warga, bukan hanya untuk menghangatkan tubuh, juga menghangatkan
suasana, karena pada dasarnya Nyaneut dilakukan secara bersama-sama. Maka,
terbentuklah tradisi kerjasama dan kekompakan dari warga. Hal inilah yang
menjadi semangat Nyaneut. Seperti dituturkan oleh Dasep Badrussalam, Ketua
Penyelenggara Nyaneut Festival. Pemuda lulusan STT Tekstil ini mengatakan,
ingin menghidupkan kembali tradisi Nyaneut untuk tetap menjadi kekompakan dan
kebersamaan warga Cigedug yang sedikit demi sedikit sudah tergusur oleh
modernitas.
Kekompakan dan kebersamaan ini tampak terasa atmosfernya dari
sejak saya datang ke Cigedug. Anak-anak sangat kompak untuk melakukan pawai
obor, para wanita kompak membuat suguhan kepada warga dan pendatang. Kekompakan
inilah yang pada akhirnya melahirkan kebersamaan antara warga Cigedug Garut.
Sebagaimana halnya kebersamaan antara menyambut Tahun Baru Islam dan kebiasaan
warga Cigedug dalam melakukan aktifitas minum teh bersama. Jadilah Nyaneut
menjadi bagian dari tradisi warga dalam menyambut hari bersejarah dalam Islam
tersebut.
Sambil menikmati kehangatan dan kekhasan Teh Wejek, warga
menikmati berbagai suguhan seni tradisi; teater, rampak, rebana, sampai
haleuang Dangiang Galuh Pakuan yang dipimpin oleh Bupati Purwakarta Deddy
Mulyadi. Cag.
@abahraka Pikiran Rakyat, 6 Januari 2016
Garut emang keren :-) Sy kemarin habis explore puncak Darajat, keren!
ReplyDeleteKapan Om Fakhrudin ke Garut lagi, kita eksplore lagi hehe
DeleteWih ternyata garut asik juga dan muantappp ya.
ReplyDelete