Banyak Kelas? Oh Tidaak!
sumber: sindodotcom |
Ngajarnya dimana aja Pak? Tanya seorang rekan seprofesi pada
saat jam istirahat.
Pertanyaan ini bukan kali pertama
saya dapatkan dari satu profesi, tapi sudah ke sekian kalinya. Setiap bertemu
rekan yang baru kenal, pertanyaannya tidak jauh dari jumlah dan tempat
mengajar. Beberapa tahun lalu, atau sebelum tahun 2014 sangat bisa menjawab
beberapa tempat mengajar. Tapi sejak masuk 2014 sepertinya bukan hal yang patut
dibanggakan lagi, kenapa? Karena mengajar hanya salah satu tugas dari tridarma
perguruan tinggi, masih ada dua term lagi yang harus dilakukan oleh seorang lecture.
Maka sejak 2014 memutuskan tidak
banyak mengambil kelas, walaupun beberapa tawaran sempat datang dari Universitas
besar dan terkemuka bahkan di antaranya dari PTN. Karena sejak dari awal sudah
menyadari bahwa mengajar hanya salah satu bagian dari tugas saja.
Wajar jika pada akhirnya saya
lebih tertarik dengan kegiatan yang terkait dengan menulis. Tentu saja tidak
instan, karena kegiatan ini sudah dimulai sejak kuliah. Dan tulisan pertam yang
dimuat dengan sistem redaksi pada semester tiga atau tahun kedua saya kuliah.
Dan Masuk media massa pada akhir semester menjelang sidang tugas akhir. Ini
menjadi motivasi untuk terus berkarya. Dan sejak masuk pasca walaupun belum
mengajar, tulisan sudah dimuat dalam jurnal yang dalam proses akreditasi.
Tradisi ini terus sayah pelihara
walaupun kadang muncul sikap malas-malasan. Ditambah lagi persentuhan saya
dengan dunia yang walaupun bukan asosiasi atau komunitas penulis namun
kesadaran ke arah sana tetap tumbuh.
Pertanyaan di atas masih sering
muncul jika bertemu dengan rekan baru. Namun dengan jawaban yang berbeda. Saya
selalu menekankan jika seorang dengan profesi pengajar dan lain sebagainya
tidak perlu banyak jam ngajar, asal syarat wajibnya terpenuhi saja. Karena
banyak kelas justeru banyak menguras energi baik secara fisik atau mental,
sehingga berkarya pun akhirnya terabaikan. *heuheu mungkin ini hanya alasan si
sayah sajah :D.
Tapi kurasan energi karena
perjalanan dari kampus ke kampus memang melelahkan, boro-boro berkarya,
berfikir pun kadang sudah sangat lelah. Sehingga upgrade pengetahuan jarang
sekali dilakukan. Wajar pada akhirnya karena rutinitas seperti itu berdampak
pada kejenuhan sehingga tidak bisa mengembangkan lebih jauh dinamika kelasnya. Inilah
yang pada akhirnya meyakinkan untuk mengurangi kelas.
Hingga pada akhirnya yakin bahwa
karya tulis itu harus tetap lahir bagi seorang pengajar walaupun tidak dalam
bentuk buku. Sangat minimal artikel yang diakui dan diapresiasi publik.
Cirinya, buah pikir kita dimuat di media massa – di samping, tentunya personal
blog.
Satu waktu pernah ditawari ngajar
di Universitas terkemuka di Bandung saya tolak dengan halus, tapi saat di
tawari di univeristas terkemuka lainnya saya pertimbangkan haha, eh
alhamdulillah akhirnya gak jadi karena plotternya
resign.
Satu lagi, kalo ini dengan mohon
maaf harus ditolak karena persoalan harga diri. Mengajar di kampus negeri harus
punya brand yang kuat, hanya faktor ketidaksiapan diri saja. Inilah yang pada
akhirnya lebih memotivasi lagi. Karena pada akhirnya mengajar bukan mencari
fulus (semata) namun pada internalisasi pengetahuan yang bermanfaat untuk orang
banyak. Jika ingin bermanfaat, penguasaannya harus benar-benar sesuasi
kapasitas.
Jadi bukan persoalan ada fulus
atau tidak, lebih pada kepuasan dan aktualisasi yang bermanfaat sesuai dengan
kapasitas. Selain karya dalam bentuk refleksi artikel, jurnal, modul, buku, dan
penelitian harus seimbang. Lebih baik satu kampus tapi fokus, daripada banyak
kampus tapi terjerumus. Baiknya sih karyanya beratus-ratus. #ituajasihcus.
Post a Comment for "Banyak Kelas? Oh Tidaak!"
Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...