Buzzing dalam Public Relations

Ilustrasi: from warriormindcoach.com
Pendahuluan
Bulan agustus tahun 2012, sebuah pesan masuk ke jaringan pribadi (Japri/ inbox)  media sosial berbasis konten yang saya gunakan. Pesan tersebut berisi tawaran untuk melakukan liputan khas jurnalis warga. Saya sendiri sedang aktif-aktifnya ngeblog pada tahun tersebut. Bunyi pesannya sebagai berikut:

Dear blogger,
Blogger bekerjasama dengan salah satu perusahaan telekomunikasi swasta di Indonesia memiliki program yang melibatkan member sebagai duta kampanye mereka.
Sebelum menjalin kesepakatan dengan Anda, kami ingin menanyakan kesediaan Anda jika menjadi salah satu duta kampanye mereka.
Silahkan konfirmasi kesediaan Anda dengan membalas pesan ini. Kami tunggu jawabannya sampai Jumat (21 September 2012) pagi.
Terima kasih
Pengelola

Isinya seperti tertulis di atas. Surat resmi penawaran dari admin blog di atas ditujukan kepada blogger. Bagi blogger yang bersedia akan direkomendasikan ke agensi Public Relations. Satu minggu kemudian datang surat elektronik melalui email penulis dari sebuah agensi public relations. Isinya menawarkan program liputan dengan balas jasa dalam bentuk rupiah. Namun karena saat itu lokasinya berada di pusat ibukota DKI Jakarta, sedangkan penulis berada di kota Bandung, maka tawaran itu urung penulis terima. 

Program-program serupa sudah menjadi hal yang lumrah di kota-kota besar, saat satu perusahaan akan meluncurkan produk  atau program baru mereka tidak segan untuk menggunakan jasa para blogger. Bahkan pihak pemerintah juga sudah mulai menggunakan jasa para ‘pencerita’ tersebut agar produk atau program barunya diceritakan oleh para blogger di blognya. Agar progam baru tersebut menarik para blogger untuk datang ke acara peluncuran suatu produk atau program, tidak sedikit dari perusahaan atau lembaga yang mengiming-imingi dengan hadiah yang lumayan fantastis, misalnya gadget/ dawai dari merek terkenal seperti Apple, Samsung, atau Blackberry. Bagi para blogger sendiri, cendera mata di atas hanya dampak dari yang mereka ceritakan saja bukan menjadi tujuan. Karena dasarnya mereka hoby berbagi cerita melalui blog miliknya.

Pengalaman mendapatkan pencerahan atau edukasi suatu produk tidak hanya mereka ceritakan di dalam blog, juga mereka share ke media jejaring sosial atau microblog seperti facebook, google+ atau twitter. Sering juga peluncuran produk baru tersebut dibarengi dengan lomba kultwit atau livetwit. Suatu kegiatan edukasi yang dilakukan oleh para blogger melalui media twitter dengan menggunakan tanda pagar (tagar/ hashtag) tertentu sesuai dengan ketentuan yang diberakukan oleh lembaga penyelenggara.

Beberapa perusahaan yang telah menggunakan jasanya tidak terbatas pada perusahaan dalam negeri berbasis BUMN seperti Telkom, atau lembaga pemerintah seperti Kementerian PU, Kementerian Kesehatan dengan program JKN dan BPJS termasuk juga perusahaan multinasional seperti Nissan, Philips atau TOP 1. Seperti pernah dipublikasikan di media sosial berbasis konten, Kompasiana. Sebuah blog kroyokon yang dikelola oleh Grup Kompas Cyber Media. Blog detik juga sering menjadi media berbagi cerita untuk event cyber yang diselenggarakan termasuk web-web miliki perusahaan.

Melalui event cyber yang diselenggarakan oleh perusahaan/ lembaga baik di media sosial kroyokan seperti kompasiana.com, blogdetik atau melalui website perusahaan masing-masing kemudian dibagikan melalui media jejaring sosial maka akan tersebar cerita-cerita yang ditulis oleh para bloger dengan sukarela tersebut. Ideologi mereka adalah berbagi dan berhubungan seperti tagline awal-awal dari blog kroyokan Kompasiana, sharing & connecting. Sebagai rumah bersama para blog di Indonesia, Kompasiana pernah mendapatkan penghargaan terbaik baik tingkat Indonesia ataupun ASEAN. Dengan anggota yang mencapai 127.068 dan jumlah pembaca yang mencapai 1 juta perhari dengan tulisan perhari lebih dari 1000 orang. Kompasiana sendiri menempati posisi 25 di Indonesia menurut situ pemeringkat alexa.com.

Melalui blog kroyokan tersebut atau blog pribadi blogger, cerita-cerita tentang pengalaman saat berhubungan dengan suatu produk, lembaga usaha, atau event tertentu disebar. Sebaran cerita tersebut memiliki dampak viral dalam mendistribusikan informasi. Satu informasi akan didistribusikan oleh penerima informasi dan seterusnya. Selain dampak viral, pesan komunikasi juga dapat mempengaruhi tingkat ketertarikan para pengunjung atau pembaca blog.

Popularitas informasi yang diceritakan oleh blogger atau pengguna internet, sering menjadi rujukan media arus utama seperti televisi atau newspaper. Misalnya, saat pelarangan konsumsi dan distribusi Indomie di Taiwan pada tahun 2010, TV One merujuk pada informasi yang ditulis oleh seorang blogger yang berada di Taiwan. Begitu juga Agung, seorang putra pengayuh beca yang berhasil menjadi sarjana kedokteran umum dari UGM diangkat kisahnya oleh televisi juga berangkat dari tulisan sebuah blog. Menikahnya seorang tunadaksa dengan anak pejabat bahkan, atau terakhir anak seorang pengayuh beca mendapatkan beasiswa dari Presiden RI karena mendapat IPK tertinggi di kampusnya. 

Bukan hanya menjadi rujukan media mainstream, kini muncul pekerjaan dan profesi baru dari aktifitas tersebut seperti narablog, fashion bloger, buzzer, fullbloger, dan istilah lainnya yang merujuk pada aktifitas yang sama. Inti dari aktifitas, pekerjaan, atau profesi tersebut adalah menceritakan pengalamannya. Beberapa kaum profesional dan akamemisi mengisitilahkan aktifitas tersebut sebagai buzz seperti ditulis oleh Rhenald Kasali dalam bukunya ‘Cracker’. Dan orang yang melakukan aktifitas tersebut adalah buzzer.

Muara dari kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh perusahaan-perusahaan di atas menekankan pada publikasi. Publikasi menjadi senjata utama Public Relations, seperti halnya iklan yang menjadi salah satu senjata bagi divisi pemasaran. Bagaimana membuat iklan yang kreatif agar dapat menarik konsumen ataupun calon konsumen. Termasuk juga publikasi, bagaimana agar kegiatan-kegiatan perusahaan dipublikasikan oleh media. Jika untuk menembus media arus utama cukup sulit, karena harus mempertimbangkan nilai berita dari satu kegiatan yang akan dipublikasikan. Melalui para blogger, publikasi akan cepat tersebar dan terdistribusikan secara berjejaring.
  
Pengertian Buzz
Buzz, sebuah kata yang berasal dari istilah elektronik yaitu getaran suara, buzzer sendiri adalah komponen yang menghasilkan pengubahan getaran listrik menjadi getaran suara. Istilah ini popular digunakan untuk kegiatan komunikasi, yaitu penceritaan suatu produk oleh orang ketiga. Istilah ini menjadi sangat popular di era media siber, baik untuk internet marketing ataupun Cyber Public Relations. 

Secara definitif, artikata.com memaknai buzz sebagai dengungan atau membicarakan desas desus, sementara buzzing sebagai suara getaran cepat dan gosip yang terus menerus didengungkan, bersenandung suara seperti lebah atau seperti percakapan umum dalam nada rendah, atau ekspresi umum kejutan atau persetujuan.  Untuk membuat suara yang rendah, terus menerus, bersenandung atau bunyi berdesis, seperti itu dibuat oleh lebah dengan sayap mereka. Abang Edwin SA, seorang pakar media sosial dari trenologi mengartikan buzz sebagai ‘pembicaraan’ atau ‘percakapan’ (trenologi.com).

Istilah buzz sendiri pernah digunakan oleh google dengan alamat buzz.google sebagai media jejaring sosial. Sayang media ini gagal bersaing dengan facebook dan berakhir tahun 2011 (wikipedia.com). Kini peran google buzz digantikan oleh google plus yang cukup sukses di pasaran walaupun belum bisa menyaingi facebook dan twitter. Seperti halnya media jejaring sosial lain yang memungkinkan melakukan pertemanan dengan sejumlah orang dan saling berbagi informasi dalam bentuk teks, gambar, atau video, seperti namanya ‘buzz’ google buzz diarahkan agar mampu menjadi sarana percakapan computer mediated communication, bahkan sudah dipersiapkan dalam versi mobile-nya. Sayang, tidak mampu bertahan lama. Sebagai penggantinya, maka google menggantinya dengan projek google+ yang sudah.

Memperhatikan munculnya google+, google memulainya dengan melakukan buzzing sehingga para penikmat media jejaring sosial menunggu-nunggu kehadirannya sebagaimana saat menunggu kemunculan aplikasi blackberry masanger di OS IOS, Android dan Windows Phone yang belakangan muncul. Metode ini cukup berhasil memperkenalkan google+. Di microblog twitter sendiri terdapat aplikasi sociobuzz yang hampir serupa google adsense.

Pengertian serupa diungkapkan oleh Silih Agung Wasesa dan Jim Macnamara (2010:395), bahwa buzz lebih mirip dengungan suara lebah, walaupun tampaknya seperti dengungan tidak beraturan, sekarang PR memperlihatkan bahwa dengungan tersebut beraturan dan memiliki pola yang bisa dikembangkan. Ia sendiri mengistilahkannya dengan istilah buzzword.

Bagi Silih dan Jim, dengungan suara lebah adalah dengungan yang memiliki banyak makna, tentu saja buat lebah sendiri, bukan buat kita. Bagi lebah setiap dengung memiliki arti, sekalipun kita menandainya sama. Sebetulnya bukan hanya pada lebah, pada setiap kita pun memiliki dengungan yang berbeda, dan dimaknai yang berbeda ketika kita adalah anggota kelompok yang tidak sama. Bagi Praktisi dan akademisi Public Relations tersebut, buzzing akan lebih didengarkan oleh komunitasnya tersebut dibandingkan dengan iklan segencar apapun, semahal apapun, dan sekolosal apapun. 

Pelaku buzzing  sendiri dikenal dengan istilah buzzer. Buzzer atau orang yang melakukan kegiatan buzzing adalah orang dengan melalui sebuah atau banyak akun mempercakapkan suatu produk, lembaga, orang, isu tertentu—pesan komunikasi. Buzzer sendiri biasanya memiliki cukup banyak pengikut-followers karena tingkat pengaruh dari setiap pesannya atau tingkat kreatifitas pesannya disukai oleh banyak orang. Sehingga memiliki pengikut cukup banyak. 

Dalam dunia bisnis informasi sendiri, seperti info tentang keadaan daerah yang disampaikan melalui media jejaring sosial berbasis microblogging twitter, misalnya akun @infobandung atau @infobdg yang sudah memiliki followers ratusan ribu atau bahkan mencapai jutaan. Akun-akun kreatif yang tadinya milik personal juga seperti akun KumahaAingWeh atau @infowatir memiliki banyak followers termasuk juga para selebriti di Indonesia. Mereka memiliki peluang besar menjadi buzzer berbayar. 

Artinya, dengan banyaknya followers dan tingkat pengaruh dari akun-akun tersebut karena unsur kreatifitas dan kepercayaannya memungkinkan perusahaan menggunakan jasa dari akun tersebut untuk membicarakan produk mereka. Sebagai sebuah percakapan, tingkat kredibilitas dari akun tersebut akan berbeda dengan iklan. Sebagai sebuah percakapan atau pembicaraan tingkat kredibilitasnya lebih tinggi karena memiliki nilai publikasi—bukan iklan. Walaupun dalam praktiknya, isi percakapan tersebut merupakan pesanan perusahaan yang dibayar oleh perusahaan tertentu.

Dalam prosesnya, kegiatan buzzing tersebut yang dilakukan oleh buzzer adalah dengan cara menyampaian pesan komunikasi secara viral dan berantai melalui jejaring pertemanan yang mereka miliki melalui media sosial; weblog atau media jejaring sosial. Kegiatan ini tidak hanya terbatas pada keterbatasan 140 karakter yang dimiliki oleh microblog twitter tetapi juga tersebar di berbagai media sosial lain dalam bentuk teks, gambar, ataupun video yang memiliki tingkat jangkauan yang viral. Efek viral ini pernah diteliti oleh Kristakis di Amerika baik di dunia nyata ataupun di dunia maya. Bahkan salah satu keberhasilan pencalonan  Presiden Amerika Serikat ditunjang oleh kegiatan Buzzing para pendukungnya. Isi percakapan dalam setiap akun jejaring sosial akan menerpa setiap pemilik akun jejaring sosial yang berteman tergantung pada pengaturan tingkat publisitas yang dikelola oleh pemiliknya. 

Dalam kehidupan dunia yang baru tersebut, individu tidak hanya berperan sebagai penikmat atau konsumen, ia juga sekaligus berperan sebagai produsen informasi. Bahkan ada kecenderungan, berita-berita yang disajikan dalam media arus utama reputasinya mulai turun, dan lebih percaya kepada individu yang betul-betul ada di tempat peristiwa terjadi yang dapat menjadi produsen informasi. 

Silih dan Jim menulis;
Nah, dalam konteks PR, hasilan buzzword itu menjadi sangat penting ketika dikaitkan dengan audiens target. Dalam kontes yang lebih luas, inilah apa yang disebut oleh Breakenridge di buku PR 2.0, New Media, New Tools, New audiences (FT Press, 2008), sebuah situasai dimana audiensi target sudah menjadi narasumber informasi itu sendiri. Terlalu lama untuk sekadar mengandalkan media massa konvensional, karena masyarakat tidak lagi seantusias 5 tahun yang lalu dalam membaca media massa, terutama media cetak. Kegiatan public sudah berubah, dimana sebagian besar lebih cenderung mendengarkan perbincangan yang terjadi diantara mereka sendiri. Mereka menciseptakan kata-katanya sendiri, pemahaman sendiri dan terutama yang dihasilkan oleh komunitas mereka sendiri. Itulah kata-kata mereka. Kita menyingkatnya dengan istilah Buzzword (2010:396).
Menurutnya, buzz bisa langsung ke target sasaran. Bagi Silih dan Jim, pola perilaku komunikasi yang kini terjadi sudah diklusterisasi dimana media komunikasinya adalah orang-orang yang berkompeten dalam komunitas tersebut. Hal ini juga karena pengaruh semakin menguatnya komunikasi melalui media siber dan pembaca sudah mulai meninggalkan media konvensional. Menurut Shirley Biagi (2010: 245) target sasaran ini dikarenakan media komunikasi sudah sedemikian kecil dengan sistem mobile. Setiap orang bisa mengirim, mengambil gambar, mendengarkan musik, mengunduh video sehingga cukup menarik pasar. Pesan yang tersedia dalam internet kini sudah bisa diakses melalui media mobile ini yang kita kenal dengan dawai/ gadget.

Klasifikasi Buzz
Secara umum kegiatan buzzing dapat diklasifikasikan sebagai buzz berbayar atau dalam konteks komunikasi konvensional dapat disebut sebagai iklan. Juga ada buzz yang gratis sebagaimana halnya world of mouth dalam pemasaran konvensional. Di samping itu, proses kemunculannya ada yang disengaja, tidak disengaja, ada yang dikoordinir juga tak terorganisasi tapi muncul begitu saja sebagai gerakan populis.

Iklan sendiri bermetamorfosis menjadi bentuk lain seperti infobiz atau advertorial yang hampir serupa dengan publikasi dalam media konvensional. Namun untuk buzz sendiri tidak bisa dilacak apakah sebagai iklan atau publikasi berbayar atau bukan. Karena tidak menggunakan kode khusus seperti halnya advertorial dalam media konvensional. Dari pengamatan penulis, ada juga publikasi berbayar dengan penyewaan space pada beberapa media, cetak, elektronik, ataupun digital. 

Dengan pengertian buzz sebagai sebuah percakapan atau dengungan. Inti dari buzz adalah bagaimana agar produk atau program dari suatu lembaga diceritakan oleh pihak lain. Tujuan penceritaan tersebut adalah agar produk atau program lembaganya dikenal oleh audiens atau konsumen. Metode yang digunakan oleh pihak manajemen perusahaan untuk mengenalkan produk dan lembaga mereka agar diceritakan oleh banyak orang dengan berbagai cara. Bisa dengan kegiatan yang kontroversial, undangan kepada para blogger atau mereka yang aktif di media sosial agar bisa diceritakan oleh mereka. Bagaimana agar para blogger atau aktifis media sosial sebagai pihak ketiga bisa bocor atau menceritakan pengalaman mereka saat berhubungan dengan suatu program atau produk baru. Menceritakan sebanyak-banyaknya pengalaman mereka agar bisa dibaca oleh teman-teman yang berada dalam jejaringnya. 

Buzz berbayar, misalnya dapat dicermati dari akun-akun populer yang memiliki banyak follower di twitterland. Akun tersebut bisa berupa akun yang dikelola secara profesional dalam bentuk usaha informasi seperti halnya media mainstream. Bisa juga oleh akun populer yang dikelola secara personal atau team tapi belum profesional. Akun-akun yang dikelola secara profesional serius menggarap bisnis informasi tersebut seperti @infobdg. Akun twitter @infobdg yang menginformasikan seputar Bandung; cuaca, situasi lalulintas, wisata, kuliner, belanja dan lain sebagainya. Selain fokus di twitterland juga memiliki web dan tv streaming. Keseriusan akun tersebut dapat dicermati dari penyediaan informasi berbasis konten selain yang terbatas pada 140 karakter, yaitu konten berupa tulisan melalui www.infobdg.com dan juga videostreaming seputar Bandung. Walaupun bukan situs berita layaknya media mainstream, tetapi situs ini menyajikan informasi yang lengkap seputar Bandung termasuk info hotel, event, jadwal kereta, pesawat, dan dan lain sebagainya. Wajar jika dibandingkan dengan akun membahas informasi serupa yaitu @infobandung, akun @infobdg jauh lebih banyak jumlah followernya. Akun ini kini memiliki pengikut mencapai 1,2 juta. Jumlah yang cukup besar sehingga berpotensi untuk menyebarkan berbagai informasi dengan efektif ke target sasaran. 

Sebagai media yang difungsikan untuk menceritakan produk atau program, karakter yang dimunculkan oleh buzzer berbayar tersebut berbeda dengan iklan yang dimunculkan oleh media mainstream. Karakter ‘iklan’nya tidak menunjukan diri sebagai iklan tapi sebagai cerita yang mengalir seolah-olah tanpa beban ‘iklan’. Jika akun @infobdg dikelola secara profesional, model ‘iklan’ seperti ini juga muncul dari akun-akun personal atau yang dikelola team. Seperti akun @KumahaAingWeh atau akun kreatif sejenis seperti akun @pepatah atau @pepatahku yang sudah memiliki follower jutaan. 

Dalam metode komunikasi, struktur kalimat iklan yang ditwit oleh akun tersebut seolah pengalamannya sendiri saat berhubungan dengan produk, padahal jika kita cermati kalimat-kalimat yang ditulis oleh akun tersebut adalah iklan. Tetapi karena akun tersebut membuat twit-twit awalnya dengan struktur kalimat pepatah atau kalimat parodi sehari-hari seperti sering ditwitkan oleh @KumahaAingWeh atau @infowatir maka twit iklan atau promosi tidak terasa sebagai kalimat promosi. Hal ini berbeda dengan akun @ahlipromo atau akun-akun yang secara eksplisit sebagai ahli iklan. Karena struktur kalimat twit sejak awal sudah dikonstruk sebagai promosi/ iklan, maka kesan yang muncul dalam twit tersebut sebagai iklan. 

Sementara buzz, kalimat yang dimunculkan dalam setiap kicauan tidak dikonstruk sebagai promosi, tetapi sebagai sebuah pengalaman, cerita yang mengalir saat berhubungan dengan sebuah program, produk, atau kegiatan lembaga, maka konstruksi kesan pun tidak mengarah kepada iklan saat ada kalimat promo yang muncul. Inilah yang membedakan buzz dengan iklan. Oleh karena itu, buzz dalam media konvensional hampir dapat dipastikan sama dengan publikasi. 

Strategi Buzzing
Strategi berkaitan dengan konsep yang berorientasi pada tujuan. Menyangkut proses keseluruhan bagaimana tujuan buzzing public relations tercapai. SIlih dan Jim menilainya cukup sederhana. Menurutnya stretegi Buzzing dilakukan melalui kombinasi antara Character, Consideration, dan Communication. Character merupakan komunitas dimana audiensi target berkembang dan merasa nyaman, consideration adalah pertimbangan masyarakat untuk mengambil keputusan ataupun mengubah pendapat, dan communication adalah pola komunikasi di antara komunitas utama, komunitas pendukung dan masyarakat dalam arti luas (Silih & Jim, 2010: 397).

Untuk membahas bagaimana strategi 3 C tersebut diimplementasikan dalam kegiatan edukasi PR dan Promosi pemasaran, Silih dan Jim mencontohkan secara praktis bagaimana buzzing bekerja. Menurutnya, secara simple titik buzzing terbagi dua, yaitu Pertama, Main Buzz Spot, yaitu titik-titik yang melestarikan terjadinya sebuah pendapat. Kedua, Main Buzz Spot, yaitu titik-titik pendukung yang bisa dijadikan “perantara” buzz hingga mampu mengubah persepsi audiensi target. Pada titik ini kecerdasan PR dibutuhkan dalam membangun  buzzword. Hal ini mengingat supporting spot ini dijadikan jembatan penghubung antara 3 C (Silih dan Jim, 2010: 398). Buzz point adalah titik-titik sosial yang  mampu menciptakan pembicaraan. Pembicaraan itu akan menular ke anggota komunitas hingga ke luar anggota komunitas. 

Titik-titik di atas diterjemahkan oleh Silih dan Jim sebagai berikut; (1) Komunitas kelas menengah yang mudah terpengaruhi, (2) orang-orang yang dijadikan referensi oleh kelas menengah, (3) lokasi representative tempat terjadinya pertemuan mereka yang mampu membuat keterpengaruhan kelas menengah oleh referens. 

Walaupun apa yang disampaikan oleh Silih dan Jim tersebut dalam konteks kegiatan kopi darat (offline), kini berlaku di era daring. Jika pada awalnya, perusahaan tersebut tidak sadar kenapa itu bisa terjadi dan sulit untuk mempertahankan buzz ini, seperti yang dinyatakan oleh Silih. Di era siber, buzz lebih sering dan banyak diciptakan oleh lembaga laba ataupun laba baik besar, kecil, swasta, pemerintah, nasional atau multinasional.  

Untuk merealisasikan 3-C, Silih dan Jim menyarankan agar kita langsung nongkrong di suatu komunitas agar mengetahui dan faham suara-suara tentang produk yang sedang ada di pasaran. Jika suara-suara sumbang yang muncul, perusahaan bisa cepat mengantisipasinya. Menurut Silih, suarau tersebut bisa seperti rayap yang bisa menggerogoti reputasi perusahaan. Namun jika suara positive, bisa lebih didorong lebih jauh. Sehingga bisa menghasilkan dengungan yang positif. Inilah yang dilakukan oleh beberapa perusahaan multinasional seperti KFC, Toyota, Honda, Yamaha, atau dalam kasus politik Prabowo dan Jokowi sama-sama melakukan metode ini.

Metode berkaitan dengan cara melakukan buzzing. Sebagai sebuah cara, buzzing dilakukan dengan beragam cara, baik dari sisi penceritaan atau media yang digunakan. Tujuan buzzing sendiri adalah agar produk atau program cepat dikenal oleh konsumen. Bukan hanya dikenal, penceritaan melalui orang terpecaya atau oleh oleh banyak orang di dunia maya akan mendorong seseorang untuk mengenal, mengetahui, faham, butuh, hingga pada akhirnya melakukan pengambilan keputusan untuk menggunakan produk atau program yang diceritakan oleh orang lain.

Di era informasi, kebutuhan akan pengetahuan produk atau program dapat dilakukan secara mandiri melalui pencarian di media siber. Alih-alih menanyakan kepada front office atau customer service dari produk atau program tertentu, selain akan bersifat subjektif karena faktor kepentingan yang sangat besar agar produk/ programnya diterima, juga cara pencarian informasi seperti itu tidak efektif dan tidak efisien. Sementara dunia siber menyimpan banyak arsip tentang informasi yang sedang dibutuhkan. Informasi ini hadir karena setiap orang dengan sifat dan sikap senang berbaginya menciptakan informasi-informasi tersebut dalam bentuk catatan dalam aplikasi yang disediakan oleh media siber seperti blog, web, atau media jejaring sosial. 

Dengan berbagai macam informasi yang tersedia dalam menjelaskan satu produk atau program, daripada harus datang ke showroom suatu produk dengan menggunakan waktu yang relatif lama. Dengan berselancar di dunia maya, seorang calon konsumen dapat mendapatkan pengetahuan produk dari berbagai macam sudut pandang, bisa membandingkan kelebihan kekurangan, harga, kualitas dan lain sebagainya. Semua informasi itu tidak akan didapat jika kontennya tersedia. Konten-konten tersebut hadir karena ditulis oleh orang secara sukarela. Konten-konten tersebut tidak diciptakan oleh produsen produk, tetapi pihak ketiga yang pernah berhubungan dengan produk tersebut.

Kini, ketika media siber menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia, bahkan bisa dikatakan menjadi jantungnya informasi manusia. Saat semua individu atau lembaga menyadarinya, konten-konten tersebut tidak hanya diciptakan oleh seseorang yang senang berbagi/ bercerita saat berhubungan dengan produk yang muncul tanpa terstruktur, tanpa terencana.  Namun juga sengaja diciptakan oleh organisasi secara terstruktur dan terancana untuk mengenalkan sekaligus membangun citra produk. Mereka tidak hanya menggunakan konsultan PR tetapi juga menghimpun komunitas agar organisasi beserta produknya diceritakan oleh blogger, facebooker, kompasianer, atau yang aktif ngetwit. 

Dengan menggunakan tanda pagar (hastag) tertentu, produk akan dikenal dengan mudah oleh para peselancar media siber.  Hastag sendiri menyebar karena sifat keterjangkauan dan koneksi pesan yang saling menerpa. Secara umum tanda pagar atau tag merupakan kata kunci yang digunakan agar lebih memudahkan saat pencarian suatu produk. Saat peselancar dunia maya mencari kata kunci yang dimaksudkan maka akan mengarah pada tagar yang telah ditulis oleh banyak pengguna media sosial aktif.

Studi kasus kegiatan Buzzing
Pada tahun 2009, Politik Indonesia diramaikan dengan buku ‘Membongkar Gurita Cikeas’ yang ditulis oleh George Junus Aditjondro, diterbitkan oleh Galang Press. Buku tersebut menjadi salah satu buku yang menghebobkan pada tahun 2009, karena dalam buku tersebut menyinggung-nyinggung nama SBY sebagai presiden yang telah mengetahui kasus century. Buku tersebut menjadi perbincangan karena isinya melibatkan orang nomor satu di Indonesia. Karena isu yang diangkat sangat sensitive, buku tersebut menjadi buku ‘terlarang’ karena isinya menyinggung keterlibatan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Karena ‘terlarang’ inilah, sementara masyarakat menjadi penasaran, sedangkan buku tersebut menjadi sulit didapatkan. Kontroversi buku tersebut sekaligus menjadi buzzing. Banyak diperbincangkan, digosipkan, diceritakan, hingga masyarakat awam politik pun mencari buku tersebut, hingga akhirnya muncul dan diperdagangkan oleh pedagang asongan dengan harga jual yang tinggi. 

Pada tahun 2011, dengan produk yang sama, Sumardi, menulis buku berjudul ‘RIP Ads’ (Rest In Peace Advertising). Untuk peluncurannya, Sumardi mengundang beberapa lembaga termasuk lembaga pers. Namun undangan yang dikirimkan bukan undangan biasa, ia mengirimkan buku tersebut yang dimasukan ke dalam sebuah peti mati. Apa yang dilakukan Sumardi bertepatan dengan sedang memanasnya isu-isu terorisme di Indonesia. Media di Indonesia pun heboh. Karena apa yang dilakukan oleh Sumardi sebagai kegiatan terror. Sumardi pun diperiksa oleh kepolisian. Terlepas salah atau benar, tetapi Sumardi beserta buku ‘RIP Ads’ menjadi terkenal dan banyak diperbincangkan seperti halnya buku ‘Membongkar Gurita Cikeas’.

Kedua pengarang buku tersebut tidak perlu repot-repot mengiklankan bukunya masing-masing seperti dilakukan oleh Tjahya Gunawan Direjdja melalui bukunya ‘Chairul Tanjung si Anak Singkong’. Namun melalui metode buzzing, kedua buku di atas menjadi sangat terkenal.
Kehadiran Internet dengan ragam aplikasi yang ada di dalamnya, memudahkan kegiatan buzzing karena tidak harus melakukan hal-hal yang sifatnya kontroversial seperti dilakukan oleh George Junus Aditjondro dan Sumardi. Setiap orang, lembaga usaha, pemerintah, siapapun bisa melakukan kegiatan buzzing, walaupun tidak akan seheboh isu-isu kontroversial. Salah satu yang telah sukses melakukan buzzing adalah AXL, pemilik merek kripik pedas ‘Ma Icih’. Axl memilih media sosial—twitter untuk memasarkan produknya, melalui Jenderal-jenderal yang siap melayani, melalui akun @infomaicih menginformasikan tempat jenderal-jenderal tersebut mangkal. Pada tahun 2011, apa yang dilakukan oleh axl menjadi ‘iklan’ gratis, di media sosial yang cepat menyebar di dunia nyata. Menurut axl seperti ditulis oleh majalah marketing (marketing.co.id) mencari ceruk pasar di media sosial lebih efektif dan mampu menciptakan word-of-mouth dibanding yang lainnya. Menurutnya pengaruh media sosial sangat luar biasa, dengan jumlah statistic penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta dan pengguna gadget 10 % menjadi pasar dari produk ‘Ma Icih’. 

Apa yang dilakukan oleh ‘Ma Icih’ kini diikuti oleh perusahaan-perusahaan nasional bahkan multinasional termasuk di dalamnya lembaga pemerintah untuk melakukan edukasi kepada masyarakatnya melalui kegiatan buzzing. Telkomsel, sebagai perusahaan BUMN dalam jangka waktu tertentu, pada tahun 2011 bekerja sama dengan media warga berbasis konten Kompasiana menyelenggarakan ‘blogshop’. 

Pada tahun yang sama, Top 1 (One), perusahaan oli asal Amerika melakukan kegiatan lomba menulis untuk para blogger. Pada tahun 2012 Sharp menyelenggarakan lomba blogger bertajuk ‘Sharp Plasmacuster Ion Pahlawanku’ di media yang sama. Begitu juga Yamaha, menyelenggarakan kegiatan ‘Warung Yamaha’ Blog Competion pada tahun dan media yang sama. Selain lembaga usaha, lembaga pemerintah juga menyelenggarakan program edukasi kepada masyarakat dengan taktik buzzing seperti yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum; lomba menulis blog, reportase ‘nangkring bareng’ dan lain sebagainya. Bulan Agustus 2014, Kementerian kesehatan menyelenggarakan edukasi tentang BPJS kepada para blogger. Dan banyak lagi program untuk buzzing dilakukan oleh perusahaan; Philips, ramen, 7 Wonder, Daihatsu, Wardah.

Perusahaan-perusahaan baru atau komunitas juga menyelenggaran event dengan mengundang lauching para blogger, mereka adakan mendapatkan goodybag, makan siang atau hadiah dengan syarat menuliskan pengalamannya di blog. Dengan fenomenalnya kegiatan buzzing kini mulai terorganisirnya para blogger dalam komunitas-komunitas seperti komunitas blogger kompasiana atau yang dikenal dengan Kompasianers, blogger detik, Blogger Reporter Indonesia, Blogger Bekasi, Blogger Bandung, Blogger Makasar, dan masih banyak lagi. Kehadiran blogger dalam event-event tak ubahnya seperti jurnalis professional yang mewartakan peristiwa. Posisi blogger kini dianggap penting karena kicauannya akan bermanfaat untuk menaikan reputasi perusahaan.

Tidak hanya yang difasilitasi oleh komunitas saja agar memudahkan menghubungkan antara pihak yang berkepentingan dengan para ‘pencerita’, baik yang berprofesi sebagai buzzer berbayar ataupun blogger. Bahkan tersedia juga sebuah aplikasi yang menghubungkan antara pengiklan dan buzzer di Indonesia yaitu sociobuzz.  Seorang pengiklan dapat menambah saldo budget iklan sendiri, membuat materi iklan, sampai menentukan jadwal munculnya iklan di akun twitter buzzer—self-service advertisement (www.sociobuzz.com). Intinya, bagaimana sebuah produk, jasa, program, atau kegiatan lembaga diceritakan oleh pihak ketiga. Dan di era populernya dunia maya, kegiatan buzzing bertambah menjamur.

Analisis teoritis 
Seiring dengan popularitas buzzing yang juga masuk ke dalam kajian-kajian akademik. Secara ilmiah seperti diteliti oleh Yuddy Saputra (2013), bahwa media sosial khususnya twitter memiliki pengaruh terhadap afeksi seseorang. Melalui skripsi dengan “Pengaruh  Network Structure Characteristic Terhadap Network Involvement dan Implikasinya Terhadap Purchase  Intention (Buzzing Produk di Sosial Media Twitter) Yuddy memperoleh kesimpulan bahwa benyaknya pengikut atau padatnya jaringan mempengaruhi terhadap keterlibatan kognitif, tetapi yang mempengaruhi niat beli hanya kedekatan emosional diantara pengguna twitter/ para followernya. Hal ini, menurut hasil penelitian dari Sarjana Ekonomi tersebut karena twitter lebih bersifat emosional dibanding rasional. Hanya seseorang yang memiliki kedekatan emosional yang mampu mempengaruhi minat beli seseorang yang ada dalam jaringannya. Ambassador dan komunitas dalam penelitian yang dilakukan oleh Yuddy berperan penting dalam menggerakan minat beli (2013: 118).

Hasil penelitian di atas sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Silih dan Jim, bahwa komunitas bermanfaat untuk proses edukasi, persuasi, bahkan agitasi komunikasi. Menurutnya, beberapa kasus terbukti menunjukan bahwa kasus dengungan komunitas begitu efektif untuk membangun edukasi di audiensi target, bahkan untuk diteruskan sebagai penguat terjadinya penjualan. Ia mencontohkan bagaimana fenomena mobil berwarna putih yang sedang trend sekarang di Indonesia. Awalnya mobil putih terkesan mobil ambulance, tetapi dengan penggunaan komunitas untuk melakukan buzzing, kini warna putih dipersepsikan sebagai warna VVIP (2010: 397).

Efek terpaan komunikasi yang terjadi pada jejaring sosial disebut oleh Nicholas & James (2010: 47) sebagai ‘penyakit psikogenik massa’, satu reaksi emosi pada satu orang terkadang bisa menyebabkan banyak orang merasakan hal yang sama, menciptakan gelombang emosi beramai-ramai. Maka wajar, seperti kesimpulan penelitian Yuddy (2013) di atas, dampak komunikasi jejaring sosial itu lebih pada dampak afektif dari sesam teman yang secara emosional dekat.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Christakis dan James (2010:19-29), komunikasi yang terjadi dalam jejaring memiliki aturan: Pertama, kita membentuk jejaring kita. Dalam konteks kasus buzzing, kecenderungan orang membangun jejaring atau komunitas di dunia maya karena adanya kesamaan atau homofili, persis seperti yang diteliti oleh Yuddy. Kecenderungan keterpengaruhan seseorang secara afektif karena adanya homofili.

Kedua, Jejaring kita membentuk kita. Selain kita yang membentuk jejaring, jejaring kita juga membentuk kita. Kita akan saling mempengaruhi dalam jejaring pertemanan yang kita miliki. Ketiga, teman mempengaruhi kita. Apa yang mengalir dalam jejaring akan mempengaruhi kita. Satu penentu aliran adalah kecenderungan manusia untuk saling mempengaruhi dan saling meniru. 

Keempat, Temannya teman mempengaruhi kita. Jika seseorang memiliki sesuatu dan kontak dengan orang lain, kontak itu cukup untuk dapat membuat orang kedua mempunyainya juga. Penyebarannya mungkin memerlukan proses lebih rumit yang melibatkan penguatan oleh banyak kontak sosial. Teman dan temannya teman akan saling menguatkan pengaruh. Kelima, Jejaring sosial memiliki kehidupan sendiri. Jika seseorang ditanya kenapa memilih produk atau jasa tertentu karena dipengaruhi oleh media sosial, tidak bisa ditanya satu individu, tetapi harus secara menyeluruh.

Aturan diatas terjadi pada media jejaring sosial seperti pada kasus buzzing karena seperti yang dinyatakan oleh Christakis dan James (2010: 44) emosi menyebar dari orang ke orang karena dua sifat interaksi manusia: kita punya kecenderungan biologis untuk meniru orang lain, dan ketika meniru, kita juga jadi mengalami keadaan internal seperti mereka sehingga sifat kencederungan terpengaruhi secara efektif dari metode komunikasi buzzing menjadi sangat wajar.

Penutup
Kehadiran internet memberikan peluang bagi siapapun yang ingin maju, eksis, dan berkembang di masa depan. Munculnya berbagai perusahaan yang berbasis start up menjadi ciri bahwa internet tidak bersikap diskriminatif. Bahkan tidak sedikit para pemain baru dalam dunia usaha mengalami perkembangan yang pesat. Seperti halnya kasus Axl dengan ‘Ma Icih’. Begitu juga perusahaan-perusahaan baru yang ditopang oleh modal, tidak cukup sulit berkembang di erah media sosial. Melalui metode buzzing, mereka bisa dengan cepat menggapai khalayak internet yang jumlahnya—khusus Indonesia—bisa mencapai 100 juta orang pada masa yang akan datang atau lebih. 

Ratusan juta orang yang tergabung dalam dunia maya tersebut menjadi potensi untuk dijadikan pasar oleh setiap lembaga usaha. Namun demikian, perlu wadah komunitas agar mereka gampang terpengaruhi. Perusahaan-perusahaan berbasis media massa pun memfasilitasinya seperti dilakukan oleh Kompasiana yang menjadi lini media warga dari media arus utama kompas, blog detik dari transcorp, termasuk komunitas-komunitas blogger yang berkembang menjadi media untuk dimanfaatkan sebagai buzzer. Bahkan kini ada aplikasi khusus penghubung antara para buzzer dengan pengiklan agar produk mereka bisa masuk ke dalam jejaring pertemanan para netizen atau blogger. Dengan demikian seperti dinyatakan oleh Axl dalam kasus di atas, di era media siber, kegiatan buzzing menjadi lebih mudah, efektif, dan efisien.

6 comments for "Buzzing dalam Public Relations"

  1. kirim tulisannya ini ke koran aja, Bah. bagus soalnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe kalo koran mah harus uptodate, dan gak terlalu panjang. 750 word aja biasanya atau sekitar 7000 karakter.

      Delete
  2. mantaap, abah raka, tulisannya lengkap, bisa jd referensi

    ReplyDelete
  3. Hehe ini mah semacam makalah teh, jadi banyak referensi.

    ReplyDelete
  4. Paa buka les 'to be blogger'aja wkwkwk
    Nanti natia jdi thr first student nyaa hihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya nat, nanti kita bikin yuk komunitas bloggernya hehe

      Delete

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...