Literasi Media Sosial
Sumber Ilustrasi dari Melimove.wordpress.com |
Deddy Corbuzier, seorang presenter,
pada awal september 2015 mengadukan seorang remaja kepada polisis. Laporan Dedi
terkait dengan komentar dan tantangan yang dilakukan oleh AH (inisial). Deddy
dikata-katai bodoh, pecundang, acara yang dibawakannya tidak membuat orang
cerdas, bahkan menantang untuk melapor dilaporkan kepada polisi. Bukan hanya
melaporkan ke polisi, Deddy juga memposting komenter remaja tersebut di akun
instagramnya. Namun setelah Deddy mengetahui keberadaan keluarganya, niatnya
melaporkan ke polisi pun urung. Ia lebih memilih cara kekeluargaan agar kasusnya
selesei. Akhirnya terlapor meminta maaf dengan didampingi keluarga, polisi, dan
pihak sekolah.
Sejumlah 7000-an akun memberikan like dan tak kurang dari 1260 mengomentari
postingan Sang Mentalis. Sebagian besar followersnya mendukung sikap presenter
berkepala plontos tersebut. Namun tidak sedikit yang justeru melakukan Bully terhadap pembawa acara Hitam Putih
tersebut karena berani melawan remaja labil tersebut. Kekuatannya tidak
berimbang.
Peristiwa ini menambah daftar panjang
kasus yang diakibatkan oleh transaksi melalui media daring, setelah kasus
pertama yang menimpa Iwan Piliang, seorang jurnalis dan kini lebih memilih
menjadi netizen Reporter, Prita, Florence, MA, dan lainnya yang berususan
dengan polisi karena dilaporkan melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik
melalui media digital.
Menurut SAFENet, seperti disampaikan
oleh Damar Juniarto beberapa waktu lalu dalam sebuah diskusi, setiap bulannya,
tak kurang dari 4 kasus yang terjerat UU ITE. Sejumlah empat kasus tiap
bulannya merupakan kasus yang terdata pelaporannya melalui instansi kepolisian,
belum lagi kasus yang tidak terdata dan tidak terlaporkan. Seperti sering kita
temui dalam akun-akun media sosial, bagaimana perilaku netizen yang tidak
memerhatikan netiket. Kasus ini tidak hanya menimpa orang-orang dengan tingkat
pendidikan pas-pasan namun juga mereka yang memiliki pendidikan cukup.
Akun Media Sosial, antara Personal
Office dan Personal Relations
Saat Netizen memiliki akun media
sosial, hal apa yang pertama kali dilakukannya? Selfi, membuat status palsu, memposting
tempat apa yang sedang dikunjungi, memamerkan kendaraan yang baru saja dibeli, atau memamerkan anaknya yang lucu-lucu?
Ya, sah-sah saja apa yang dilakukan dengan
akun pribadi terkait dengan eksistensi dirinya di dalam ruang siber. Ini menjadi fenomena umum di era siber. Media
sosial seakan menjadi tempat untuk mengekspresikan seluruh ekspektasi dan narsisme.
Menunjukan siapa diri kita kepada teman-teman yang berada di jaringannya atau
netizen lain yang berkunjung ke ‘rumahnya’. Media sosial ibarat personal showroom atau gallery yang memuat semua karya harian
dirinya. Ia juga sekaligus menjadi portofolio yang menampilkan kehidupan sehari-harinya.
Melalui kicauan, status, atau
unggahan yang dibagikan melalui linimasanya, ia sedang membangun personal character. Ia sedang mensimulasikan diri di ruang siber. Wajar, seorang
netizen bisa dengan mudah mendapatan pekerjaan dari teman jejaring sosialnya
tanpa harus bertemu, karena memiliki reputasi baik pada linimasanya, konsisten,
memancarkan energi positif, menunjukan ketrampilan utamanya dengan baik. Misalnya,
pada media jejaring LinkedIn, bisa menjadi rujukan bagaimana portofolio seseorang
bisa terangkum dalam linimasanya sehinga bisa menjadi referensi bagi pihak
personalia perusahaan. Setiap orang dalam jejaringnya dapat dengan mudah
menilai siapa Netizen tersebut. Teman
jejaringnya juga bisa merekomendasikan netizen tersebut untuk sebuah pekerjaan
tertentu.
Akun media sosial diibaratkan sebagai
personal showroom, jika yang ditunjukannya baik, maka baik pulalah umpan
baliknya. Namun sebaliknya, jika yang diunggahnya tidak baik maka hasilnya pun
tidak baik. Seperti apa yang dilakukan oleh beberapa saudara-saudara kita yang
telah disebutkan, media sosial menjadi pintu masuk untuk mendapatkan pekerjaan
namun tidak sedikit menjadi bumerang yang mematikan karir pribadinya atau
setidaknya media sosial menjadi pintu masuk netizen untuk dibully karena perilakunya sendiri.
Pentingnya Literasi Media Sosial
Bertambahnya peristiwa dan kasus di
atas, seolah tidak pernah belajar dari kasus-kasus sebelumnya. Bagaimana
karakteristik media sosial yang berada di dalam cyberspace bisa menjadi bumerang bagi penggunanya (netizen). Media
sosial bukan hanya sebagai profil diri, ia tidak hanya sebagai arsip personal.
Ia juga sekaligus sebagai pintu masuk bagaimana teman-teman netizen dalam
jaringannya menjadi penyimpan arsip yang baik. Jika arsip-arsip yang diposting
netizen mengandung unsur negatif, konten yang kita ciptakan sendiri dipastikan
akan menjadi bumerang bagi user.
Kasus serupa yang muncul
berulang-ulang di media sosial menunjukan bahwa banyak netizen yang tidak
mengerti dan faham media sosial. Mereka hanya mengetahui soal menggunakannya
saja, sementara soal ‘apa’, ‘kenapa’, dan ‘bagaimana’nya sebagian dari netizen tidak
faham. Oleh karena itu, kampanye penggunaan internet sehat terus digalakkan
oleh pemerintah.
Melakukan literasi seperti ditulis
Iriantara (2009) berarti memproteksi
sekaligus menyiapkan generasi muda agar bisa hidup di dunia yang
sesak-media. Meminjam istilahnya, selain memanfaatkan media sosial juga bersikap
kritis dalam menerima informasi dengan memberikan bekal keterampilan agar mampu
hidup dengan aman dan nyaman di tengah-tengah gempuran berbagai aplikasi media
sosial. Oleh karena itu agar ia bisa hidup dengan selamat di media sosial, ia
harus memahami apa, kenapa, dan bagaimana media tersebut.
Bagaimana pun netizen hidup dari dan
oleh media siber, ia harus faham bahwa media tersebut bukanlah ruang hampa dan
imajinatif. Ia nyata, walaupun tidak konkrit. Ia tidak seperti game online,
relasi-relasi yang dibangunnya bisa hanya dengan komputer, jika gamenya off maka relasinya pun ikut mati.
Media sosial menjalin relasi dengan
manusia sungguhan yang berada di balik akun, jika netizen menyingung netizen lain, ia telah menyinggung
pengguna media sosial, bukan menyinggung akunnya. Artinya, apa yang dihadapinya
bukanlah layar kosong, bukan sekadar program algoritma yang menjelma menjadi media
sosial. Namun manusia hidup yang memiliki tingkat emosional. Merujuk pada
penggunaan tersebut, akun media sosial, meminjam istilah Francis Lim, telah
menjalankan fungsi kebertubuhan dari netizen. Ia merupakan perpanjangan tangan
dari netizen sendiri. Apa yang terjadi di media sosial adalah apa yang terjadi
pada manusia di dunia nyata.
Netizen tidak
berada di luar kehidupan manusia. Ia mengada bersama kita dalam ruang yang
sama. Ia hadir bersamaan dengan hajat hidup kita sehari-hari. Bahkan ia sendiri
adalah kita. Yang konkret dan yang maya melebur. Walaupun seorang netizen berada di balik akun, namun pada
dasarnya, sebagaimana halnya dunia nyata, seorang netizen bisa diketahui
keberadaannya. Walaupun melakukan simulasi ekstrem—betul-betul keluar dari
realitasnya—seorang pelaku kejahatan di media sosial bisa dapat dengan mudah
diketahui keberadaannya.
Dus, agar lebih berhati-hati terhadap
setiap kemungkinan akibat yang ditimbulkannya, kiranya perlu menggalakan
pentingnya literasi media sosial. Karena aplikasi teknologi siber akan mampu
melakukan pelacakan siapa netizen dan berada dimana netizen. Jagalah netiket
bermedia sosial!. ***[]
Salam kenal dari bunda. Suka sekali dengan isi paragraf yang ini: Netizen tidak berada di luar kehidupan manusia. Ia mengada bersama kita dalam ruang yang sama. Ia hadir bersamaan dengan hajat hidup kita sehari-hari. Bahkan ia sendiri adalah kita. Yang konkret dan yang maya melebur. Walaupun seorang netizen berada di balik akun, namun pada dasarnya, sebagaimana halnya dunia nyata, seorang netizen bisa diketahui keberadaannya. Walaupun melakukan simulasi ekstrem—betul-betul keluar dari realitasnya—seorang pelaku kejahatan di media sosial bisa dapat dengan mudah diketahui keberadaannya.
ReplyDeleteBunda akan selalu berhati-hati sekali mengeluarkan opini apa pun di media social. Terima kasih, konten postingan yang manfaat untuk disimak.
Terima kasih bunda sudi mampir dan membaca catatan ini, saya sedang belajar untuk tidak asal di media sosial. Sekalian belajar menahan emosi, sekalian belajar menulis. hasilnya jadilah artikel di atas.
DeleteSalam kenal dari anaknya ya Bunda
Harus tahu etika bersosial media ya ;)
ReplyDeletePostingan ini sebagai pengingat nih ^^
Iya teh, sama saya juga ngingetin diri sendiri yang kadang tidak terkontrol.
DeleteOpini
ReplyDeletehttp://coretanjess.blogspot.co.id/2017/12/seminar-sociopreneur-diselenggarakan-di.html?m=1