Dia Merusak Aqidah!
Sumber Foto: diskursusislam.com |
“Dia adalah salah satu yang tidak boleh disebutkan di mesjid-mesjid, karena telah melakukan pendangkalan aqidah”, ujarnya setelah memotong di tengah-tengah kultum yang baru saja disampaikan.
Sekitar setahun lalu, masih ingat dan terngiang, bagaimana seorang yang dipanggil ustadz dengan sedikit menghardik, menuduh seorang cendekiawan yang sering saya jadikan rujukan untuk beberapa keperluan dituduh telah melakukan pendangkalan akidah. Tentu saja, saya tidak bisa menjawabnya, karena, selain dia memiliki otoritas penuh di masjid tersebut, saya juga tidak diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban. Saya hanya merasa, bahwa saat itu saya telah dipermalukan. Walaupun pada akhirnya saya maklum, karena pandangan keagamaannya yang sempit.
Pengalaman ini bukan sekali saja saya alami. Pada saat berdiskusi dengan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Salah seorang yang sama-sama duduk sebagai narasumber juga sama menuduh beberapa cendekiawan seperti Cak Nur atau Dawam Raharjo sebagai orang yang murtad dan penyebar aliran Islam Liberal. Bahkan satu pembicara lagi menyebut para pembaharu dan mujahid itu kafir.
Mungkin, sedikit saya faham bagaimana cara mereka berfikir. Bagi mereka kebenaran hanya satu. Saya jug sepakat, tapi tidak disebut kebenaran jika hanya satu, itu namanya Maha Benar. Sementara kebenaran duniawi, walaupun agama—namun yang ada di dunia—kebenaran menjadi beragam. Teringat ucapan Al-Ghazaly yang dikutif seorag teman ‘Kebenaran itu ibarat sebuah cermin lalu dilemparkan dan terpecah berserakan’.
Jika cermin itu sebagai Kebenaran, maka pecahan-pecahan kaca itu adalah kebenaran pula. Hanya saja nilai kebenaran itu sudah tereduksi. Artinya, dalam pandangan keagamaan seseorang, jika diibaratkan cermin, ada celah dan peluang bahwa pandangan itu adalah benar karena bersumber dari satu kebenaran.
Sayang, itu hanya kiasan saya saja, teman-teman saya yang mendapatkan label ustadz, tapi berani mengkafirkan, tidak pernah menganggap itu sebagai kebenaran. Kebenaran adalah apa yang mereka yang yakini. Kebenaran adalah apa yang mereka dapatkan. Bukan yang diyakini oleh orang lain.
Padahal, mereka berada dalam habitat perguruan tinggi yang notabene harus mengedepankan sikap tabayun, kroscek, atau riset dulu jika ingin mengetahui sesuatu itu salah atau benar. Ini juga yang dikembangkan oleh Nuh AS, Sulaiman AS, dan Rosul Muhammad SAW sebelum mereka membuat ‘keputusan’ atau melakukan justifikasi, kroscek alias tabayyun.
Dalam hal ini tentu saya berpendapat dengan kaum pluralis bahwa satu Allah banyak versinya, banyak pemahamannya, banyak caranya. Banyak jalan menuju surga toh surga juga tidak satu, ada delapan surga. Berarti ada 8 jalan. Untuk mencapai surga itu juga banyak pintunya.
Semoga, jika saya salah, saya yang mendapat hidayah dan taufik, jika mereka salah, mereka yang medapatkannya.
Aya we jalmi nu kitu, nya, kang? Nice note. Jadi agak melek dgn hal-hal seperti itu. Saya sama suami juga kadang diskusi ttg orang-orang yang dimaksud. :)
ReplyDeleteseueur teh Beta, kaleresan we tumiba ka abdi hehe...
Delete