Iklan dan Publikasi Politik
Tahun 2013-2014 menjadi panggung bagi para aktor
politik. Panggung-panggung diciptakan dengan berbagai rupa sesuai dengan
tingkat kreatifitas dan kemampuan dana. Bagi yang tidak cukup dana, mereka
hanya memasang banner kecil di beberapa ruas jalan dan spanduk. Mereka juga
mulai silaturahmi ke pemuka kampung di berbagai tingkatan daerah sesuai dengan
target pemilih. Jumlah dan jenis
berbagai atribut panggung serta silaturahmi
pun memiliki berbagai tingkat, sekali lagi disesuaikan dengan kemampuan
keuangan sang aktor.
Di ranah media massa, terdapat dua jenis panggung
politik; iklan dan publikasi. Iklan merupakan bagian dari Komunikasi Pemasaran
sedangkan publikasi menjadi bagian dari strategi Public Relations. Bagaimana
efektifitas pesan kedua strategi tersebut dalam konteks komunikasi politik
dengan pendekatan marketing dan public relations? Ini sangat tergantung dari
kreatifitas pesan yang disampaikan.
Kita tengok pemilu periode lalu, partai Gerindra yang
masih bayi mampu membius massa hingga Gerindra bisa tembus ke 10 besar peserta
pemilu. Iklan-iklan Gerindra memiliki karakter dan ideologi yang kuat. Prabowo
juga yang menjadi bagian tak terpisahkan dari iklan tersebut ikut terdongkrak
popularitasnya walaupun kalah saat disandingkan dengan Megawati. Iklannya tidak
mampu mengalahkan opini yang dibangun media atas publikasi Demokrat dengan
keberhasilan program-program pemerintahan SBY. Hingga mengantarkan Demokrat
menjadi pemenang pemilu 2009 dan SBY mendapatkan kembali kekuasaannya sebagai
Presiden. Belakangan, Demokrat plus SBY mendekati Jawa Pos Grup untuk melakukan
publikasinya. Wajar jika pada akhirnya Dahlan Iskan menjadi salah satu jajaran
di Kabinet.
Ini juga terjadi terhadap wacana pencalonan presiden
menjelang pemilu 2014. Publikasi yang massif hampir oleh semua media—khususnya
televisi membuat Jokowi melesat jauh popularitasnya dibandingkan dengan calon
presiden yang lain. Sementara Aburizal Bakri yang terus menerus melakukan
komunikasi politik melalui iklan sangat lambat langkahnya menuju popularitas.
Dahlan Iskan telah lebih dahulu punya popularitas yang dikonstruk oleh jaringan
media miliknya, Jawa Pos Group (JPPN).
Tingkat pembiusan dari publikasi tampaknya disadari
betul oleh Gita Wirjawan, salah satu peserta konvensi capres demokrat. Ia pun
membuat media publikasi sendiri di ranah siber. Ia memanfaatkan media sosial
untuk mengiklankan publikasinya. Ia juga beriklan melalui media massa—televisi.
Lantas bagaimana efektifitas kedua strategi komunikasi
politik tersebut? Dalam banyak catatan dan literatur penelitian komunikasi,
Iklan memiliki reputasi yang buruk. Iklan hanya memiliki tingkat efektifitas
sebesar 5-15 % sedangkan publikasi bisa mencapai 85 %. Reputasi yang timpang
antara iklan dan publikasi. Idi Subandi menyebutkan iklan sebagai bagian dari
propaganda kebohongan, the lie of
ideology. Kekuatan publikasi mampu menaikan dan menjatuhkan seseorang,
wajar jauh sebelum industri media berkembang, Napoleon Bonaparte sangat
ketakutan terhadap publikasi,”Aku lebih
takut kepada empat surat kabar yang terbit di Paris daripada seratus serdadu
dengan senapan bersangkur terhunus.
Publikasi dimanfaatkan betul oleh Surya Paloh untuk
mendongkrak partai yang baru dibentuknya, Nasional Demokrat. Citranya melampaui
partai-partai yang telah lebih dulu muncul, seperti Hanura atau PBB. Publikasi
Demokrat lebih dominan dibandingkan iklan politiknya. Namun tidak terlalu
disadari oleh Aburizal Bakri yang sebaliknya, iklannya lebih dominan
dibandingkan publikasinya. Belakangan, setelah Hari Tanoe bergabung dengan
Hanura, Hanura juga mulai melakukan publikasi politik—selain iklan WIN-HT. Belakangan
program acara televisi juga dijadikan sebagai panggung oleh kedua orang
tersebut, karena Hari Tanoe notabene sebagai pemiliknya. Mereka mengemas
programnya melalui kuis kebangsaan WIN-HT.
Lantas bagaimana dengan partai-partai lain yang tidak
mendapatkan porsi publikasi dari media-media nasional, entah karena tidak
memiliki media, tidak mempunyai kedekatan dengan media atau karena tidak sadar
pentingnya publikasi positif. Dalam konstruksi pemberitaan, suatu event atau
program dapat menjadi berita dan publikasi jika program tersebut memiliki nilai
berita. Nilai berita inilah yang menjadi ideologi awak media agar bisa tampil
di halaman media massa baik cetak, elektronik ataupun online. Nilai-nilai berita tersebut adalah tingkat kepengeruhan
terhadap publik (magnitude), aktualitas, kedekatan secara psikologi
atau geografis (proximity), ketokohan sumber berita (prominence), menyentuh perasaan publik (human interest), konflik, peristiwa yang
tidak biasa (unusualness) tidak biasa
hingga yang melibatkan isu seksual.
Mendapatkan publikasi, atau dengan bahasa lain iklan
gratis yang memiliki reputasi baik memang tidak mudah. Wajar jika pada perhelatan
Pilgub Jawa Timur, Eggi Sudjana merasa dianaktirikan oleh media nasional karena
tidak mendapatkan porsi pemberitaan. Ia menuduh media telah melakukan
diskriminasi terhadap dirinya. Persoalannya adalah pada soal nilai berita.
Nilai berita sebenarnya dapat diciptakan dan dicari.
Karena yang memiliki otoritas untuk menentukan apakah peristiwa tersebut
memiliki nilai berita atau tidak adalah awak media. Oleh karena itu, penting
bagi aktor-aktor politik untuk membangun hubungan dengan media (media relations). Media relations biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan mapan
yang sadar pentingnya pemberitaan positif untuk menaikan reputasi perusahaan
dan produknya.
Terdapat banyak model untuk membangun hubungan dengan
media yang ditawarkan dan hasil penelitian dari pakar-pakar Public Relations,
namun yang paling mungkin dan umum dari cara-cara tersebut bagi seorang aktor
politik adalah; Pertama, mendekati
secara personal dan membangun hubungan emosional dengan awak media yang bisa
menggali nilai-nilai berita yang dimiliki sang aktor. Kedua, membangun kerja sama yang saling menguntungkan dengan
institusi media seperti memasang iklan dengan bonus publikasi dari media. Ketiga, model integrasi marketing dan
public relations melalui advertorial. Advertorial
atau infotorial merupakan program publikasi berbayar di media massa. Dengan
kata lain, iklan yang dibuat dalam bentuk berita atau artikel. Keempat, publikasi dilakukan secara
mandiri melalui publikasi daring
tanpa harus melalui media massa. Membuat media sendiri dan dengan pendekatan
media sosial seperti dilakukan oleh Gita Wirjawan. Kelima, melalui buzzword.
Untuk mendapatkan buzzword, sama halnya dengan ketiga pendekatan di atas,
seorang aktor harus memiliki hubungan emosional dengan blogger sebagai pencerita yang jujur atau pun memberikan stimulasi
melalui program event blogger.
Model pendekatan publikasi melalui media relations
tersebut menjadi hal yang lumrah di era berkembangnya industri media termasuk
media daring. Walaupun tidak semua media dapat dengan mudah melakukan
kerjasama-kerjasama tersebut. Apalagi didorong oleh kepentingan yang pragmatis.
Oleh karena itu, masyarakat harus betul-betul membuka mata dan pikiran agar
tidak terjebak dengan pencitraan melalui publikasi terlebih iklan yang
bombastis yang jelas-jelas sebagai bagian dari propaganda kebohongan.
Sedih lihat Indonesia yang sekarang :'(
ReplyDeleteSalam,
Asya