Perempuan Ideal dalam Konstruksi Media
Era
berlimpahnya media, merupakan symbol perayaan puncak berjayanya citra. Betapa
tidak, melalui media setiap orang berlomba-lomba membangun citra idealnya
masing-masing, baik berkaitan dengan citra politik ataupun citra ekonomi.
Seperti dapat dilihat di banyak media, baik media cetak, elektronik ataupun
yang kita sebut sebagai new
media (internet). Para aktor politik misalnya sudah mulai memoles
dirinya melalui citra-citra yang ditampilkan melalui media-media tersebut. Kita
dapat melihat di jalanan, pada aktor politik begitu semangatnya untuk memasang banner photo diri dalam
ukuran yang super besar, hampir ada di setiap sudut kota.
Padahal
jika dicermati, photo-photo tersebut tidak lebih bermakna dibandingkan keharusan
mereka menunaikan kewajiban untuk mengentaskan kemiskinan dan mendorong
terselenggaranya pendidikan yang murah. Apa yang mereka lakukan tidak terlepas
dari ideology budaya media yang mulai menjangkiti mereka, mereka gandrung
terhadap kejayaan citra yang sekarang sedang merajai pentas politik. Namun
citra ini telah melukai realitas yang sebenarnya karena melenceng dari panggung
kehidupan yang seharusnya. Lantas ia pun berubah menjadi apa yang disebut oleh
penulis buku dalam “Sirnanya Komunikasi Empatik” sebagai ideology kebohongan (the ideology of lie).
Citra mereka pada akhirnya tercerabut dari gambaran realitas yang sebenarnya.
Barangkali hal ini pulalah yang dimaksud oleh Idi Subandi sebagai kekerasan
simbolik.
Kekerasan
simbolik muncul dalam bentuknya yang sangat halus, seperti eksploitasi tubuh
perempuan dalam iklan. Ia menjadi gaya hidup dalam kehidupan bermedia,
kejahatan begitu transparan dalam budaya media, horror pun dijadikan sebagai
hiburan baru dalam budaya media kita. Ia pun dapat mengancap siapa saja para
konsumennya yang begitu mendalami tontonan-tontonan tersebut. Hal ini lah yang
disajikan dalam buku “Kritik Budaya Komunikasi” karya Idi Subandi Ibrahim.
ISI BUKU
Buku
ini dibagi menjadi empat bagian yang masing-masing bagian berupaya menunjukan
perbagai krisis budaya komunikasi yang berlangsung dalam ruang publik, yang
sekaligus juga menjadi sinyal mulai sirnanya kemampuan kita sebagai bangsa
dalam berkomunikasi secara empatik.
Bagian
pertama, buku ini membahas persoalan krisis budaya dalam ruang publik.
Bagaimana wajah industri berita pasca Orde Baru, bagaimana media massa berperan
dalam masyarakat portmodern, dan bagaiamana mediatisasi krisis di ruang publik
yang sudah menjadi semacam tontonan krisis. Krisis budaya media menjadi
gambaran dari krisis umum budaya dalam ruang publik. Bagian ini mengetengahkan
gagasan jurnalisme hijau dan jurnalisme untuk kaum miskin berhadapan dengan
krisis lingkungan, kemiskinan, pengangguran, dan budaya masyarakat serta
struktur kekuasaan yang belum sepenuhnya siap menghadapi pelbagai krisis lokal,
nasional dan global yang terjadi. Bab ini ditutup dengan kritik terhadap budaya
korupsi dengan memfokuskan pada potensi media sosial baru, facebook. Tak
disangsikan, penggunaan media sosial seperti facebook yang lagi trendi ternyata
telah ikut mendukung gaya hidup sebagian kalangan masyarakat Indonesia, yang
hidupnya berpuak-puak, berkelompok-kelompok dalam ikatan pertemanan. Bab ini
menunjukan kuatnya kecenderungan pemberitaan yang berpusat pada pribadi atau
orang diantaranya disebabkan oleh sejumlah faktor seperti kecenderungan media
dan jurnalis untuk melakukan personalisasi, emosionalisasi, dramatisasi, dan
sensasionalisasi terhadap narasumber dan peristiwa, dengan tujuan menarik
perhatian khalayaknya.
Sementara
bagian kedua buku ini, membahas fenomena budaya kekerasan dalam masyarakat yang
telah menjelma menjadi media kekerasan dalam ruang publik. Media dilihat
memiliki kekuatan tertentu sebagai saluran aneka corak kekerasan budaya dan
budaya kekerasan yang terjadi. Pada bagian ini fokus pembahasan dicurahkan pada
isu munculnya gejala teater nekrofilia, terorisme, dan propaganda yang tak
jarang memanfaatkan media untuk publikasi dan sepak terjang mereka biasanya
tercermin begitu telanjang di media. Bagian ini juga mengangkat beberapa sebab
akar kekerasan dan menyoroti beberapa corak baru kekerasan yang telah menjadi
komoditas hiburan. Kekeasan di televisi dilihat sebagai paket tontontan yang
sengaja dikemas dengan bingkai infotainment.
Sedangkan
bagian ketiga buku ini, menyoroti budaya televisi dan fenomena meruyaknya
budaya hedonis dalam ruang publik yang diperparah oleh kekisruhan hedonisasi
gaya hidup via televisi. Bagian ini membahas fenomena munculnya televisi
hedonis, komodifikasi budaya di televisi, dan mengangkat isu-isu seperti krisis
demokrasi, krisis cultural, dan krisis spiritual yang berlangsung oleh karena
belum berfungsinya televisi sebagai bagian dari demokrasi elektronik.
Bagian
ke empat buku ini membahas isu mutakhir perang budaya citra yang tengah berlangsung
di ruang publik. Pada bagian akhir ini isu yang dikupas adalah perbincangan di
seputar citra perempuan, media anak, dan ideology iklan, dan bangkitnya gaya
hidup baru Alternatif, yang muncul di tengah kancah perang media. Bagaimana
media mengonstruksi budaya citra di ruang publik dan bagaiamana ia beroperasi
dalam merembesi kesadaran kita juga diketengahkan di sini.
PEREMPUAN DALAM KONSTRUKSI MEDIA
Pada
bagian ketiga buku inilah penulis mengupas tuntas tentang bagaimana media
mengonstruksi perempuan ideal melalui berbagai macam tayangan dan tontotan
iklan yang melibatkan perempuan. Menurutnya, saat ini perempuan dibombardir
oleh citra-citra “perempuan ideal” yang dikonstruksi melalui dan oleh media.
Citra ideal perempuan agar selalu tampil memesona menjadi tema sentral iklan
media popular.
Menurut
pandangan Idi Subandy Ibrahim walaupun citra perempuan memiliki fungsi sebagai
cermin, sayangnya cermin tersebut tidak menggambarkan kealamian dan
keautentikan dunia wanita, karena tak jarang ia malah mempromosikan kehidupan
yang tidak realistis, alias impian atau ilusi belaka. Hal inilah yang membuat
wanita cemas dengan ketidakidealan citranya saat dibandingkan dengan
citra-citra iklan yang ada. Menurut penulisnya, hal ini yang menyebabkan banyak
wanita mengalami gangguan Anorexia
Nervosa, gangguan makan yang disebabkan oleh kecemasan berlebihan
terhadap peningkatan berat badan kerana pencitraan diri yang menyimpang dan
tidak sehat sehingga kehilangan hawa nafsu makan yang membahayakan.
Citra-citra
yang mendistorsi realitas tersebut perlahan tapi pasti menjadi standar budaya
mengenai kecantikan perempuan yang mengendap dalam kesadaran kita. Standar
inilah yang kemudian menggiring perempuan ke perburuan kecantikan yang tanpa
akhir dalam siklus pencarian kepuasan, yang sebenarnya hanya menceburkan diri
ke dalam penjara baru kesepian dan alienasi yang dalam. Hal ini pula yang
menyebabkan ketersiksaan batin yang dalam jika perempuan tidak mampu memenuhi
standar ideal yang dituntut oleh berbagai media. Sehingga tidak sedikit
perempuan yang menggunakan silicon untuk memenuhi payudara ideal, menggunakan
obat-obatan atau cream pemutih
wajah, penggunaan botox, operasi plastic agar wajah dan tubuh mereka memenuhi
tuntutan citra ideal perempuan dalam media. Hal-hal yang dianggap remeh temeh
pun menjadi hal yang sangat penting, kuku, alis, bulu, bibir, betis hingga
urusan libido dan sex kini menjadi salah satu perbincangan yang menjadi standar
ideal seorang perempuan. Pada sisi lain industri mode menjadi perkara bagaimana
cara berpenampilan kian menjamur bersamaan dengan kehausan orang akan budaya
citra diri yang saat ini sudah mulai bergeser secara mendasar kepada tubuh.
Dalam pandangan Idi Subandy Ibrahim, hal ini merupakan pemujaan yang nyata
terhadap tubuh.
Dalam
kritiknya tersebut, Idi Subandy Ibrahim bombardier tentang iklan perempuan
ideal dalam berbagai macam ragam kehidupan perempuan harus dipahami sebagai
bagian signifikan dari pengukuhan ideology gender dan kapitalisme yang
menjadikan perempuan sebagai objek sekaligus komoditas. Hal inilah yang
ditangkap oleh Idi Subandy Ibrahim sebagai “kekerasan” wajah baru terhadap
perempuan.
Kekerasan
tersebut dalam pandangan Idi menemukan coraknya dalam bentuk kekerasan
simbolik. Kekerasan simbolik menemukan tempatny yang paling subur dalam media,
ia tak tampak tapi terasa seperti distorsi, pelencengan, pemalsuan, plesetan.
Kekerasan simbolik tersebut muncul dalam bentuk penggunaan bahasa dan foto atau
gambar yang memosisikan wanita dalam stereotype kecantikan dan tubuh, bukan
daya pikirnya. Ia disampaikan melalui bahasa-bahasa yang merendahkan kaum
perempuan seperti dalam kasus perkosaan. Media lebih menyorot bagian-bagian
tubuh wanita secara mendetail seolah-olah bahwa tubuh tersebut adalah barang
seni yang harus disorot tanpa rasa empati terhadap saudara korban atau
perempuan lainnya. Dalam kasus tersebut, seringkali korban dibahasakan sebagai
“digagahi”, padahal peristiwa tersebut sama sekali tidak “gagah” justeru
menyakiti.
Menurut
pandangan Idi, corak kekerasan lain yang lebih halus terdapat dalam bentuk
pemajangan atau display tubuh
perempuan sebagai objek tontotan untuk memenuhi hasrat laki-laki dan sebagai
objek imajinasi serta fantasi seksual laki-laki. Seks dalam berbagai macam
iklan menjadi bumbu penyedap, bahkan dalam iklan yang sama sekali tidak
berkaitan erat dengan dunia perempuan, bagian tubuh perempuan menjadi daya
pikat penonton.
Dalam
konteks inilah, dalam pandangan Idi, perempuan yang dijadikan sebagai male gaze menempatkan
dirinya sebagai objek tatapan pria. Dengan kecantikan paras dan keindahan
tubuhnya sebagai modal untuk tampil di sampul atau halaman media. Mereka, para male gaze, sadar atau
tidak sadar telah merelakan dirinya menjadi bagian dari korban kekerasan
simbolik media. Kekerasan tersebut juga telah melakukan invasi ke dalam ruang
keluarga lewat iklan dan pelbagai mata acara di televisi. Kekerasan simbolik
terhadap perempuan kini bahkan dipertontonkan menjadi santapan pagi dan pengisi
waktu senggang di kala kita tengah melepas lelah di malam hari setelah seharian
kerja. Maka tidak heran jika wacana seperti inilah yang akan mewarnai era baru
“seksploitasi media”.
Bahkan
kini, dalam pandangan Idi, era perayaan kebudayaan pop, telah mampu memadukan
dua dunia yang semula sangat diametral antara yang sacral dan yang profane. Di
media mereka tidak hanya mempertontonkan mistifikasi tubuh secara telanjang dan
vulgar, tapi juga mereka memadukan kekuatan kesakralan dan spiritualitas tubuh
itu dengan keprofanan dan oleh karena itu barangkali, tidak sedikit artis yang
memilih untuk tampil sensual, sekaligus saleh. Tampil erotis sekaligus
spiritual. Biar suka diskotek, tapi suka sembahyang dan dermawan. Semua campur
sari tersebut menurut pandangan Idi sebagai sebuah siasat untuk tetap punya
penggemar dalam perburuan popularitas dan capital dalam mesin giling
kapitalisme hiburan global.
Melalui
tulisannya tersebut, Idi mengajak menyadarkan pembaca akan beratnya tantangan
terhadap spiritualitas yang akan mengancam keberagamaan kita di dalam
masyarakat yang kian permisif dan merelatifkan nilai.
Sebagai
sebuah kritik, buku tersebut cukup layak untuk dijadikan referensi di era
teknologi yang begitu gandrung terhadap citra dan pencitraan. Bahwa pada
dasarnya, Idi mengingatkan, bahwa citra bukan segala-galanya. Idi pun hendak
mengingatkan bahwa citra bukan idealitas itu sendiri, karena sudah mengalami
distorsi. Citra wanita yang sering didengung-dengungkan oleh media, hanyalah
bentukan dari kepentingan kapitalisme melalui media.
PENUTUP
Melalui
bukunya ini penulis ingin menyampaikan berbagai macam kritik dari krisis budaya
komunikasi dan media yang terjadi dalam ruang publik di Indonesia kontemporer.
Penulis buku ini mengajak pembacanya untuk membaca lebih cermat tentang
perilaku, sikap, tindakan serta tutur kata yang ditampilkan oleh media. Lebih
jauh ia mengajak pembaca untuk secara cermat untuk melawan hegemoni budaya yang
dominan namun negatif yang sedang menggerogoti kesadaran masyarakat penonton
Indonesia diantaranya masalah budaya feodal, budaya instan, budaya kulit,
budaya boros, budaya apatis, budaya konsumtif, budaya sampah, budaya terabas,
dan budaya kerjasama. Ia mengajak untuk secara sadar budaya-budaya yang
ditampilkan media-media kita yang sudah terkooptasi oleh budaya kapitalisme
melalui 10 sikap budaya positif yang berkebalikan dari budaya di atas yaitu
melalui budaya egaliter, budaya kerja keras, budaya isi, budaya hemat, budaya
empati, budaya produktif, budaya bersih, serta budaya kompetisi untuk mengubah
wajah generasi masa yang akan datang.
Post a Comment for "Perempuan Ideal dalam Konstruksi Media"
Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...