"Advokat" Era Digital
Setelah
menjadi bulan-bulanan pengadilan, akhirnya kasus “sandal jepit” yang
menimpa AAL ditutup dan AAL sendiri divonis bersalah oleh pengadilan
dengan dikembalikan lagi kepada orang tuanya. “Bebas”nya AAL walaupun
divonis bersalah, salah satunya didorong oleh banyaknya dukungan dari
masyarakat untuk membebaskan AAL.
Jika
menengok perjalanan panjang AAL sebelum akhirnya dibebaskan, salah satu
peran yang tidak bisa kita pungkiri adalah adanya peran aktif media
dalam melakukan advokasi terhadap AAL, seperti yang pernah terjadi pada
kasus Prita dan Darsem. Advokasi yang dilakukan oleh media tidak
terlepas dari peran advokat- advokat era digital.
Jika
merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003), advokat adalah ahli
hukum yang berwenang sebagai penasihat atau pembela perkara di
pengadilan, ia adalah seorang pengacara. seorang pengacara memiliki
tugas dan fungsi untuk melakukan pembelaan atau advokasi.
Dalam
konteks manusia digital, seorang advokat tidak mesti ahli hukum yang
memiliki latar belakang formal sebagai pengacara yang dibayar untuk
melakukan pembelaan. Ia adalah seorang “blogger” yang memiliki naluri
dan nurani untuk melakukan pembelaan terhadap kaum tertindas dan lemah,
baik ketika berhadapan dengan hukum, ekonomi, ataupun pendidikan.
Bagi
seorang aktifis, menjadi advokat adalah melakukan berbagai upaya
pembelaan terhadap orang-orang yang lemah ketika berhadapan dengan
berbagai kasus tanpa melanggar aturan-aturan yang ada, dari awal kasus
muncul hingga kasus selesai atau bebas dari tuntutan hukum.
Kekuatan Advokasi Berjejaring
Salah
satu keuntungan bergaul dengan dunia maya adalah terhubungkannya
manusia digital dari satu dunia yang satu dengan dunia lain yang sangat
berbeda. Kita dapat terhubung dengan budaya yang awalnya sama sekali
tidak kita kenal. Kita pun dapat terhubung (connected) dengan beragam jenis manusia, dari berbagai stratifikasi.
Berkaitan dengan kasus yang penulis sebutkan di atas, sebelum akhirnya diangkat ke mainstream media (televisi/ Koran/ media online),
telah ramai dibicarakan oleh manusia-manusia digital (blogger) melalui
jejaringnya masing-masing. Kekuatan pembelaan melalui jejaring mampu
menularkan emosi kepada setiap blogger yang telah terhubung, diajak
terhubung dan membacanya sehingga melahirkan emosi pembelaan yang baru.
Penyebaran emosi ini menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Nicholas A. Christakis dan James H. Flower di Amerika Serikat (Connected,
2010), karena pada dasarnya emosi manusia menyebar dari orang ke orang
melalui dua sifat interaksi; ia memiliki kecenderungan meniru orang lain
dan mengalami keadaan internal yang sama dengan orang-orang yang
mempropagandakannya. Walaupun dalam kasus penelitian yang dilakukan oleh
Cristakis dan James cenderung memiliki makna negatif sehingga disebut
sebagai penyakit psikogenik massa ( mass psychogenic illness/ MPI), namun dalam konteks ini, penularan penyakit tersebut menjadi mujarab untuk membebaskan seseorang dari jeratan hukum.
Mass psychogenic illness
dapat memberikan efek emosi yang bisa menyebar jauh dan lebih luas,
melakukan pembelaan terhadap seseorang yang pantas untuk dibela mengalir
melalui ikatan-ikatan jejaring sosial. Penyebaran emosi ini akan
menjadi gelombang di samudera luas hubungan sosial manusia sehingga
orang-orang yang terhubung dapat merasakan dan memiliki perasaan emosi
yang sama dalam arus pembelaan. Dalam konteks komunikasi,
sifat ini memenuhi salah satu fungsi komunikasi massa yaitu menyatukan
perasaan dan sikap massa atau popular dengan kohesi sosial. Media dapat
mendorong masyarakat untuk bersatu.
Karakter
pembelaan dengan gelombang emosi yang sama dapat kita temukan dalam
Kasus AAL. Melalui proses yang cukup panjang dan lama, advokasi itu
dilakukan dari proses awal pewacanaan, seruan dan ajakan melalui
berbagai macam tulisan simpatik dan advokatif hingga aksi nyata
masyarakat untuk mengumpulkan sandal sebagai symbol sindiran hingga
turun tangannya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Begitupun
dengan kasus Prita dan Darsem. Sebuah aksi tidak mungkin terjadi tanpa
adanya pewacanaan melalui tulisan simpatik. Dan inilah cikal bakal
advokasi dari advokat di era digital, sebuah tunas advokasi yang
disuarakan oleh para blogger melalui tulisannya. Bahkan seperti dilansir
oleh “PR Print” edisi Sabtu (14/01/12), momentum advokasi terhadap AAL
mendorong KPAI untuk meminta penghapusan penjara anak-anak kepada
Presiden. Momentum ini tentu sedikit banyak merupakan salah satu hasil
kontribusi dari advokat-advokat era digital.
Menjadi Bangsa Digital
Kasus
yang terselamatkan tersebut, hanya sebagian kecil kasus-kasus yang ada.
Masih banyak kasus-kasus lain yang belum mendapatkan porsi perhatian
dari advokat digital, terlebih dengan kasus yang langsung
dihadap-hadapkan dengan Negara karena berkaitan dengan
perundang-undangan seperti kasus tanah adat yang telah memakan korban
seperti terjadi di Mesuji.
Sebagai
bagian dari bangsa, kita tentu memiliki nurani kebangsaan yaitu nurani
yang berpihak kepada nurani rakyat kebanyakan. Budayawan Jakob Sumardjo
(PR, 14/01/12) memandang bahwa eksistensi Negara saat ini dipandang
tidak banyak berpihak kepada masyarakat yang menjadi bagian dari bangsa
sebagai sumber kekuatan moral. Kenyataannya adalah bahwa Negara
seringkali memosisikan sebagai penguasa di hadapan Bangsanya, karena
rakyat seringkali menolak keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh rapat
marathon dalam menghasilkan peraturan. Rakyat seringkali tidak berkutik
ketika berhadapan dengan Negara.
Dalam konteks kasus-kasus yang menghadapkan secara langsung antara masyarakat/ rakyat sebagai bagian dari bangsa dengan Negara,
rupanya Negara masih belum sadar bahwa kekuatan jejaring dalam dunia
maya mampu mengendorkan kekuatan Negara. Negara tidak pernah belajar ke
Negara tetangga di Timur tengah bahwa kejatuhannya digerakan oleh
advokat-advokat digital yang berjejaring. Negara tidak pernah sadar
bahwa advokat dunia digital tidak pernah menerima suap karena ia
digerakan oleh nurani kebangsaannya. Nurani para advokat digital akan
tetap menyala selama Negara tidak mendengarkan bangsanya sendiri.
Dari
kasus-kasus yang ada, rasanya tidak berlebihan jika memperbaiki bangsa
ini bisa dengan menjadikan bangsa ini sebagai bangsa digital. Menjadikan
bangsa digital berarti menyebarkan energy positif ke sesamanya melalui
ruang-ruang maya agar tetap memiliki memiliki nurani kebangsaan. Karena
nuranilah yang dapat menyelamatkan bangsa dari berbagai bencana moral.
“PR” 30/01/12
Post a Comment for ""Advokat" Era Digital"
Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...