Sihir William, Hilangnya Kritisisme Media
Pernikahan William dan Kate Middleton disebut-sebut sebagai pernikahan terbesar abad ini. Kebesarannya telah mampu menyihir dunia dan menjadikannya sosok yang diagung-agungkan di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Jauh-jauh hari sebelum pernikahan keduanya, media di Indonesia telah menggembar-gemborkan rencana tersebut, bahkan ketika pernikahan keduanya berlangsung, dua televisi berita Indonesia, TV One dan Metro TV menyiarkannya secara live. Kedua televisi tersebut juga mengutus reporternya untuk meliput acara pernikahan keduanya, walaupun dari luar gedung.
Usai acara pernikahan, tidak hanya kedua televise berita tersebut yang mengulang-ulang acara pernikahan tersebut, namun juga televisi lain. Selain menjadi berita utama, juga menjadi topic utama infotainment sampai vieuws ini ditulis.
Jika saja infotainment menyiarkan secara bombastis acara pernikahan William, saya pikir wajar, karena William sebagai orang ‘besar’ maupun Kate Middleton yang rupawan memiliki pesona selebritas. Liputan pernikahan dan pesona keduanya tentu menjadi berita yang sangat menarik bagi acara infotainment. Namun keanehan bagi saya secara pribadi terjadi ketika dua televisi berita yang dianggap kritis terhadap berbagai kebijakan telah tersihir oleh pesona selebritas pernikahan William dan Kate.
Saya jadi teringat zamannya Presiden Soeharto yang selalu menayangkan acara live dan menjadikan setiap moment keluarga Presiden menjadi Headline berita. Namun tentu itu sangat wajar, karena di samping karena TVRI berada dalam control pemerintah, Presiden Soeharto adalah Presiden Rakyat Indonesia yang diharapkan mampu merubah nasib bangsa Indonesia melalui kebijakan-kebijakannya. Ia pun adalah sosok yang diharapkan mampu melindungi masyarakat.
Sebelum pernikahan William dan Kate, di Indonesia pun sebenarnya terjadi perhelatan akbar antara Presiden dan Menteri Hatta Rajasa, yaitu mengikat kedua keluarga dengan pertunangan kedua anaknya. Televisi di Indonesia tidak secara heboh menyiarkan acara pertunangan tersebut, walaupun menjadi berita utama, baik dalam media cetak, televisi ataupun online. Padahal bisa saja televisi swasta di Indonesia melakukan siaran langsung walaupun tidak dari dalam ruangan setidaknya laporan khusus langsung dari areal rumah Hatta Rajasa.
Pernikahan Pangeran William dan Pertungan Ibas memang dua konteks yang berbeda, yang pertama sudah benar-benar menyatukan keluarga, sementara yang satu baru merencanakan mengikat keluarga. Namun jika dilihat dari sisi kepentingan Media di Indonesia yang menjadi perpanjangan panca indra dari masyarakat, seperti kata Marshall Mc Luhan.
Seharusnya Pertungan Ibas, karena menyangkut pula kepentingan masyarakat Indonesia dimana pertunangannya merupakan penyatuan dua keluarga pembesar negeri ini. Media di Indonesia harusnya mampu menempatkan kepentingan tersebut bahwa pertunangan Ibas lebih penting dari pada pernikahan William dan Kate Middleton. Namun apa yang terjadi, media kita seolah menjadi bagian dari keluarga Inggris, turut menularkan biusnya terhadap masyarakat tentang kebesaran keduanya seolah media kita merupakan media kerajaan Inggris.
Merujuk pada teori Agenda Setting Media, perilaku media tersebut mengarahkan bahwa pernikahan William yang tidak ada sangkut paut dengan masyarakat Indonesia lebih penting dari pertunangan Ibas termasuk masalah-masalah lainnya di Indonesia. Penonjolan ini akan mengarahkan masyarakat berfikir demikian dengan apa yang dipikirkan dan diperbuat oleh Media.
Kritisisme Media, kemana?
Tentu saja, agenda setting yang telah dilakukan oleh media tersebut, turut mengarahkan dan membius masyarakat Indonesia, para artis tersihir, kita pun sama demikian. Agenda setting akan kebesaran pernikahan Pangeran William tersebut telah menumpulkan kritisisme media terhadap apa-apa yang dianggap penting dalam agenda negeri kita, sedikit menggeser permasalahan NII yang sedang menjadi topic hangat di Media akhir-akhir ini.
Di tengah bius pernikahan William terhadap media dan masyarakat dunia dan Indonesia. Ada acara yang cukup unik dalam Trans 7, yang mewawancari Azis Gagap dan Parto di tengah kesibukan syuting Opera Van Java dalam bentuk Parodi. Dalam wawancara tersebut Azis memposisikan sebagai sahabatnya William yang diminta hadir dalam pernikahan tersebut, namun dalam akhir wawancaranya ia mengatakan bahwa ia adalah pemulung di London sana dengan penghasilan 2 Millyar per bulan.
Pernyataan Azis tersebut, bagi saya sendiri seolah menampar muka media dan masyarakat Indonesia yang overacting serta tersihir akan pernikahan pembesar Inggris tersebut. Betapa tidak, pernyataan tersebut dalam persfektif Komunikasi Kritis merupakan symbol yang memunculkan makna tertentu.
Dalam (persfektif) masyarakat yang terkotak-kotakan, feodal dan kapitalistik, pemulung adalah masyarakat yang paling tidak dilirik oleh para pembesar. Sekaya apapun pemulung, tetap saja ia adalah seorang pemulung yang tidak akan pernah dihargai oleh pejabat atau bangsawan.
Tentu saja, kita dalam posisi tersebut Ibarat ‘Pemulung’, yang selalu menjadikan Barat sebagai trendsetter termasuk barangkali Inggris dengan berbagai isi di dalamnya, apapun yang berasal dari dunia yang dianggap modern dan maju serta besar selalu ditiru oleh bangsa ‘pemulung’. Padahal tentu saja, di negeri kita pun tersimpan cukup potensi yang menunjukan bahwa kita adalah bangsa yang kaya. Oleh karena itu sebesar dan sekaya apapun kita, tetap kita tidak akan pernah dilirik oleh Inggris jika kita terlalu mengelu-elukan kebesaran mereka yang tentu kita bukan menjadi bagian dari Negera Inggris, kecuali jika kita adalah salah satu bagian dari Koloninya/ bekas jajahannya dan selalu ingin menempatkannya demikian.***[dr]
Post a Comment for "Sihir William, Hilangnya Kritisisme Media"
Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...