Menggugat Liberalis, Mendobrak Fundamentalis


Sejarah merupakan pertentangan para pemikir dan penganutnya; sejak Thales hingga Aristoteles, dari Descartes hingga Agustin, dari Konfutse hingga Laotse, dari Harun Nasution hingga Rasyidi. Pertentangan antara Akal dan Iman, pertentangan antara akal aktif dan akal pasif.
Satu fenomena yang menarik adalah pertentangan ini terjadi juga di Kompasiana. Rumah yang semua orang menginginkan menjadi rumah yang sehat, namun sebagian kompasianer sudah menganggap tak menarik lagi, karena ada diskusi-diskusi yang mengarah pada SARA dan menyerang secara pribadi, bukan lagi pemikirannya. 

Liberalis merupakan orang yang cenderung mengagungkan hasil olah fikir tanpa didampingi oleh teks kitab suci, sementara Fundamentalis yang saya maksud adalah terlalu mengedepankan teks; baik teks kitab suci atau teks-teks hasil pemahaman para pemikir terdahulu yang kemudian dijadikan salah satu penguat dalam argumentasi tulisan dan komentarnya.

Jika saya ditanya, kemanakah kecenderungan arah saya dalam menjalankan aktifitas beragama sehari-hari? Tentu saya akan menjawab kedua-duanya, saya liberalis sekaligus fundamentalis, menggunakan akal sekaligus menjadikan sandaran akan kitab suci. Mengapa demikian? Karena saya memiliki pandangan bahwa Akal diberikan oleh Allah untuk mengelaborasi kitab suci yang pasif sehingga menjadi satu hal yang dinamis aktif. Mengelaborasi dan menafsirkan sesuai dengan konteksnya, seperti kata seorang pemikir Islam Inggris, Teks akan sempurna jika diapresiasi sesuai dengan konteks. Demikianlah saya berpegangan.

Teks harus diapresiasi oleh akal agar tidak menjadi dogma yang mati, iman yang tumpul, tetapi menjadi hidup dan dinamis. Namun juga Akal ketika menafsirkan agama harus memiliki sandarannya yaitu teks kitab suci agar tidak keluar dari konteks agama itu sendiri.

Oleh karena itulah dalam beragama seseorang harus selalu dapat menjadikan teks berjalan di samping akal, dan akal harus mampu berselancar di atas teks. 

Menerima agama begitu saja tanpa ada pemikiran kritis atasnya adalah musibah, tetapi memikirkan agama tanpa memiliki sandaran teks juga adalah masalah. 

Mengapa saya katakan musibah? Lihat saja kasus bom bali. Bomber tidak mampu berfikir secara sehat ketika menafsirkan teks, akal fikirannya diselimuti oleh nafsu amarah. Yang terjadi adalah pembunuhan masal. Tanpa peduli apakah yang meninggal berdosa atau tidak. Itu karena mereka dengan begitu saja menerima teks kitab suci tanpa ada pemikiran kritis atasnya.

Begitupun, memikirkan agama tanpa sandaran teks adalah masalah. Kenapa saya katakana masalah? Pemikiran-pemikirannya tanpa tedeng aling-aling menembus semua lapisan masyarakat beragama tanpa peduli siapa yang menjadi sasarannya. Akhirnya pemikirannya yang kritis menimbulkan keresehan di masyarakat awam agama. Ia menjadi sumber ketakberdayaan akalnya sehingga dengan gampang dan mudah menuduh para pemikir sebagai kafir dan segala macam labeling yang tidak pantas. Bukankah hal ini adalah masalah?

Oleh karena itulah, seharusnya liberalis dan fundamentalis seharusnya berdampingan agar kecintaannya terhadap agamanya sendiri tidak menimbulkan musibah dan masalah. Akal dan hati harus sama-sama menjadi pendamping dalam menjalankan kesehariannya menjalankan agama kita. 
Pengalaman salah seorang ulama seperti Al-Ghazali ulama besar Islam sepanjang zaman dan pengalaman salah seorang cendekiawan muslim yang kini menjadi sufi menunjukan hal itu. Ketika akal terlalu kencang dalam memikirkan agama, sehingga kering dalam persoalan hati dan iman, ia menjadi stress dan hampir gila, namun ketika hati menyapanya dengan keimanan, ia menjadi sejuk kembali, dan karya-karyanya untuk membawa orang ke jalan yang benar semakin produktif.

Post a Comment for "Menggugat Liberalis, Mendobrak Fundamentalis"