Dudi Rustandi dalam Timbangan Erianto Anas
Pertama:
Dari sisi dunia tulis menulis, saya memaklumi bahkan sangat mendukung. Memang begitulah sebaiknya budaya tulis menulis, bahkan bila perlu semakin digalakkan. Karena dengan mengkritisi tulisan atau sosok seseorang secara tidak langsung juga bisa menjadi ajang untuk mengasah kemampuan menulis. Mengasah kemampuan berpikir dalam melihat peta persoalan. Adalah sangat memalukan jika
di zaman seperti sekarang ini masih menggunakan cara-cara primitif terhadap orang dan pemikiran yang tidak disetujui. Misalnnya dengan membakar buku, membredel sebuah tulisan, apalagi dengan melakukan tindakan anarkis semisal menyekap, mengkroyok dan membunuh seseorang.
Kedua:
Dari sisi sikap mereka saya bisa memaklumi bahwa hal itu mereka lakukan adalah karena kecintaan mereka pada agama Islam yang mereka yakini, sebagaimana saya juga seorang yang beragama Islam. Tentu saja, dimata mereka asal ada ancaman terhadap Islam, baik secara fisik maupun pemikiran, mereka akan bereaksi. Mungkin suatu sikap masa bodoh di mata mereka, jika ada yang menghinia Islam jika mereka hanya diam s berpangku tangan saja. Jadi secara psikologis, saya berempati atas sikap mereka tersebut.
Ketiga:
Dari sisi muatan tulisan. Ini yang sangat memprihatikan bagi saya. Sejauh pengamatan saya, umunya yang mereka tulis, dalam penilaian saya, belum tepat sasaran. Belum mengena. Mereka ibaratnya hanya menembak bayang-bayang. Bukan inti persoalan. Mereka ibarat mengkritik para penggemar permainan catur dengan sudut pandang mereka sebagai pencinta sepak bola. Artinya secara secara metodologis, kritik mereka tidak nyambung.
Saya dalam banyak tulisan saya mengkaji Islam dengan berbagai fenomena praktek ekspresi keagamaan umat Islam dalam realitas sosial, dengan menggunakan penalaran. Tapi mereka mengkritik tulisan saya dengan landasan sikap dogmatis. Berdasarkan sikap berkeyakinan. Yang saya tulis adalah kajian tapi yang mereka kritik bersifat slogan keyakinan. Termasuk nasehat-nasehat moral. Bagi saya hal ini tidak nyambung.
Dan yang paling memprihatinkan, umumnya mereka mengkritik dan menghujat sosok pribadi saya. Mereka menulis bahwa saya seorang yang frustasi, pengecut, pengkhianat, pura-pura mengaku Islam untuk melecehkan agama Islam, tidak tahu Islam tapi menulis tentang Islam, hanya mencari popularitas dengan melakukan sensasi dan seterusnya.
Bagi saya dari sisi ini sangat memalukan. Apalagi Kompasiana ini, sebagai media sharing gagasan, yang artinya sebagai media pencerdasan dan pencerahan, hanya digunakan untuk menulis hal-hal yang bersifat gosip dan main keroyok dalam bentuk tulisan.
Sejauh pengamatan hingga saya menulis postingan ini, baru satu orang yang bisa saya apresiasi tulisan kritiknya yang tepat sasaran, yaitu saudara Dudi Rustandi. Termasuk juga sejumlah Kompasianer yang mengomentari tulisannya (baca: Membenturkan Islam dan Kompasianer Berang, Erianto Anas Tertawa). Kenapa saya bisa mengapresiasi tulisannya? Karena secara wacana, landasan keilmuan dan sikap Dudi dalam hal ini relevan dalam mengkritik tulisan saya. Dia memahami referensi dan pola pikir yang saya gunakan. Ini bukan dalam arti saya harus dipahami apalagi harus disetujui. Anda jangan salah kaprah. Tapi, tanpa mendiskreditkan para Kompasianer yang lain, menurut saya ada posisi tawar yang berimbang antara Dudi dengan saya.
Oya, sejauh yang saya temukan beberapa Kompasianer yang menulis tentang saya tersebut, tanpa membedakan kandungan tulisannya adalah: Zulkarnain El-Madury, Zuragan Qripix, Mukti Ali, Dani Sukma Agus Setiawan, Dudi Rustandi, Raira Aira, Arofiq, Anton Pradomo, Haidarasep dan Okti Li.
Akhirnya saya sangat menghargai budaya kritik mengkritik melalui tulisan ini. Bagi saya pribadi, tidak ada yang tabu dan kebal dari kritik. Karena sejatinya, justru melalui budaya kritisisme inilah kemajuan budaya dan pengetahuan manusia bisa terus berkembang, seperti yang sudah tercatat di sepanjang sejarah agama dan Ilmu Pengetahuan. Hanya saja, dari ketiga hal di atas, alangkah menggairahkannya bila sisi yang ketiga (sisi muatan tulisan) juga diperhatikan, sehingga sirkulasi gagasan, perang wacana yang terjadi bisa menjadi perangsang berpikir dan memicu sebuah pencerahan. Bukan dengan motivasi mencari kemenangan. Apalagi dengan misi hanya untuk menggulingkan seseorang.
Sumber: http://agama.kompasiana.com/2010/12/14/menembak-si-penghina-islam-erianto-anas/
http://www.blogernas.co.cc/2010/12/menembak-setan-erianto-anas-penghina.html
hebat ya motivasinya
ReplyDeleteIya lumayan nih hehe
Delete