Maaf, Saya tidak Ikut Lebaran!


Setiap orang tua, anak-anak, remaja, dan kita semua bersuka cita menyambut datangnya hari raya Iedul Fitri yang akan dilaksanakan Jumat (10/09). Kita merayakan kemenangan karena telah melakukan jihad melawan hawa nafsu yang sangat berat. Hawa nafsu yang bersifat materil ataupun hawa nafsu yang bersifat immaterial. Kesukacitaan ini dirayakan dengan berbagai cara, membeli pakaian baru, makanan yang serba enak, mudik ke kampung halaman, member sidkah dan lain-lain. Secara kasat mata, pada sisi yang lain ekspressi ini merupakan
bentuk syukur karena dapat melewati bulan ramadhan yang menuntut kedisiplinan yang lebih, bangun dini hari dan pagi sudah harus berangkat kerja, magrib dilanjutkan dengan isya sudah harus berada di mesjid untuk melaksanakan sholat taraweh. Belum lagi harus menahan segala godaan-godaan yang sebagian orang sangat berat; menghindari pergaulan dengan isteri di siang hari bagi yang sudah berkeluarga serta pikiran-pikiran atasnya atau hal-hal yang dapat merusak pahala serta membatalkan puasa seperti ghibah atau gosip.
Perjuangan menghadapi puasa bagi sebagian dari kita bukan perkara yang mudah, butuh keseriusan dan tekad agar dapat melewati bulan puasa dengan selamat, minimal tidak sampai batal secara fisik walaupun hanya satu hari sehingga wajarlah rasa syukur diekspresikan dengan berbagai caranya masing-masing dengan bersuka cita.

Berbeda bagi sebagian orang lagi, datangnya hari raya idul fitri menjadi penyesalan, karena berhamburannya pahala ibadah di bulan puasa akan segera hilang, sehingga hari raya idul fitri hanya dijadikan jeda dan rehat sejenak saja bagi mereka. Mereka lantas melanjutkan puasa syawal untuk meraih kemenangan lainnya. 

Merujuk pada tingkatan orang berpuasa, apa yang diceritakan di atas adalah salah satu tingkatan-tingkatan ketika orang melaksanakan puasa. Tingkatan pertama ada orang yang puasa biasa atau umum. Orang yang berpuasa pada tingkat ini hanya mampu menahan lapar dan haus secara fisik saja. Saat siang dan dalam keadaan panas dipenuhi rasa dahaga, walaupun perutnya mampu bertahan tetapi pikirannya tidak mampu menahan rasa haus dan lapar tersebut. Imajinasinya sudah menembus waktu magrib, sehingga walaupun saatnya buka puasa masih jauh, pikirannya dipenuhi oleh berbagai hidangan yang dapat memenuhi rasa hausnya. Inilah tingkatan pertama orang yang melaksanakan puasa. Baginya menahan rasa haus dan lapar sungguh sangat berat. Baginya puasa adalah bagaimana menggugurkan kewajiban agama saja. Sehingga tidak heran ketika hari raya idul fitri tiba, ia adalah golongan yang merasa paling bersukacita dengan segala kemewahan lebaran. 

Tingkatan kedua, ada orang yang mampu menahan rasa lapar serta dapat menahan dari segala macam godaan psikis dan imajinasi materi. Tingkatan ini lazim disebut puasanya orang yang khusus. Orang khusus ini selain mampu menahan rasa haus juga mampu menahan diri dari pikiran-pikiran yang dapat mengurangi pahala puasa. Pada tingkatan inilah dalam persfektif penulis layak disambut dengan minal aizin wal faizin, karena bagi orang yang berada pada tingkatan inilah kemenangan diraih. Ia mampu melawan segala bentuk godaan hawa nafsu materi dan imateri serta mampu menjauhkannya dari pikiran-pikiran yang melampaui siang hari. Ia normative, jika sedang siang maka pikirannya berada di siang hari tidak melompat menuju waktu azan. Pada tingkatan ini, orang masih tetap memikirkan hal-hal yang sifatnya duniawi seperti bagaimana menu buka puasa, dengan apa dan lain sebagainya, namun tetap imajinasinya masih proporsional. Iapun tetap memikirkan persiapan lebaran bagaimana pakaian anak-anak dan keluarganya dan lain sebagainya.

Tingkatan Ketiga, puasa dilakukan orang yang khusus lebih khusus lagi, orang special dalam menjalankan ibadah. Menurut tingkatan ini, orang yang masuk pada kategori khusus lebih khusus lagi (Khawasbilkhawas) sudah tidak memikirkan persoalan duniawi, karena baginya Ibadah puasa adalah ibadah murni kepada Allah, persoalan apakah buka puasa dengan menu seperti apa atau apakah ada makanan atau tidak diserahkannya kepada Allah dengan ikhtiar yang telah dilakukannya. Ia sudah tidak memikirkannya lagi persoalan dunia, yang ia pikirkan bagaimana puasanya diridloi oleh Allah SWT. Ia sudah tidak terikat oleh persoalan duniawi. Rasa haus dan dahaga baik secara pisik ataupun psikis sudah bukan menjadi persoalan, karena baginya adalah bagaimana dirinya dapat diabdikan sepenuhnya kepada Sang Khalik yang telah memerintahkan dirinya untuk berpuasa sebagaimana halnya diperintahkan oleh Allah kepada orang sebelumnya. Ia ingin benar-benar meraih derajat takwa di sisi Allah.

Ketiga tingkatan orang yang berpuasa di atas layaklah merayakan lebaran, karena dapat menjaga segala hal yang dilarang oleh Allah walaupun pada tingkat yang sangat rendah yaitu menjaga rasa haus dan lapar secara fisik. Merujuk pada terminology Sunda, Leberan berasal dari kata lebar yang artinya sayang. Seorang yang puasa atau yang ingin meraih ridho Allah selalu merasa lebar ketika ia akan melakukan dosa namun ia tidak pernah lebar untuk menolong atau bersodakoh terhadap sesamanya. Ketika ia akan melakukan dosa, ia akan ingat bahwa apa yang dilakukannya akan mengotori diri dan jiwanya, ia merasa sayang jika badannya tersebut terkotori oleh hal-hal yang dapat mengurangi atau menghilangkan keridhoan Allah dalam beribadah puasa. Oleh karena itu layaklah ia merayakan lebaran. 

Menurut Sigmund Freud, orang-orang yang berada pada ketiga tingkatan tersebut sudah dapat disebut sebagai orang yang dewasa dan matang secara mental dan spiritual karena ia mampu menghindarkan diri dari persoalan oral, anal dan genital. Oral berkaitan dengan sesuatu yang berkaitan dengan mulut; mulai dari menahan makanan sampai obrolan yang tidak bermanfaat seperti ghibah atau gossip, menahan kata-kata yang menyakitkan orang lain jika ia tersinggung. Anal atau dubur berkaitan dengan kotoran, sebagaimana halnya kotoran, sifat anal adalah sifat yang dapat mengotori seseorang dengan perbuatannya sendiri; mencuri, merampok, iri dengki, zalim dan lain sebagainya. Sementara Genital berkaitan dengan persolan kelamin,maksudnya bahwa orang yang berada pada tingkatan dewasa atau yang merayakan lebaran adalah orang yang mampu menahan dari persoalan seksual baik secara fisik ataupun imajinasi. Oleh karena itu orang yang merayakan lebaran adalah orang yang dapat menghindarkan diri dari persoalan Oral, Anal dan Genital tersebut. 

Menurut penulis, ada dua tipe lagi yang belum disebutkan oleh para umara pada tingkatan orang yang berpuasa pada bulan ramadhan. Yang pertama adalah orang pilihan. Orang pilihan dapat masuk ke tingkatan puasa pertama, kedua atau ketiga, namun yang menjadikannya istimewa adalah karena ia dipilih langsung oleh Allah berkaitan dengan Malam Lailatul Qodar, seribu kebaikan dalam seribu bulan. Seperti halnya kita tahu, hidayah dan kebaikan Allah akan turun terhadap orang yang dikehendakinya. Kita dapat memetik pelajaran kepada Umar bin Khatab. Ia adalah musuh Islam. Namun karena hidayah Allah justeru Umar menjadi pembela Islam paling depan. Begitupun pada persoalan malam Lailatur Qodar, menurut hemat penulis adalah bagaimana kebaikan Allah tersebut dapat diturunkan kepada siapa saja yang ia kehendaki, sekalipun terhadap orang yang sedang tidak puasa dengan alasan masuk akal. Inilah pilihan Allah, Qodar Allah yang tidak bisa ditolak. 

Sementara tingkatan lainnya adalah tingkatan terhadap orang yang merugi. Ia puasa, namun dengan mengikuti aturan yang telah ia buat sendiri. Ia puasa berdasar kehendak hawa nafsunya. Ia puasa bisa jadi karena riya, ingin dipuji orang, namun ia tidak bisa menahan segala macam nafsu sehingga dapat membatalkan atau melunturkan pahalanya dalam berpuasa. Di tempat yang tidak diketahui orang, ia mengumbar hawa nafsu baik secara fisik ataupun psikis. Bahkan bisa jadi bagi orang yang merugi, bulan puasa sama halnya dengan bulan biasa, tidak puasa disiang hari tanpa harus menghormati orang yang puasa. Maksiat yang selalu dilakukannya di bulan biasa ia lakukan juga pada bulan ramadhan. Alangkah ruginya golongan yang masuk dalam tingkatan ini.

Masuk ke golongan manakah kita? Jika kita sebagai orang awam dalam menjalankan ibadah puasa, bisa jadi kita masuk golongan pertama. Alangkah bahagianya jika kita masuk ke dalam gologan ke dua dan ketiga atau ke empat sebagai orang yang dipilih oleh Allah SWT yang mendapatkan berkah malam lailatul Kodar. Bagaimana jika kita masuk ke dalam golongan terakhir, yaitu golongan orang-orang yang tidak pernah mampu membedakan bulan biasa dengan bulan ramadhan dalam melakukan sesuatu dengan mengumbar nafsu dan angkara serta tidak pernah menunaikan puasa. Layaknya kita sadar dan mengatakan, Maaf Saya tidak Ikut Lebaran!

Karena, Lebaran dalam terminologi Sunda berarti sikap selalu sayang akan melakukan dosa. Sementara orang-orang yang masuk ke dalam golongan merugi tidak pernah sayang akan melakukan dosa sehingga tentu saja ia tidak lebaran dalam terminology Sunda tersebut. Sekali lagi laykalah ia mengatakan; Maaf, Saya tidak ikut Lebaran!

Posting Komentar untuk "Maaf, Saya tidak Ikut Lebaran!"