Metro TV vs TV One, Siapa yang Menang?

Pada saat tulisan ini dibuat(4/10), Musyawarah Nasional Golkar sedang mulai diselenggarakan. Berbagai wacana muncul dalam membangun Golkar ke depan, baik wacana dari para calon ketua umum atau wacana posisi Golkar dengan pemerintah ke depan, apakah menjadi mitra pemerintah atau menjadi penyeimbang pemerintah (opoisi). Para pengamat mengeluarkan jurus ampuhnya terhadap siapa kemungkinan dan yang pantas menjadi ketua umum yang dapat membawa Golkar kepada kegemilangan masa lalu, minimal ketika tahun 1999 atau tahun 2004, dimana Golkar dapat mencapai suara mayoritas.

Pengamat Politik, misalnya Arbi Sanit dan Fachri Ali dalam sebuah dialog televise mengatakan bahwa Golkar, walaupun suara saat ini tidak signifikan namun jika dilihat dari kader-kadernya banyak yang cukup potensial, dan bila dibandingkan dengan partai lain, Golkar masih cukup banyak memiliki kader yang unggul. Namun demikian jika dibandingkan dengan Susilo Bambang Yudoyono, belum ada yang bisa yang bisa sejajar dengannya.

Sebagai Partai besar yang cukup banyak kader-kadernya, dalam musyawarah, tentu cukup banyak juga kader yang mencalonkan diri sebagai calon ketua umum. Sejauh ini yang muncul di media massa terdapat empat kandidat yang akan maju mencalonkan diridisamping ada juga calon yang tidak terlalu muncul seperti dikatakan Arbi Sanit dalam suatu dialog. Diantara keempat calon tersebut adalah Surya Paloh, Aburizal Bakri, Hutomo Mandala Putra, dan Yuddy Chrisnandi. Di antara keempat calon tersebut, Surya Paloh merupakan pengusaha Media yang berada di belakang Metro TV dan Aburizal Bakri berada di belakang layar TV One dan ANTV dimana putra sulungnya Anindya Bakrie menjadi presiden direktur pada kedua media tersebut. Sedangkan Hutomo dimana keluarganya juga terjun pada perusahaan media namun tidak terlalu menonjol yang memiliki saham di RCTI, TPI dan SCTV dan beberapa stasiun lainnya, walaupun tidak terlalu dominan. Sedangkan Yuddy adalah seorang akademisi.
Latar belakang para calon tentu akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana melakukan kampanyenya dalam meraih dukungan dari para peserta Munas. Selain lobi politik dari masing-masing calon kepada setiap DPD, hal yang sangat lazim adalah dengan melakukan kampanye, baik kampanye langsung ataupun melalui media sebagai media komunikasi politik para calon.

Salah satu media yang digunakan sebagai media kampanye adalah televisi. Seperti kita ketahui televisi memiliki jangkauan yang luas dan menyebar. Sehingga menjadikan televise sebagai media komunikasi politik yang cukup tepat. Televisi bahkan dapat mempengaruhi para penontonnya dengan apa yang ditampilkan, seperti yang menjadi keyakinan dalam teori agenda setting. Pandangan ini memiliki asumsi bahwa jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting seperti dikatakan McComb, sehingga apa yang dianggap penting oleh media akan dianggap penting oleh masyarakat.

Metro TV vis a vis TV One
Menghadapi pemilihan Ketua Umum Golkar yang sedang berlangsung, kampanye dua calon dari golongan senior, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie, masing-masing menggunakan Metro TV dan TV One sebagai media kampanyenya. Selain dikemas dalam bentuk iklan politik, kedua televisi berita tersebut pun menampilkan tokoh-tokoh Golkar tersebut dalam kemasan berita. Jika kita tengok berita-berita yang menyangkut seputar Musyawarah Nasional Golkar, Metro TV selalu berupaya memunculkan Surya Paloh sebagai kandidat yang mendapatkan dukungan besar dari setiap DPD Golkar dengan bahasa,“Setelah DPD tingkat II di Sumatera Barat yang memberikan dukungan secara tertulis terhadap Surya Paloh, kini giliran dukungan tertulis disampaikan oleh DPD-DPD tingkat II di Papua”.

Berita dukungan calon tersebut tanpa diimbangi bagaimana kondisi calon yang lain seperti, Aburizal Bakrie, Yuddy Chrisnandi dan Hutomo Mandala Putra. Hal yang sama terjadi ketika TV One memberitakan dukungan terhadap Aburizal Bakrie. Televisi berita tersebut hanya menyorot bagaimana dukungan terhadap Ical—sapaan akrab Aburizal, tanpa memberitakan bagaimana kondisi calon-calon lain. Bahasa khas yang digunakan oleh TV One adalah,”Dukungan terhadap Aburizal Bakri terus mengalir, diantaranya dari DPP AMPI”. Disinilah tampak vulgar ketidakberimbangan berita yang disampaikan oleh Metro TV dan TV One, keduanya jelas ingin memunculkan ‘jagoan’nya agar masyarakat tersetting oleh berita tersebut. Seperti halnya keyakinan dari teori agenda setting. Seolah-olah ingin mengarahkan pemirsa yang dalam hal ini para peserta Munas, terhadap jargon politik untuk memilih calon yang diperkirakan akan unggul. Dengan berita-berita yang memframe satu calon saja, seolah-olah calon tersebut adalah calon terkuat sehingga akan terbentuk opini publik bahwa calon tersebut adalah calon terunggul.

Begitupun acara lain seolah menguatkan teori ini, salah satunya adalah tayangan talkshow Kyck Andy yang menayangkan bagaimana korban-korban lumpur Lapindo yang menderita. Talkshow yang memunculkan penderitaan korban Lapindo tersebut sangat kontras dengan iklan tentang kesejahteraan yang diperoleh oleh korban lumpur Lapindo yang ditayangkan oleh AN TV, dimana para korban begitu senang dengan perumahan baru yang diperolehnya dari perusahaan Bakrie sebagai ganti rugi. Bahkan Anteve dengan begitu vulgar menyebutkan dalam tayangannya bahwa Bakri adalah kandidat terkuat, dengan bahasanya,” Aburizal Bakrie sebagai kandidat terkuat, siapa menandingi?”. Tayangan-tayangan tersebut menguatkan adanya kampanye terselubung dari masing-masing calon, yang menguatkan terhadap ideology politik dari kedua calon tersebut.

Realitas berita diatas berbeda dengan SCTV yang cukup berimbang dalam memberitakan para kandidat ketua umum Golkar, dimana SCTV memunculkan semua calon, walaupun tentu ada keberpihakan terhadap Tommy dengan mewawancaranya diakhir tayangan.
Kenyataan pemberitaan televise tersebut jika dilihat dari sudut pandang wacana kritis Van Dijk menguatkan bahwa sesungguhnya teks, percakapan yang dalam hal ini tayangan televise merupakan praktik dari suatu ideology dengan membuat kesadaran bahwa seolah-olah berita tersebut adalah realitas sebenarnya, atau sudah demikian adanya (taken for granted). Pemunculan tayangan calon tertentu seolah menegaskan siapa yang kuat sehingga mengarah pada pembentukan opini. Dalam hal ini bagaimana pada akhirnya Surya Paloh dan Aburizal Bakrie meraih dukungan dengan membentuk opini publik yang mengarahkan pada dirinya dan berusaha memarjinalkan calon lain dengan tidak memunculkannya dalam framing berita.

Pertarungan wacana kedua calon yang berada dibalik Metro TV dan TV One, pada akhirnya menjadi semacam pertarungan kedua televisi tersebut dalam memenangkan Opini Publik. Sejauh mana kekuatan kedua televisi sehingga dapat memuluskan masing-masing ‘jagoan’nya. Kita tunggu saja hasilnya.

Dudi Rustandi; Pemerhati Media, Kandidat Magister Ilmu Komunikasi Unpad

2 komentar untuk "Metro TV vs TV One, Siapa yang Menang?"

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...